tag:blogger.com,1999:blog-43130294903966747792024-02-07T09:57:04.711+07:00PUJA-PUJI BERMARTABAT DAN BERSAHABATSenantiasa Berusaha untuk Dapat Membangkitkan Semangat Berjuang Mencapai Prestasi Gemilang dengan Bertekun Setiap Hari Melaksanakan Karya, Beribadah, dan Berbakti Kepada Tuhan Yang Maha EsaOBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.comBlogger30125truetag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-77735305688727210452011-12-10T16:23:00.001+07:002011-12-10T16:26:32.463+07:00Manusia, Puisi, dan Kesadaran Lingkungan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSptILh8SRABHEDo7QYp1uMGvG1BGcg0DseFIsBmGaQDs7iNsTC5RuyDXVuPNVamyMKcp9lgn1xfoblAkadS6T0fRJztQCe_FCHfMCbKzDajnqc969r92J0gr4uX83w7PbLfo627Ehk6Xr/s1600/Manusia+dan+Puisi-2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSptILh8SRABHEDo7QYp1uMGvG1BGcg0DseFIsBmGaQDs7iNsTC5RuyDXVuPNVamyMKcp9lgn1xfoblAkadS6T0fRJztQCe_FCHfMCbKzDajnqc969r92J0gr4uX83w7PbLfo627Ehk6Xr/s400/Manusia+dan+Puisi-2.jpg" width="400" /></a></div>
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
</w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156">
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Persoalan pemeliharaan lingkungan hidup yang bersih dan
sehat menjadi masalah yang pelik setelah manusia mengenal perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi canggih serta gaya hidup modern. Semakin berkembang
atau bertambahnya manusia dan makhluk lain penghuni dunia, dari tahun ke tahun,
bahkan dari abad ke abad, semakin menambah persoalan pemeliharaan lingkungan
hidup yang bersih dan sehat bagi penghuni dunia, alam semesta seisinya,
termasuk Indonesia. Oleh karena itu, buku hasil penelitian ini berusaha
menganalisis makna dan pesan utama 18 puisi Indonesia modern yang ditulis oleh 8
penyair sastra Indonesia modern (Eka Budianta, Slamet Sukirnanto, Sapardi Djoko
Damono, Taufiq Ismail, Suryatati A. Manan, Dorothea Rosa Herliany, Iwan Nurdaya
Djafar, dan Ataswarin Kamariah Moewardi Bambang Sarah) sebagai salah satu upaya
untuk menyadarkan masyarakat agar senantiasa menjaga, memelihara, dan
melestarikan lingkungan hidup yang bersih dan sehat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Masalah penelitian ini adalah bagaimanakah makna dan
pesan utama persoalan pemeliharaan lingkungan hidup yang bersih dan sehat dalam
puisi Indonesia modern yang ditulis oleh delapan penyair sastra Indonesia
modern di tengah masyarakat perkotaan yang padat penduduknya, terutama masalah
pengelolaan sampah dan limbah, usaha pencegahan berbagai polusi udara,
pemeliharaan aliran sungai dan drainase, pelestarian hutan demi keseimbangan
ekosistem, konteks sosial masyarakat enam kota di Indonesia dengan masalah
lingkungan hidup, tingkat keberterimaan masyarakat enam kota di Indonesia atas
makna dan pesan utama 18 puisi lingkungan hidup, serta bagaimana t</span><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Arial Unicode MS";">anggapan, pesan, dan harapan
masyarakat enam kota di Indonesia tentang puisi dan kesadaran masyarakat akan
lingkungan hidup?</span><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan dan
mendeskripsikan makna dan pesan utama yang termuat dalam 18 puisi bertema
lingkungan hidup, konteks sosial masyarakat pembaca enam kota di Indonesia
dengan masalah lingkungan hidup, tingkat keberterimaan masyarakat enam kota di
Indonesia atas makna dan pesan utama 18 puisi lingkungan hidup, serta bagaimana
t</span><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Arial Unicode MS";">anggapan,
pesan, dan harapan masyarakat enam kota di Indonesia tentang puisi dan
kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup. </span><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Dengan masalah dan tujuan ini, hasil yang diharapkan dari penelitian adalah
agar masyarakat memiliki kesadaran untuk memelihara lingkungan hidupnya yang
bersih dan sehat, bebas dari sampah dan limbah yang berserakan, sungai dan
drainase airnya tetap jernih dan dapat lancar mengalir, berusaha mencegah
terjadinya polusi udara, dan masyarakat gemar menanam dan memelihara pepohonan
demi keseimbangan ekosistem.</span><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Arial Unicode MS";"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Berdasarkan masalah dan tujuan tersebut penelitian ini
menggunakan metodologi pendekatan kualitatif, yaitu melalui analisis konten
terhadap 18 puisi Indonesia modern untuk menemukan makna dan pesan utamanya,
lalu menyebarluaskan makna dan pesan utama 18 puisi tersebut kepada masyarakat
dengan teknik kuesioner yang dilengkapi dengan tanya jawab atau wawancara
kepada 180 responden yang berada di Jakarta, Pekanbaru, Tanjung Pinang,
Pontianak, Mataram, dan Makassar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Hasil penelitian mengungkapkan bahwa m</span><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Arial Unicode MS";">akna dan pesan utama 18 puisi
Indonesia modern yang bertema lingkungan hidup dan ditulis oleh delapan penyair
sastra Indonesia modern adalah masyarakat diharapkan untuk senantiasa dapat:
(1) mengelola sampah dan limbah agar tidak menimbulkan berbagai penyakit,
terekspresikan dalam puisi “Sampah” karya Ataswarin, “Potret Tukang Sampah”
karya Eka Budianta, dan “Air Selokan” karya Sapardi Djoko Damono, (2)
mengusahakan pencegahan polusi udara agar dapat diperkecil ambang batas
kotornya sehingga udara kembali menjadi bersih dan sehat, terekspresikan dalam
puisi “Polusi Udara” karya Ataswarin, “Pohon di Tepi Jalan” karya Sapardi Djoko
Damono, “Menengadah ke Atas, Merenungi Ozon yang Tak Tampak” karya Taufiq
Ismail, “Membaca Tanda-Tanda” karya Taufiq Ismail, dan “Lingkungan Mati” karya
Taufiq Ismail, (3) menjaga dan memelihara aliran sungai dan drainase secara
baik agar air tetap jernih dan dapat mengalir lancar, terekspresikan dalam
puisi “Perjalanan Sungai” karya Eka Budianta, “Sungai Ciliwung yang Miskin”
karya Slamet Sukirnanto, “Sungai yang Mengalirkan Air Mata dan Hujan yang
Meneteskan Pasir-Pasir” karya Dorothea Rosa Herliany, “Banjir” karya Suryatati
A. Manan, dan “Banjir” karya Ataswarin, dan (4) berusaha melestarikan hutan dan
tanaman untuk keseimbangan ekosistem, terekspresikan dalam puisi “Ada
Belantara, Pohon di Mana” karya Slamet Sukirnanto, “Gergaji” karya Slamet
Sukirnanto, “Hutan” karya Sapardi Djoko Damono, “Pokok Kayu” karya Sapardi
Djoko Damono, dan “Cerita dari Hutan Bakau” karya Iwan Nurdaya Djafar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Arial Unicode MS";">Pesan utama
dari 18 puisi tentang lingkungan hidup itu adalah (1) masyarakat perlu
mendapatkan informasi yang benar tentang penanganan sampah dan limbah sebab
selama ini mereka tidak diberi solusi tentang penanganan sampah dan limbah
secara benar. Oleh karena itu, perangilah sampah dan limbah walau dengan alat
