Selamat Datang

Selamat datang Saudara-saudaraku semuanya di blog "Puja-Puji" ini. Selamat menikmati, mencermati, dan mengoreksi sajian yang saya tampilkan dalam blog ini. Sekiranya Saudara berkenan memberi kritik, saran, komentar, dan masukan apa pun terhadap tampilan blog ini tentu saya merasa senang, bangga, dan terhormat, agar terjadi komunikasi dua arah. Silakan menuliskannya di tempat yang telah disediakan. Salam kami.

Minggu, 15 Agustus 2010

Sori Gusti


Sori Gusti merupakan sajak-sajak terlengkap Darmanto Jatman sejak tahun 1959 hingga tahun 2002. Sajak-sajak Daramanto Jatman yang dihadirkan dalam buku Sori Gusti ini tanpa seleksi yang disunting oleh Triyono Tiwikromo. Dalam buku Sori Gusti itu sudah memuat hampir semua sajak Darmanto yang pernah diterbitkan, seperti dalam buku Sajak-sajak Putih (1965), Sajak Ungu (1965), Sang Darmanto (1975), Bangsat (1976), Ki Blakasuta Bla Bla (1980), Karto Iyo Bilang mBoten (1982), Golf untuk Rakyat (1995), Isteri (1997), dan ditambah dengan sajak-sajak baru Darmanto Jatman yang ditulis antara tahun 1997–2002. Dalam “Kata Pengantar” buku ini disampaikan bahwa ada beberapa sajak Darmanto Jatman yang tidak terdokumentasi dalam buku Sori Gusti karena beberapa hal, seperti sajak yang dirasa tidak baik sehingga ketika itu dibuang ke keranjang sampah oleh Darmanto sendiri, dan ada juga sajak yang hilang karena hanyut dalam musibah banjir. Ini semata karena musibah dan kesalahan diri yang membuat fatal dan penyesalan pada akhirnya.
          Sori Gusti terdiri atas tujuh banjaran, yaitu (1) Banjaran Pertama “Testimoni: Sori Gusti”, terdiri atas 35 sajak, (2) Banjaran Kedua “Main Cinta Model Kwang Wung”, terdiri atas 8 sajak, (3) Banjaran Ketiga “Plesir”, terdiri atas 34 sajak, (4) Banjaran Keempat “Medali-Medali Peradaban”, terdiri atas 9 sajak, (5) Banjaran Kelima “Laporan Kepada Rakyat”, terdiri atas 30 sajak, (6) Banjaran Keenam “Bahwa Aku Sekarang Merasa Tua”, terdiri atas 38 sajak, dan (7) Banjaran Ketujuh “Seorang Modern Menulis Puisi”, terdiri atas 10 sajak. Dengan demikian, keseluruhan sajak Darmanto yang dimuat dalam buku Sori Gusti ada sebanyak 164 sajak. Jumlah sajak lengkap yang ditulis oleh Darmanto Jatman ini sudah melebihi sajak-sajak lengkap Goenawan Mohamad (editor Ayu Utami dan Sitok Srengenge) yang hanya 134 sajak. Namun, jumlah sajak Darmanto Jatman ini pun masih berada di bawah sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo, atau Taufiq Ismail yang menulis sajak lebih dari 350 judul sajak.
Dalam buku kumpulan sajak Sori Gusti ini Darmanto kembali mengenalkan istilah banjaran seperti lakon wayang kulit di Jawa. Mula-mula istilah banjaran berasal dari dunia pertanian, yang artinya ‘deretan panjang’. Dalam bahasa Indonesia kata banjaran berarti: ‘deretan’, ‘jajaran’, atau ‘barisan’. Kemudian istilah itu dioper alih dalam dunia pedalangan wayang kulit di Jawa untuk menceritakan satu lakon utuh tentang seorang tokoh, misalnya “Banjaran Bhisma”, “Banjaran Baladewa”, “Banjaran Bima”, “Banjaran Arjuna”, dan “Banjaran Adipati Karno”. Salah seorang dalang wayang kulit di Jawa yang pertama mempopulerkan lakon banjaran adalah Ki Narto Sabda dari Semarang. Selanjutnya, lakon banjaran itu diteruskan dalang-dalang lainnya, seperti Ki Manteb Soedarsono dari Karang Anyar, dan Ki Anom Suroto dari Surakarta.