sederhana dan jangan biarkan sampah dan limbah berserakan di mana-mana sehingga
menimbulkan berbagai penyakit; (2) udara di sebagian besar wilayah kita telah
tercemar oleh sisa pembakaran kendaraan bermesin, sisa pembakaran pabrik-pabrik
industri, dan asap pembakaran lahan dan hutan secara besar-besaran sehingga
udara kotor dan tidak sehat. Oleh karena itu, usahakanlah pencegahan semakin
berlarut-larutnya polusi udara dengan mengurangi pembakaran-pembakaran dan
berusahalah menanam dan memelihara pohon sebanyak-banyaknya, agar udara kembali
menjadi bersih dan nyaman kita hirup bernapas; (3) jaga dan peliharalah aliran
sungai dan drainase agar air tetap jernih dan mengalir lancar serta tidak
menimbulkan bencana banjir ketika musim penghujan datang. Oleh karena itu,
jangan membuang sampah dan limbah di sungai dan selokan, jangan tinggal di
bantaran sungai, dan berusahalah membersihkan aliran sungai dan drainase agar
tidak menimbulkan berbagai bencana dan penyakit; dan (4) lestarikan hutan dan
lahan sebagai paru-paru dunia, jagalah hutan dan lahan agar tidak dibalak dan
dibakar oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, bangkitkan kembali
gerakan penghijauan, dan fungsikan lahan dan hutan secara benar sehingga
terdapat keseimbangan ekosistem.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Arial Unicode MS";">Konteks sosial
masyarakat pembaca enam kota di Indonesia dan tingkat keberterimaan masyarakat
tersebut terhadap makna dan pesan utama 18 puisi adalah cukup besar, berkisar
50%--95%, responden </span><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">tahu, mengerti, dan paham akan
persoalan lingkungan hidup dan mereka pun tahu dan paham bagaimana cara
mengatasinya, serta dapat menerima dengan baik dan tepat atas makna dan pesan
utama kedelapan belas puisi tersebut. Masyarakat berharap agar sosialisasi atau
kampanye “sadar lingkungan”, melalui penyuluhan ataupun dengan pembacaan puisi
lingkungan hidup, tetap terus dilakukan secara berkesinambungan dan jangan
hanya sporadis. Hal ini mengingat bahwa kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup
yang bersih dan sehat dapat bangkit dan diterapkan dalam perbuatan sehari-hari
apabila sering diingatkan atau dipesankan melalui berbagai cara tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Buku <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Manusia,
Puisi, dan Kesadaran Lingkungan</i> ini merupakan hasil penelitian yang
bertajuk ”Persoalan Pemeliharaan Lingkungan Hidup yang Bersih dan Sehat dalam
Puisi Indonesia Modern” dari Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti
dan Perekayasa (PKPP) Kementerian Negara Riset dan Teknologi Tahun 2011. Oleh
karena itu, atas terbitnya buku hasil penelitian ini kami tidak lupa mengucapkan
terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: (1) Menteri Negara Riset dan
Teknologi melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah menyetujui penelitian ini dilaksanakan
dengan dukungan dana riset insentif yang diberikannya; (2) Dr. Ir. Anny
Sulaswatty, M.Eng., Kepala Biro Hukum dan Humas, beserta Dr. Wisnu dari
Kementerian Negara Riset dan Teknologi, atas monitoring dan pengarahannya dalam
melaksanakan penelitian ini, (3) teman-teman dari jajaran Pusat Penelitian
Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, atas pengelolaan program insentif PKPP TA 2011, (4) Prof. Dr. Cece
Sobarna selaku Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa, Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang
telah mengusulkan dan menyetujui kegiatan penelitian ini dilakukan hingga
selesai; (5) Dr. Mu’jizah selaku Kepala Bidang Pengkajian Bahasa dan Sastra,
Badan Bahasa, dan sekaligus sebagai konsultan dan narasumber penelitian yang
telah rela meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penelitian ini
hingga mencapai hasil yang sedemikian; dan (6) Drs. Dhanu Priyo Prabowo,
M.Hum., yang berkenan meyunting hasil penelitian dan mengusahakan terbitan buku
ini. Semoga amal baik beliau-beliau mendapatkan imbalan dari Tuhan Yang Maha
Esa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Harapan kami, buku hasil laporan penelitian yang sangat
bersahaja ini dapat memberi sumbang sih bagi usaha pelestarian dan pemeliharaan
lingkungan hidup yang bersih dan sehat kepada masyarakat di Indonesia,
khususnya dalam usaha sosialisasi atau kampanye sadar lingkungan kepada
masyarakat Indonesia, dan memberikan apresiasi puisi Indonesia modern yang
bertema masalah lingkungan hidup. Buku ini hanya sebagai salah satu sarana
untuk ikut serta mengingatkan masyarakat agar sadar lingkungan. Semoga. Amin.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Jakarta, 15 Novemberi 2011<span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-tab-count: 5;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Tim
Peneliti</b></span></div>
</div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-21045160852340002992011-10-02T05:54:00.001+07:002011-10-02T05:54:45.037+07:00Bang Adji Balon Cagub DKI<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOyIdeVYhUb3o8DMB5CONXNR2b8HORaBXQbqP9m6dYMz8ZkirS1C_AOfAyuL7nL6Lrtrgi7k_T45E7Fxcz9tpnlZRKIfs2qfVNASQWzDxPOjRHKaA8b2L7Qqugbu_79yFnZpDE5HfF1vvV/s1600/Hendardji_soepandji.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOyIdeVYhUb3o8DMB5CONXNR2b8HORaBXQbqP9m6dYMz8ZkirS1C_AOfAyuL7nL6Lrtrgi7k_T45E7Fxcz9tpnlZRKIfs2qfVNASQWzDxPOjRHKaA8b2L7Qqugbu_79yFnZpDE5HfF1vvV/s1600/Hendardji_soepandji.jpg" /></a></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Pemilik nama lengkap Mayjen TNI (Purn). Drs. H. Hendardji Soepandji,
SH., ini lahir dan besar di Semarang. Sosok yang dikenal punya jiwa
kepemimpinan (leadership), tegas, konsisten, jujur dan bersih, kompeten,
serta berintegritas tinggi ini menyelesaikan pendidikan militernya di
AKABRI Magelang pada 1974.</span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Beliau merupakan anak ke-4
dari 6 bersaudara dari pasangan almarhum Brigjen (Purn) dr. Soepandji
dan Roesmiati (Magelang), serta cucu dari almarhum dr. Roestamadji
(Semarang). Di militer, pria yang akrab disapa Bang Adji ini pernah
dipercaya mengemban jabatan Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat
(Dan Puspomad) pada 2006 dan Asisten Pengamanan (Aspam) KSAD pada
tahun 2008.</span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Sukses Bang Adji dalam karir, juga dialami
kelima saudara kandungnya. Kakak sulungnya, dr. Hendarto Soepandji,
menjadi dosen di Universitas Diponegoro Semarang. Kakak keduanya,
Hendarman Soepandji, adalah mantan Jaksa Agung RI. Lalu kakak
ketiganya, Dr. (Cand) Hendarti Permono, adalah dosen di Universitas
Yayasan Administrasi Indonesia Jakarta. Sementara adiknya Prof. Dr. Ir.
Budi Susilo Soepandji saat ini menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhanas). Adapun adik bungsunya, Ir. Bambang Tri Sasongko,
adalah pengusaha yang bergerak di berbagai bidang, antara lain batu
bara dan pelabuhan.</span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Menikah dengan dr. Ratna Rosita,
MPHM, saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian
Kesehatan, Bang Adji dikaruniai dua putra, yaitu Adit dan Ica.</span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Bang
Adji mencurahkan waktu, pikiran, dan energi untuk berikhtiar memajukan
dan menyejahterakan bangsa, khususnya Kota Jakarta. Terkait itu, Bang
Adji terbuka terhadap berbagai ide dan gagasan demi terwujudnya
kemajuan dan kesejahteraan tersebut.</span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Pada akhir 1997
dan awal 1998, ketika krisis moneter terjadi, sembilan bahan pokok
(sembako) hilang dari peredaran, Hendardji Soepandji yang saat itu
sebagai Dan Pomdam Jaya dapat menyelesaikan masalah penimbun sembako.</span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Pada
10 November 1998, ketika bentrok fisik antara PAM Swakarsa dan
masyarakat setempat di tugu proklamasi, Hendardji berdiri di antara dua
kelompok massa yang terlibat bentrok untuk melerai dan mengevakuasi
salah satu kelompok keluar dari Tugu Proklamasi.</span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Pada
22 November 1998, Hendardji menyelamatkan dan mengevakuasi 300 orang
kelompok suku Ambon dari Basement Gajah Mada Plaza ketika terjadi amuk
massa di jalan Ketapang, Jakarta.</span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Sebagai Dirut PPKK,
Hendardji akan menjadikan Kemayoran sebagai kawasan Green International
Business District (GIBD) seluas 454 ha dengan RTH 30% dan akan
membangun gedung Grand Kemayoran yang mampu menampung 25.000 penonton
untuk berbagai even, baik olahraga, kesenian & budaya, maupun
berbagai acara lainnya. Kemayoran (Jakarta ke depan) juga akan
dikembangkan sebagai Cyber City. Hendardji Soepandji juga merencanakan
untuk membangun transportasi sampai ke Kawasan kelurahan.</span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Saat ini Bang Adji mempersiapkan diri untuk maju menjadi bakal Calon Gubernur DKI Jakarta 2012-2017.</span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">(Sumber: http://bangadjicenter.com/page.php?p=biografi)</span></div>
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="font-size: small;"><span class="" style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><img alt="" class="photo_img img" src="http://a1.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc7/317143_1991933332609_1671667014_1418145_777685082_n.jpg" /></span></span></div>
OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-11145150255248784812011-07-17T17:44:00.000+07:002011-07-17T17:44:17.851+07:00Sastra Jendra dan Hubungannya dengan Pendidikan Anak dalam Kandungan<div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKI0UFBm6BgLepQ5MCyX8m6wjuPj9YDDOv2ef3Q9Gez86Fkb91aXl57Sc4l_8Au6mYMGahtJn6ixvTO2AKgpppwU19pRLDZO7S-K1cCGHsIQGaLqAA0si-Tks7hWqwqMPDSt7fBjehnvGs/s1600/wisrawa-sukesi-danaraja.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="203" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKI0UFBm6BgLepQ5MCyX8m6wjuPj9YDDOv2ef3Q9Gez86Fkb91aXl57Sc4l_8Au6mYMGahtJn6ixvTO2AKgpppwU19pRLDZO7S-K1cCGHsIQGaLqAA0si-Tks7hWqwqMPDSt7fBjehnvGs/s320/wisrawa-sukesi-danaraja.jpg" width="320" /></a><span style="font-size: small;"> </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Begawan Wisrawa adalah seorang penuntut ilmu kesuksmaan yang merosot derajat kesiswaannya karena tergoda oleh tiga macam godaan dan melanggar Paliwara. Godaan pertama, Wisrawa terpeleset oleh godaan kasar gebyaring wentis kuning “sengsemnya asmara”, yakni tergiur oleh kecantikan dan kemolekan Dewi Sukesi, putri raja Negeri Alengka, Prabu Sumali Raja, yang sebenarnya Wisrawa hanya bertugas melamarkan untuk anaknya Prabu Danapati, Raja Negeri Lokapala.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Setelah mampu mewedarkan rahasia ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” kepada Dewi Sukesi itu Begawam Wisrawa terkena godaan kedua, godaan gawat dengan masuknya Roh Batara Kala dalam tubuh dirinya, dan Dewi Sukesi pun terkena godaan gawat dengan masuknya Roh Betari Durga yang juga masuk ke dalam dirinya. Atas godaan tersebut, keduanya tidak sadarkan diri telah melanggar Paliwara bab syahwat. Perbuatan hina keduanya mendapatkan karma dengan lahirnya Rahwana, lambang keangkamurkaan nafsu amarah yang tidak mampu dikendalikan.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ketika Wisrawa tengah asyik memadu cinta di Taman Argo Soka Negeri Alengka bersama Dewi Sukesi, di luar Taman Sari terjadilah huru-hara kemarahan Arya Jambumangli mencacimaki dan menantang perang Begawan Wisrawa, serta menghina dina Dewi Sukesi sebagai wanita “pelanyahan” yang haus seksualitas. Merasa dirinya dihina dan diremehkan Jambumangli, Begawan Wisrawa terpeleset lagi akan godaan ketiga, godaan halus akunya (adigang adigung adiguna), bahwa dirinya lebih kuat dan perkasa, serta lebih agung dan lebih pandai dari Arya Jambumangli. Demikian halnya Dewi Sukesi pun sakit hati atas hinaan pamannya tersebut, dan meminta Wistawa untuk membereskannya. Perkelahiannya dengan Arya Jambumangli tanpa disadari pula oleh Wisrawa bahwa hal itu telah melanggar Paliwara bab “cecongkrahan” (berselisih). Arya Jambumangli gugur mengenaskan dengan tubuh termutilasi oleh panah sakti Wisrawa. Atas perbutannya ini keduanya menerima karma dengan lahirnya Kumbakarna dan Sarpakenaka, lambang nafsu Lauwamah dan Sufiah yang tidak mampu dikendalikan.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Wisrawa dan Sukesi kedatangan Resi Wasista dan Dewi Arundati, orang tua Wisrawa. Keduanya mendapatkan nasihat untuk kembali ke jalan benar, ialah jalan utama yang berakhir dalam kesejahteraan dan ketentraman abadi, yakni di hadirat Tuhan Sejati di Taman Kemuliuan Abadi. Bahwa ilmu Sastra Jendra Hayuningrat bukan hanya sekadar untuk pembicaraan, melainkan untuk dilaksanakan (menjadi laku) dengan dimulai menempuh Jalan Rahayu dan menyingkiri Paliwara, agar dapat melaksanakan panembah batin Hastha Sila dengan sempurna.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dewi Arundati memberi nasihat kepada semua wanita, terutama kepada Dewi Sukesi, agar dapat menjadi mustikanya wanita: (1) menyadari kewajiban suci sebagai lantaran menerima dan mengandung Roh Suci, (2) kewajiban suci ini haruslah dilaksanakan dengan kesucian dan kesusilaan dengan dasar kasih sayang sejati, dan (3) rasa kasih sayang sejati itu setiap hari haruslah dipupuk dan disirami dengan (a) mong-kinemong (saling asah asih dan asuh), (b) apura-ingapura (saling memaafkan), (c) ajen-ingajenan (saling menghormati), dan (d) tansah nuju prana murih adamel suka pirena (senantiasa dapat berkenan di hati agar dapat membuat rasa bahagia).