Dalam dunia kesusastraan, istilah banjaran diperkenalkan oleh Darmanto Jatman melalui buku kumpulan sajaknya Isteri (Grasindo, 1997). “Kata Pengantar” buku Isteri itu Darmanto menyatakan “Isteri yang sekarang ini memuat banjaran sajak-sajak saya sejak 1960 sampai 1996, eh 1997 ini. ‘Selected Poems’ tentu saja.” Kemudian dalam buku kumpulan sajak Darmanto Jatman yang baru, Sori Gusti (LIMPAD, 2002), istilah banjaran lebih diekspos. Sebab, istilah banjaran itu dipakai oleh penyunting buku (Triyono Tiwikromo) sebagai tanda bab atau pengelompokan ataupun kategori sajak-sajak Darmanto (terdiri atas tujuh banjaran, lihat pula esai penyunting dalam buku itu), dan dipergunakan sebagai judul esai seorang pengamat, “Banjaran Darmanto Jatman”, oleh Adriani S. Soemantri dalam buku itu juga.
          Judul buku Sori Gusti diangkat dari salah satu judul sajak yang ditulis oleh Darmanto pada tahun 2001. Judul itu secara tersurat sudah menunjukkan pemakaian campur kode dan alih kode bahasa. Kata sori merupakan serapan dari bahasa Inggris sorry (lema sori belum masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi kata ‘sedih’, ‘maaf’, atau ‘sesal’. Sementara itu, kata Gusti merupakan serapan dari bahasa Jawa (lema gusti sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang artinya ‘sebutan untuk orang bangsawan atau Tuhan (atau yang dianggap Tuhan)’. Jadi, dalam buku itu Darmanto Jatman berdiri di antara dua bahasa, yaitu Inggris sebagai simbol “peradaban mendunia” dan Jawa sebagai simbol “peradaban primodial”, dalam ke-Indonesia-annya sambil mengungkapkan perasaan sedih dan sesalnya atas perbuatan yang pernah dilakoninya selama ini kepada Tuhannya. “Mohon maaf Tuhan”, “Maafkan saya Tuhan”, atau “Ampun Tuhan”. Begitu kiranya isi buku itu sebagai pengakuan dosa menilik dari makna judulnya.
          Terlintas buku Sori Gusti bernada religius atas kesadaran iman seorang Jawa tulen yang menganut agama Kristen/Nasrani. Memang dalam banjaran pertama itu banyak diungkapkan masalah pencarian, pergulatan, permenungan, perlawanan, penemuan, kegelisahan, dan kepasrahan aku lirik terhadap yang disebutnya sebagai Gusti, yaitu Tuhan, Allah, Kristus, Jesus, Isa Almasih, ataupun Dzat yang Mahaagung “Kang Murbeng Dumadi, Jagat rat pramudita.” Di sini tampak sekali perpaduan iman seorang Jawa yang mampu menjadi wadah sinkretisme. Darmanto Jatman tidak segan-segannya menggunakan idiom keagamaan, seperti “abracadrabra, duh Betara. Betara” (sajak “Karena Bosan Dia Mati”), “O Allah!” (sajak “So Private This Loneliness”), “Insya Allah” (sajak “10 Februari 1969 Kau dan Aku”), “Sugeng rawuh Gusti. Syalom alekheim. Salamalaikum. Aum shantih shanthih shantih aum. Namo budaya. Sancai. Sancai. Sancai. Rahayu, Basuki, Slamet” (sajak “Jangan Panggil Aku Gusti”), “Amin. Gusti, nyuwun kawelasan. Halleluyah. Allahu Akbar. Salam. Syalom. Sadhu. Sancai. Rahayu. Amin” (sajak “Cucu”), dan “innalillahi wainailhi rojiuun” (sajak “Roro Blonyo”). Dengan demikian, jelas di sini Darmanto Jatman ingin menunjukkan adanya keberagaman (pluralisme atau multikultural) dalam peribadatan manusia kepada Tuhan. Meskipun beragam dalam hal beribadatan, semua itu pada hakikatnya menuju ke satu tujuan, yaitu keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia hingga akhirat.