</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi melaksanakan nasihat orang tuanya, Resi Wasista dan Dewi Arundati, dengan benar dan baik, mereka dianugerahi seorang putra yang purusatama: elok rupawan, berbudi suci, berderajat luhur dan mulia, berwatak utama, mursid (cerdas cendekia), dan senantiasa berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni Gunawan Wibisana, lambang nafsu Mutmainah yang penuh kasih kepada sesama umat dan menghormati semua agama. </span></div><div class="separator" style="clear: both; font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"></span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-85503753207203534322010-09-14T08:57:00.000+07:002010-09-16T19:32:08.701+07:00Raden Ngabehi Ranggawarsita: Karya dan Dunianya<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgefnR5rnExVhASJla7lKMs01R_c-h2fVt_4RpImUzlLtVkHe4NYnSdmjXkzNyLYWGXdOS46NZODwt-xDHmd0h5QXbmbSim3XXi4BtPkWwK5DuDuM9S_KelYtD7pIzsyQ6WQIUStjOVjrV3/s1600/Ranggawarsita.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgefnR5rnExVhASJla7lKMs01R_c-h2fVt_4RpImUzlLtVkHe4NYnSdmjXkzNyLYWGXdOS46NZODwt-xDHmd0h5QXbmbSim3XXi4BtPkWwK5DuDuM9S_KelYtD7pIzsyQ6WQIUStjOVjrV3/s320/Ranggawarsita.jpg" width="237" /></a></div><meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPUJISA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Trebuchet MS";
panose-1:2 11 6 3 2 2 2 2 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
p.MsoFooter, li.MsoFooter, div.MsoFooter
{margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
tab-stops:center 3.0in right 6.0in;
font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
p.MsoBodyText, li.MsoBodyText, div.MsoBodyText
{margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:justify;
line-height:200%;
mso-pagination:none;
tab-stops:-1.0in -.5in 0in .5in 56.6pt 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in 6.5in 7.0in 7.5in 8.0in 8.5in 9.0in 9.5in 10.0in 10.5in 11.0in 11.5in 12.0in 12.5in;
font-size:13.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> <br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> </span></i><b><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 20pt;">KALATIDHA</span></i></b><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 20pt;"><o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Raden Ngabehi Ranggawarsita<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">1. Mangkya darajating praja<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kawuryan wus sunya-ruri<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> rurah pangrehing ukara<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> karana tanpa palupi.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Ponang parameng-kawi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kawileting tyas malatkung<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kongas kasudranira<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tidhem tandhaning dumadi.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Hardayengrat dening karoban rubeda.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">2. Ratune ratu utama<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> patihe patih linuwih<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> pra nayaka tyas raharja<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> panekare becik-becik<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> parandene tan dadi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> paliyasing kalabendu<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Malah sangkin andadra<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> rubeda kang ngreribedi.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Beda-beda hardane wong sanagara.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">3. Katatangi tangisira<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sira sang parameng kawi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kawileting tyas duhtita<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kataman ing reh wirangi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dening upaya sandi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sumaruna anarawang<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> panglipur manuhara<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> met pamrih melik pakolih<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> temah suh-ha ing karsa tanpa weweka.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">4. Dhasar karoban pawarta<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> babaratan ujar lamis<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> pinudya dadya pangarsa<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> wekasan malah kawuri.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Yen pinikir sayekti<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> pedah apa aneng ngayun<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> andhedher kaluputan<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> siniraman banyu lali.</span></i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 200%;"> Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
<i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">5. Ujaring Panitisastra<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> awawarah asung peling<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> ing jaman keneng musibat<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> wong ambek jatmika kontit.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Mangkono yen niteni.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Pedah apa amituhu<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> pawarta lalawora<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> mundhak angroronta ati.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Angur-baya ngiketa cariteng kuna.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">6. Keni kinarya darsana<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> palimbang ala lan becik.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sayekti akeh kewala<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> lalakon kang dadi tamsil<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> masalahing ngaurip<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> wahanira tinemu<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> temahan anarima<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> mupus papasthening takdir<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> puluh-puluh anglakoni kaelokan.