          Banjaran kedua dalam buku Sori Gusti lebih mengekspos masalah-masalah percintaan. Manusia hidup di dunia itu membutuhkan belaian kasih sayang lawan jenis. Dalam dunia percintaan tidak pandang bulu harus yang muda remaja saja yang berhak bermain cinta. Seorang kakek-kakek yang sudah menjadi begawan atau pendeta, seperti Begawan Wisrawa, tokoh pewayangan dalam kisah Ramayana, dapat tergiur asmara daun muda si Rara Dewi Sukaesi. Demikian juga si Duda Bantat, Karta Telo, pada masa tuanya justru diuji Tuhan untuk jatuh kasmaran pada istrinya sendiri. Itulah sebabnya permainan cinta mereka seperti binatang kwang wung. Kata kwang wung dalam banjaran kedua ini merujuk pada nama binatang kumbang kelapa atau hama kelapa. Biasanya binatang kwang wung hanya terbang berputar-putar di sekitar pohon kelapa sambil mengeluarkan suaranya (brengengeng). Banjaran kedua ini menunjukkan keberagam dalam hal bercinta, dari yang muda belia hingga yang kakek-kakek.
          “Pelesir” menjadi tanda keberagaman dalam banjaran ketiga buku kumpulan sajak Sori Gusti. Pelesir artinya pesiar, melancong, ataupun tamasya. Seseorang yang pelesir berpergian jauh, meninggalkan rumah, biasanya pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan seperti pantai, gunung, dan objek-objek wisata yang lainnya. Tujuaannya tiada lain adalah mencari hiburan dan sekaligus mencari pengalaman hidup. Demikian juga halnya dengan ke-34 sajak Darmanto yang dimuat dalam banjaran ketiga itu memotret pengalaman aku lirik ketika mengunjungi tempat-tempat wisata. Kunjungan Darmanto ke berbagai kota di luar negeri, seperti Honolulu-Hawaii, Taipei-Taiwan, Negeri Kiwi, Rotterdam-Belanda, Adelaide-Australia, dan London-Inggris, menjadi ajang kreativitas memotret perilaku dan pengalamannya di negeri orang tersebut. Demikian halnya dengan kota-kota lain di negerinya sendiri, seperti Yogya, Jepara, dan Bantul ketika terjadi perubahan peradaban, dari yang tradaisional ke dunia modernisasi menjadi ajang kreativitas yang menarik bagi Darmanto.
          “Medali-Medali Peradaban” menjadi tanda banjaran keempat dalam buku Sori Gusti itu. Darmanto kembali momotret sikap seseorang dalam menghadapi perubahan zaman, seperti tokoh Marto Klungsu dari Leiden, Ki Lurah Karangkedempel sewaktu menerima mahsiswa KKN di desanya, Karto Tukul dan Saudaranya Atmo Boten ketika menerima produk “Dagadu Djokja”, menjadi hal yang menarik untuk mendapat pengahargaan dari siapa pun. Sikap mereka ketika menerima perubahan zaman itu ada yang melawan, meronta-ronta ingin tetap mempertahankan tradisinya, dan ada pula yang hanya pasrah total mengikuti arus zaman. Mereka ada yang tidak kuasa membendung laju modernitas menerjang habis peradaban adiluhungnya. Ampun Darmanto.
          Tema sosial kemasyarakatan, juga masalah ekonomi dan politik, menjadi tanda banjaran kelima “Laporan Kepada Rakyat” buku kumpulan sajak Sori Gusti. Bebagai masalah sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat kita, seperti masalah transmigrasi, patriotisme kromo, pelacuran, AIDS, pemilu, demonstrasi, suksesi, kekuasaan, dan reformasi pun menjadi objek menarik dalam banjaran kelima. Ketidak-beresan dan berbagai penyelewengan yang terjadi dalam masyarakat kita itu perlu dilaporkan kepada rakyat. Rakyat perlu mengetahui dan memahami dengan benar karakter bangsanya dan semua peristiwa yang terjadi di negerinya. Atas dasar laporan itu maka perlu ditindak-lanjuti untuk segera “memayu hayuning bangsa lan negara”. Segeralah “diruwat” (dibebaskan) bangsa kita ini dari semua penderitaan dan juga azab Tuhan. Dari mana harus “diruwat” bangsa yang telah carut marut ini? Darmanto memberi solusi dari “Generasi Demi Generasi”, terutama me-“Reformasi Diri” untuk menuju “Harmoni (meskipun) Itu (baru sampai pada tataran) Sepasang Sandal Jepit”.