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">7. Amenangi jaman edan<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> ewuh aya ing pambudi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Melu edan nora tahan<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> yen tan milu anglakoni<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> boya kaduman melik<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kaliren wakasanipun.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Dilalah kersa Allah<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> begja-begjaning kang lali<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> luwih begja kang eling lan waspada.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">8. Samono iku babasan <o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> padu-paduning kapengin<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> enggih makoten Man Doplang<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> bener ingkang ngarani<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> nanging sajroning batin<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sejatine nyamut-nyamut.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Wis tuwa arep apa<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> muhung mahasing ngasepi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> supayantuk parimamaning Hyang Suksma.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">9. Beda lan kang wus santosa<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kinarilan ing Hyang Widhi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> satiba malanganeya<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tan susah ngupaya kasil<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> saking mangunah prapti<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Pangeran paring pitulung<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> marga samaning titah<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> rupa sabarang pikolih<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> parandene masih taberi ikhtiyar.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">10. Sakadare linakonan<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> mung tumindak mara ati<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> angger tan dadi prakara<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> karana wirayat muni<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> ikhtiyar iku yekti<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> pamilihe reh rahayu<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sinambi budi daya<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kanthi awas lawan eling<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kang kaesthi antuka parmaning Suksma.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">11. Ya Allah ya Rasulullah<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kang sipat murah lan asih<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> mugi-mugi aparinga<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> pitulung ingkang nartani<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> ing alam awal akhir<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dumunung ing gesang ulun<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> mangkya sampun awredha<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> ing wekasan kadi pundi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> mila mugi wontena pitulung Tuwan.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">12. Sageda sabar santosa<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> mati sajroning ngaurip<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kalis ing reh huru-hara<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> murka angkara sumingkir<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tarlen meleng melatsih<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sanityaseng tyas mamatuh<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> badharing sapudhendha<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> antuk wajar sawatawis<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> bo<b>rong</b> ang<b>ga</b> su<b>war</b>ga me<b>si</b> mar<b>ta</b>ya.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> </span><b><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 20pt;">ZAMAN RUSAK</span></b><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Raden Ngabehi Ranggawarsita<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">1. Sekarang derajat negara<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> terlihat telah </span><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">suram<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> pelaksanaan undang-undang </span><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">sud</span><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">ah rusak<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> karena tanpa teladan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> </span><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Kini, </span><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Sang Pujangga<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> hatinya diliputi rasa sedih, prihatin<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tampak jelas kehina-dinannya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> amat suram tanda-tanda kehidupan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> akibat kesukaran duniawi, bertubi-tubi kebanjiran bencana.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">2. Raja yang tengah berkuasa adalah raja utama<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> perdana menterinya pun seorang yang terpilih<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> para menteri juga bercita-cita menyejahterakan rakyat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> pegawai aparatnya pun baik-baik,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> meski demikian tidak menjadi<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> penolak atas zaman terkutuk ini,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> malahan keadaan semakin menjadi-jadi<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berbagai rintangan yang mengganggu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berbeda-beda perbuatan angkara orang seluruh negara.