          Banjaran keenam dan ketujuh dalam buku Sori Gusti ini lebih dimaksudkan sebagai keberagaman renungan dan penemuan jatidiri Darmanto ketika memasuki usia senja dan menjadi manusia modern di tengah masyarakat madani. Semakin tua usia hendaknya ia semakin tumbuh kesadaran dirinya untuk menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat dan bangsanya. Ibarat ilmu padi, semakin tua semakin berisi, ia dapat menunduk, andhap asor, dan penuh dedikasi diri pengabdian kepada bangsa, negara, masyarakat, dan tentu juga kepada Tuhan. Pada usia senjanya ini Darmanto Jatman tidak perlu lagi yak-yakan, nyleneh, menggebu-gebu ataupun meledak-ledak seperti ketika berusia muda dahulu. Emosinya pun tentu dapat diredam dan amarahnya juga dapat dikendalikan. Kini tinggallah kewaspadaan, kehati-hatian, dan santun dalam berperilaku serta bertutur kata hanya semata ia sudah “sumarah kepada Gusti”, “sumendhe ing Gusti”, “sumeleh ing Gusti”, mohon ampun Tuhan, dan sendhika menerima dhawuh Gusti (sajak “Ampun Gusti”) untuk segera menerima tugas menulis puisi dan berkarya. Hidup di dunia ini ternyata hanya sekadar mewakili tugas atau pakaryan Tuhan yang terbabar di dunia, sekadar menjadi kafilah.

Kastalia


Kastalia adalah buku kumpulan sajak karya Dodong Djiwapradja yang diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1997. Kumpulan sajak karya Dodong Djiwapradja ini mendapatkan hadiah dari Yayasan Buku Utama (1998) dan Hadiah dari Pusat Bahasa (2000). Buku kumpulan sajak ini diberi kata pengantar oleh W.S. Rendra. Dalam buku ini memuat 67 sajak yang ditulis Dodong Djiwapradja antara tahun 1948–1973. Sajak-sajak dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu (1) Jalan Setapak, 1948–1949; (2) Getah Malam, 1951–1959; (3) Kastalia, 1960; (4) Jari-Jemari, 1961–1963; dan (5) Penyair yang Lahir di Tanah Air, 1970–1973. Pengelompokan sajak dalam buku itu tidak didasarkan pada kesamaan tema, tetapi didasarkan pada urutan kronologis atau urutan waktu penciptaan sajak. Hal ini memudahkan pembaca untuk mengikuti sejarah perkembangan estetis pemikiran Dodong Djiwapradja tentang kehidupan yang tertuang dalam puisi selama 25 tahun masa kepenyairannya.
          Judul buku Kastalia diangkat dari salah satu sajak karya Dodong Djiwapradja yang ditulisnya pada tahun 1960. Kastalia sebagai judul sajak dan sekaligus judul buku itu mengingatkan kita pada pembagian kasta dalam masyarakat Hindu atau India Kuno, seperti kasta brahmana, kasta ksatria, kasta waisya, kasta sudra, dan kasta paria. Kata kasta itu sebenarnya berasal dari bahasa Portugis “casta” yang artinya ‘ras, keturunan, atau jenis kelamin’. Atau dapat juga judul Kastalia itu mengingatkan kita pada kata kastal, yang artinya ‘pohon kayu yang tumbuh di gurun atau di tanah yang kering’. Dan yang terakhir, judul Kastalia itu mendekati kata kastanyet, yang artinya.’alat musik yang terdiri atas sepasang kepingan gading atau kayu keras yang cekung dan direntet-rentetkan oleh ibu jari untuk mengiringi irama tari-tarian Spanyol’.
          Meski ada kemungkinan tiga makna yang terdapat dalam kata kastalia seperti di atas dalam kumpulan sajak Dodong itu kita masih menemukan makna yang lain pula. Apabila kita telusuri lebih jauh asal mula kata kastalia itu ternyata diambil dari bahasa Yunani Kuno, castalia atau castalian, yang berarti puncak Gunung Parnassus yang merupakan tempat tinggal suci Dewa Apollo dalam Mitologi Yunani. Kumudian dalam sejarah Kitab Perjanjian Lama kata castalia itu dipahami sebagai tempat suci pertemuan Nabi Musa dengan Tuhan di puncak Gunung Tursina. Makna kata kastalia yang semula berasal dari bahasa Yunani Kuno itu akhirnya banyak digunakan oleh para penyair di Barat menjadi sumber inspirasi penciptaan puisi-puisi yang ditulisnya. Mereka beranggapan bahwa puisi-puisi yang terlahir dari penciptaannya bersumber dari yang maha suci guna memberi pencerahan kepada pembaca. Seperti halnya Dewa Apollo memberi pencerahan kepada rakyatnya atau Nabi Musa setelah turun dari puncak Tursina menerima “Sepuluh Perintah Tuhan” yang berguna sebagai upaya pencerahan umatnya, terutama kaum Yahudi ketika itu. Boleh juga Dodong memadankan sajak-sajak yang ditulisnya itu sebagai katarsis, penyucian hati bagi pembaca.
          Padanan konsep pemikiran Dodong Djiwapradja seperti di atas dapat dipahami dari beberapa sajak yang ditulisnya, misalnya sajak yang berjudul “Puisi”, “Di Makam Ayah”, dan “Mengaji”. Pada baris dan bait pertama dalam sajak “Puisi” Dodong mentransformasikan secara langsung bahasa Al-Quran, “Kun fayakun”, ‘Jadilah, maka terjadilah ia’. Sesungguhnya ucapan itu merupakan kalam Allah yang ditujukan kepada sesuatu dengan kehendak untuk mewujudkan atau menjadikannya ‘tercipta’, seperti penciptaan langit dan bumi (Surat Al-Baqarah: 117; Al-An’aam: 73; Yaasiin: 81–82), membangkitkan orang mati menjadi hidup kembali atau menghidupan dan mematikan makhluknya (Surat An-Nahl: 38–40; dan Surat Al-Mukmin: 67–68), kelahiran Nabi Isa melalui Maryam yang tanpa sentuhan seorang lelaki (Surat Ali Imran: 47), dan perumpamaan penciptaan Nabi Isa yang tak ubahnya seperti penciptaan Nabi Adam (Surat Ali Imran: 59). Dalam ensiklopedi Islam dikatakan bahwa terjemahan kata “kun” yang paling tepat adalah exist, ‘nyatalah’. Sebab apa yang terkandung dalam kalam Allah itu merupakan sebuah gerakan menuju ke eksistensi atau kenyataan yang bersumber dari kehendak Allah untuk mewujudkan sesuatu hal hingga terbentuk atau terwujudlah kehendak-Nya itu.
          Kembali kepada sajak Dodong Djiwapradja yang berjudul “Puisi”, dengan ucapan “Kun fayakun” dapat dianalogikan bahwa penciptaan puisi oleh manusia itu prosesnya tak ubahnya seperti Tuhan menciptakan alam semesta seisinya. Hanya bedanya, Tuhan berkehendak menciptakan sesuatu hanya dengan ucapan “kun fayakun”, maka seketika terjadilah kehendak-Nya mewujudkan apa saja Adapun manusia ketika menciptakan sesuatu hal, termasuk puisi, melalui proses yang panjang dan tidak seketika jadi seperti apa yang diinginkannya. Manusia menciptakan sesuatu hal memerlukan waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan atau bertahun-tahun, untuk menjadikan keiinginnaya terwujud. Karena manusia memiliki keterbatasan, maka hasil ciptaannya tidak sesempurna ciptaan Tuhan. Keterbatasan itu menyebabkan ada keinginan manusia yang hanya tinggal keinginan atau tidak dapat mewujudkan keinginannya tersebut.
          Larik pertama bait kedua dalam sajak “Puisi” Dodong mengatakan bahwa “Saat penciptaan kedua adalah puisi”. Kalimat Dodong ini dipahami bahwa ada penciptaan pertama, sebelum ada penciptaan kedua, yaitu Allah menciptakan alam semesta seisinya. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. Demikian dikatakan dalam berbagai kitab suci hingga seterusnya terjadilah semesta alam seisinya ini. Manusia tidak dapat menciptakan langit dan bumi, tetapi manusia selaku pencipta yang kedua hanya mampu meneladan, meniru, mencontoh ciptaan Tuhan yang sudah ada. Paham ini dikenal dikenal dengan memesis. Oleh karena itu, penciptaan yang dilakukan oleh manusia “tertimba dari kehidupan (semesta alam) yang ditangisi/ bumi yang didiami, laut yang dilayari/ udara yang dihirupi, air yang diteguki/ kebun yang ditanami, bukit yang digunduli/ gubuk yang diratapi, gedung yang ditinggali/ sawah yang dibajak/ manisan yang terbuat dari butir-butir kepahitan” dan dari “gedung yang megah yang terbuat dari butir-butir hati yang gelisah”. Paham kesemestaan.