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">3. Daripada menangis sedih, bangkitlah <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> wahai Sang Pujangga<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> meski diliputi penuh duka cita<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> mendapatkan rasa malu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> atas berbagai fitnahan orang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Mereka yang mendekatimu bergaul,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> menghibur, seolah membuat enak hatimu,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> padahal bermaksud memperoleh keuntungan,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sehingga merusak cita-cita luhur, karena tanpa kehati-hatianmu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">4. Dasarnya terbetik berbagai berita</span><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kabar angin yang berujar munafik<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sang Pujangga hendak diangkat menjadi pemuka,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> akhirnya malahan berada di belakang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Apabila dipikir-pikir dengan benar<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berfaedah apa berada di muka?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Menanam benih-benih kesalahan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> disirami oleh air kelupaan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> apabila tumbuh berkembang menjadi kesukaran.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">5. Menurut buku <i>Panitisastra<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> memberi ajaran dan peringatan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> di dalam zaman yang penuh bencana<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> bahwa orang berjiwa bi</span><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">jak</span><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> justru kalah dan berada di belakang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Demikian apabila mau memperhatikan</span><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tanda-tanda zaman</span><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Apakah gunanya kita percaya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> pada berita-berita kosong<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> justru terasa semakin menyakitkan hati<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> lebih baik menulis cerita-cerita kuna.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">6. Hal itu dapat digunakan sebagai teladan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> untuk membandingkan hal buruk dan baik.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Tentunya banyak juga<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> lakuan-lakuan yang menjadi contoh<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tentang masalah-masalah hidup<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> hingga akhirnya ditemukannya,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> keadaan tawakal (narima),<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> menyadari akan ketentuan takdir Tuhan,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> bagaimana pula hal ini mengalami keanehan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">7. Menghadapi zaman edan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> keadaan menjadi serba sulit<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> turut serta edan tidak tahan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> apabila tidak turut serta melakukan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tidak mendapatkan bagian<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> akhirnya menderita kelaparan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sudah kehendak Tuhan Allah<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> betapun bahagianya orang yang lupa<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">8. Demikianlah perumpamaannya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> padahal mereka menginginkan,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> bukankah demikian Paman Doplang?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Benar juga yang menyangkanya,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> namun di dalam batin<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sesungguhnya hal itu masih jauh.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sudah tua mau apalagi,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sebaiknya menjauhkan diri dari keramaian duniawi<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> supaya mendapatkan anugerah kasih Tuhan Yang Maha Esa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">9. Berbeda bagi mereka yang telah teguh sentosa jiwanya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> betapapun tingkah laku perbuatannya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tidak susah untuk mendapatkan penghasilan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> oleh karena dari datangnya pertolongan Tuhan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Tuhan senantiasa memberi petunjuk dan pertolongan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> jalannya melalui sesama makhluk<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berupa segala sesuatu yang bermanfaat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Meskipun demikian, dia masih tetap tekun rajin berusaha.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">10. Sekadar menjalani hidup<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> hanya semata bertindak mengenakan hati<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> asalkan tidak menjadi suatu masalah<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dengan memperhatikan petuah orang tua<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> bahwa ikhtiar itu sesungguhnya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> memilih jalan agar selamat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sambil terus berusaha<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> disertai dengan awas dan sadar<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> yang bertujuan agar mendapatkan kasih anugerah Tuhan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">11. Ya Allah, ya Rasulullah<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> yang bersifat pemurah dan pengasih<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> semoga berkenan melimpahkan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> pertolongan yang menyelamatkan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> di dunia hingga ke akhirat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tempat hidup hamba<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> padahal sekarang (hamba) sudah tua<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> pada akhirnya nanti bagaimana (terserah),<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> maka semoga ada pertolongan Tuhan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">12. Semoga dapat sabar sentausa<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> laksana mati di dalam hidup<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> terbebas dari segala kerusuhan,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> angkara murka, tamak, loba menyingkir semua<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tiada lain karena berkonsentrasi diri memohon kasih Tuhan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> senantiasa melatih hatinya patuh<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> agar dapat mengurungkan kutukan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sehingga mendapatkan sinar terang sekadarnya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berserah diri agar dapat masuk surga yang berisi keabadian.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> </span><span lang="IT" style="font-family: "Trebuchet MS";">(Teks asli bahasa Jawa diambil dari </span><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Bratakesawa (ed). 1959. <i>Djangka Ranggawarsitan</i>. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Kulawarga Bratakesawa. Terjemahan bahasa Indonesia dilakukan oleh Puji Santosa).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 200%;">=================================<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 16pt;">ZAMAN EDAN: DERAJAT NEGARA SURAM<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Puji Santosa<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Kalatidha</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> adalah salah satu judul karya sastra yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita seputar tahun 1861. Karya ini merupakan kritik sosial profetis yang menggambarkan akan datangnya masa sulit, suram, rusak, dan tidak menentu yang disebut sebagai zaman edan. Pada zaman itu negara demikian kacau-balau, undang-undangnya tidak dihargai, derajat negara menjadi suram, dan rakyat semakin rakus dan loba. Hal ini mengingat pada tahun 1858 raja Surakarta, Sinuhun Paku Buwana VII meninggal dan digantikan oleh adik tirinya Kusen dengan gelar Paku Buwana VIII. Raja Surakarta ini memerintah tidak lama, hanya tiga tahun, dan meninggal 1861. Sepeninggal Paku Buwana VIII kemudian Kasunanan Surakarta digantikan oleh Paku Buwana IX yang merupakan anak dari Paku Buwana VI yang ditangkap oleh Belanda, dibuang ke Ambon, dan kemudian mati dalam pengasingan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Di bawah pemerintahan raja baru, Paku Buwana IX, kehidupan Ranggawarsita, terutama karier politiknya, mengalami berbagai hambatan. Banyak catatan yang mengatakan bahwa hubungan Ranggawarsita dengan raja yang bertahta kurang serasi. Hal ini terjadi karena beredarnya kabar bahwa penangkapan dan pembuangan raja Paku Buwana VI ke Ambon adalah karena rahasia yang dibocorkan oleh ayahanda Ranggawarsita sewaktu diinterograsi Belanda di Batavia. Atas peristiwa seperti itu Raja Paku Buwana IX tidak pernah menaikkan pangkat Ranggawarsita dari Kliwon Carik ke Tumenggung, apalagi menjadi Bupati. Bentuk kekecewaan Ranggawarsita seperti itulah yang diungkapkan dalam karyanya <i>Kalatidha</i> tersebut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Selain hal itu, <i>Kalatidha</i> juga disebut-sebut sebagai “Jangka Ranggawarsitan” yang memuat ramalan tentang zaman edan. Menurut catatan Bratakesawa (1959:34), selain <i>Serat Kalatidha</i> yang terdiri atas 12 bait dalam bentuk <i>tembang macapat sinom</i>, ditemukan pula <i>Serat Kaltidha Piningit</i> yang hanya terdiri atas 11 bait dari meja redaksi majalah <i>Sedya Tama,</i> Yogyakarta, tahun 1930. Dalam penulisan edisi <i>Kakilangit</i> ini yang digunakan sebagai acuan penulisan adalah <i>Serat Kalatidha</i> yang terdiri atas 12 bait, tanpa ada kata <i>piningit.</i> Kata <i>kalatidha</i> itu sendiri termuat dalam bait pertama baris ketujuh. Kata <i>kala</i> artinya <i>zaman</i> atau <i>masa</i>, dan kata <i>tidha</i> berarti <i>samar-samar, kabur, khawatir, ragu-ragu</i> (Nardiati <i>et al</i>. 1993). Jadi, <i>kalatidha</i> artinya suatu zaman atau masa yang serba tidak jelas, rusak, penuh dengan rasa kekhawatiran dan ragu-ragu untuk bertindak. Istilah lainnya adalah <i>kalabendu</i> atau <i>jaman retu</i>.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Kata <i>kalabendu</i> disebut dalam <i>Serat Kalatidha</i> bait kedua baris keenam. Kata <i>kala</i> artinya <i>waktu, zaman</i>, atau <i>masa</i>, dan <i>bendu</i> artinya <i>kutuk</i> atau <i>laknat</i> (Nardiati et al, 1993). Jadi, <i>kalabendu</i> artinya zaman yang penuh laknat, suatu masa yang penuh dengan kutukan Tuhan karena manusia banyak menyandang dosa. W.S. Rendra, dalam orasi kebudayaan di Solo, 27 Februari 2001, menyebut-nyebut pula pada zaman krisis sekarang ini sebagai zaman <i>Kalabendu</i>. Tentu saja referensi W.S. Rendra menyebut hal itu dari <i>Serat Kalatidha</i> karya Ranggawarsita (Lihat Ardus M. Sawega, <i>Kompas</i>, 30 Maret 2001, dengan judul artikel “Zaman Kaliyuga, Kalabendu, atau Tafsir Baru...”).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Sementara itu, perkataan <i>jaman retu</i> disebut-sebut dalam buku <i>Sasangka Jati,</i> “Pembuka Tunggal Sabda” (Pangestu Pusat, 1986:66). Kata <i>retu</i> berarti <i>rusak, kacau-balau, huru-hara</i>, dan <i>kerusuhan (</i>Nardiati et al, 1993:203, dan Mardiwarsito et al, 1985: 269). Jadi, arti perkataan “jaman retu” adalah suatu masa atau zaman yang penuh kerusakan, kerusuhuan massal, karut-marut, banyak kekacauan, dan penuh huru-hara.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Bait ketujuh <i>Serat Kalatidha</i> yang ditulis dalam bentuk tembang macapat, bermatra sinom, amat terkenal karena secara ekplisit memuat perkataan <i>amenangi jaman edan</i> “menghadapi zaman gila”. Isi keseluruhan teks <i>Kalatidha</i> karya Ranggawarsita itu memuat tanda-tanda kekuasaan zaman edan atau zaman rusak yang serba kabur dan tidak jelas yang mengakibatkan suramnya derajat negara. Tanda-tanda zaman yang termuat dalam <i>Kalatidha</i> karya Ranggawarsita itu antara lain sebagai berikut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">1) Derajat suatu negara terlihat suram, kosong dan sepi atau <i>suwung</i>, yakni suatu negara tidak lagi memiliki wibawa, tidak mimiliki pengaruh sama sekali pada rakyatnya atau negara lain. Meskipun penguasanya adalah raja utama, perdana menterinya orang yang memiliki kelebihan, para menteri dan aparat pegawainya baik-baik, tetap tidak dapat menolak hadirnya zaman kutukan karena sudah sebagai karma/dosa bangsa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">2) Rusaknya pelaksanaan undang-undang, yaitu masyarakat banyak yang melanggar tata aturan, baik penguasanya sendiri maupun rakyatnya tidak lagi patuh pada aturan negara yang ada, mereka berbuat sekehendaknya atau menyimpang dari aturan hukum yang ada.