          Penciptaan puisi yang didasarkan pada pengalaman hidup seperti di atas ditangkap oleh W.S. Rendra dalam kata “Pengantar” buku Kastalia itu sebagai gambaran frustrasi dan rasa tidak bahagia penyairnya. Selain itu, Rendra juga menangkap fenomena yang terjadi pada diri Dodong adalah kesadaran akan situasi tragik dan kefanaan dalam hidup ini sehingga hadirlah sikapnya yang penuh waspada, hati-hati, dan tekun melindungi kemurnian hati nurani. Memang pandangan tentang tragedi mulai populer sejak kemunculan drama trilogi Yunani karya Sophokles, yaitu “Oedipus Rex”, “Oedipus di Kolonus”, dan “Antigone” yang mengalami bencana karena ulah tokoh utamanya. Bencana dan keberuntungan adalah anugerah Tuhan yang perlu disyukuri sebagai bentuk oposisi biner. Tidak selamanya manusia selalu berada dalam keberuntungan, dan tidak juga selamanya manusia berada dalam situasi tragedi. Demikian pula kefanaan dan keabadian menjadi oposisi biner yang membuat hidup manusia selalu optimis dan dinamis memandang masa depan.
          Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 959) lema tragedi memiliki dua arti, yaitu (1) sandiwara atau cerita sedih yang pelaku utamanya menderita kesengsaraan lahir dan batin yang luar biasa bahkan sampai meninggal, dan (2) peristiwa-peristiwa yang menyedihkan atau yang membuat kematian. Atas dasar pengerti dalam kamus itu berarti tragedi identik dengan peristiwa yang menyedihkan, kejadian yang membuat kesengsaraan hidup, dan timbulnya berbagai bencana atau malapetaka yang membuat penderitaan manusia, seperti bencana alam, wabah penyakit, dan peristiwa pembantaian. Adanya tragedi seperti itu membuat manusia semakain akrab dengan penderitaan, kemalangan, dan kesengsaraan hidup. Dalam karya Dodong Djiwapradja hal itu tentu tersirat dan tersurat dalam sajak-sajaknya, seperti sajak “Garut”, “Puisi”, “Kastalia”, dan “Jari-Jemari”.
          Sajak “Jalan Setapak” dan “Perjalanan” jelas memperlihatkan keakraban penyair dengan suasana pedesaan yang mempunyai ikatan dengan dunia pertanian. Dodong melihat suasana pedesaan yang sederhana dan penuh kedamaian. Ayahnya adalah ahli membajak sawah dan anaknya berusaha menjadi ahli pembuat sajak merupakan suatu gambaran perjalanan hidup yang kontras. Orang hidup di dunia ini memiliki pilihan masing-masing jalan mana yang hendak di tempuh. Jalan itu tidak ada batas, meskipun hanya jalan setapak. Oleh karena itu, dalam menempuh perjalan hidup di dunia ini tiada batas anak mengikuti jejak orang tuanya. Hanya kematian yang memberi batas akhir dari perjalanan hidup di dunia, seperti yang terungkap dalam sajak “Di Makam Ayah”. Kematian bagai peristiwa perpisahan di stasiun, di atas tangga  kereta. Meski demikian, tetap yang tinggal hanya nisan.
          Sebelum perjalanan hidup di dunia ini berakhir pada kematian, manusia perlu terlebih dahulu mengaji, membaca dan memahami isi kitab suci dengan benar. Demikian kiranya pesan utama Dodong Djiwapradja melalui sajaknya “Mengaji”. Kitab suci, seperti Al-Quran, memberi tuntunan hidup di dunia hingga akhirat dengan benar dan nyata. Memang bahasa kitab suci itu tidak menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Sunda, tetapi melalui terjemahan dan tafsir-tafsir yang ada sangat membantu memahami isi kitab suici tersebut. Inti dari isi kitab suci itu adalah ajaran cinta kasih kepada sesama makhluk. Meskipun mereka itu pelacur, penjahat, penjudi, tentara, dan polisi sekalipun, semua orang disayangi. Sifat yang keji, iri, dan dengki, seperti tenung dan sihir, itulah yang mesti dijauhi.