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">3) Tidak ada suri teladan, contoh, dari pemimpin negara, para aparatnya, dan penguasa pemerintahan, terhadap rakyatnya. Mereka sama saja perbuatannya, telah bejat moralnya, seperti melakukan korupsi, rebutan kekuasaan dan pengaruh, merasa benar sendiri, penindasan kepada rakyat, dan berbuat asusila, berderajat tercela, rendah, dan hina dina.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">4) Banyak rakyat yang sedih, menderita, prihatin, sengsara, dan kelaparan sehingga banyak terjadi kesukaran hidup, terasa hidup hina dina dan amat suram, serta hidup sengsara, tanda-tanda kehidupan di masa depan suram, gelap, dan tidak menentu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">5) Banyak terjadi musibah, bencana, dan malapetaka yang datang bertubi-tubi, silih berganti tiada henti-hentinya, baik yang disebabkan oleh murkanya alam maupun oleh kelalaian manusia yang rakus dan angkara.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">6) Berbeda-beda, berjenis-jenis, dan banyak ragamnya perbuatan angkara murka orang seluruh negara.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">7) Banyak berita bohong, kabar angin, sulit dipercaya kebenarannya karena banyak orang yang munafik, hanya pura-pura, penuh fitnahan, dan tipu muslihat, hanya bermaksud mencari keuntungan pribadi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">8) Banyak pejabat yang menanam benih-benih kesalahan, keteledoran, dan tidak hati-hati, disebabkan oleh lupa, alpa, dan khilaf sehingga menjadi perkara hukum dan sebagainya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">9) Banyak orang yang berjiwa baik, cerdas, dan bijaksana, justru kalah dengan mereka yang culas, kerdil, dan jahat (<i>wong ambeg jatmika kontit</i>). Itulah sebabnya orang yang baik-baik justru tersisihkan dan berada di belakang atau tenggelam oleh hiruk-pukuk dunia yang penuh angkara murka atas silau pesona maya dunia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">10) Terjadi banyak peristiwa keanehan, ajaib, tidak masuk akal, banyak orang yang stres dan putus asa, atau tidak bernalar sehingga serba sulit untuk bertindak. Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang menjadi gila, edan, atau tidak ada yang waras. Rumah-rumah sakit jiwa dipenuhi dengan pasien yang menderita gangguan jiwanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;"> Sebagai pembaca yang budiman tentunya kita bertanya-tanya: Apa yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan dalam menghadapi kekuasaan zaman edan? Banyak hal yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan ketika keadaan negara dan bangsa begitu rusaknya. Kita tidak perlu putus asa atau putus harapan, kita tidak hanya bertopang dagu sambil meratapi nasib dan keadaan, dan kita tidak hanya tinggal diam. Setiap perbuatan yang menuju ke arah kebajikan tentu dapat kita lakukan. Berdasarkan makna yang tersurat dan yang tersirat dalam <i>Serat Kalatidha</i> karya Ranggawarsita di atas tentu dapat kita deskripsikan tentang hal-hal yang dapat kita perbuat dalam menghadapi zaman edan sebagai berikut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;">1) Mematuhi peraturan negara dengan undang-undangnya secara baik. Sebagai warga negara yang baik hendaknya kita patuh melaksanakan undang-undang dan peraturan yang ada agar tertib, hidup teratur, dan berdisiplin. Undang-undang dan peraturan negara dibuat agar negara menjadi tertib, teratur, dan disiplin sehingga negara segera dapat mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;">2) Tidak mudah percaya pada kabar angin, kabar burung, atau pepesan kosong. Kabar-kabar burung itu banyak berisi fitnahan, hanya mengenak-enakan saja, bahkan ada juga kabar duka bagi orang lain. Oleh karena itu, kita dituntut untuk memiliki watak kehati-hatian (<i>weweka). </i>Artinya, kita dapat menyaring dengan benar berita itu, lalu menganalisisnya, dan kemudian baru bertindak sesuai dengan hati nurani agar kita tidak terjerumus ke jurang kehancuran.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;">3) Menjadi teladan perbuatan keutamaan. Di mana pun kita berada, dalam posisi apa pun, kita harus dapat menjadi teladan perbuatan keutamaan, baik di rumah, di kantor atau perusahaan tempat bekerja, maupun di tengah masyarakat. Dengan teladan baik itulah kita akan menjadi kusuma bangsa dan bukan sampah masyarakat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;">4) Tekun dan rajin beikhtiar. Bekerja dalam bidang apa pun kita dituntut untuk dapat tekun dan rajin berusaha mencapai prestasi. Kita tidak boleh berputus asa menghadapi situasi apa pun, baik itu yang berupa cobaan, bencana, malapetaka, maupun rintangan lainnya. Oleh karena itu, kita dituntut untuk tetap memiliki semangat berikhtiar mencapai cita-cita menuju keberhasilan dan kebahagiaan hidup.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;">5) Memperhatikan petuah orang tua. Artinya, kita selalu mengindahkan nasihat, ajaran, atau wejangan orang tua dahulu yang berusaha mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dicontohkan oleh Ranggawarsita dengan cara menuliskan cerita-cerita kuno, mempelajari serat <i>Panitisastra</i>, dan melakukan kegiatan kreatif yang bermanfaat bagi bangsa, negara, dan masyarakat lainnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;">6) Selalu tawakal dan bersyukur dengan menyadari ketentuan takdir Tuhan. Apa pun yang terjadi di dunia ini sudah kehendak Tuhan, tidak ada sesuatu peristiwa yang kebetulan, semuanya sudah diatur oleh Tuhan. Kita harus dapat tabah dan kuat menghadapi segala cobaan hidup, ikhlas menerima apa pun yang terjadi dengan selalu memanjatkan rasa syukur. Apa pun yang sudah ada di tangan kita, dikerjakan dengan senang hati, tidak tamak, tidak rakus, tidak loba, dan tidak serakah. Kita tidak menginginkan milik orang lain, dan juga tidak iri akan keberuntungan orang lain. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;">7) Sabar sentosa. Sabar artinya berhati lapang, dan sentosa artinya kuat, kukuh, dan teguh. Kita harus kuat menerima pelbagai cobaan, tetapi bukan orang yang mudah putus asa, melainkan orang yang berhati teguh sentosa, berpengetahuan luas, dan tidak berbudi sempit. Orang yang sabar sentosa dapat disebut sebagai lautan pengetahuan. Ibarat lautan yang dapat memuat apa saja, tidak meluap walau mendapat tambahan air dari sungai-sungai mana pun. Caranya ialah tidak mudah emosional, tidak marah, serta menyingkiri watak picik dan berangasan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;">8) Sadar dan Waspada (<i>eling lan waspada</i>). Kita dituntut untuk dapat selalu <i>eling lan</i> <i>waspada</i>. <i>Eling</i> berarti kita senantiasa sadar untuk berbakti kepada Tuhan. Salah satu caranya adalah selalu berzikir kepada Tuhan di mana pun kita berada, baik itu sedang duduk menganggur, sedang dalam perjalanan, sedang berdiri, sedang tiduran, maupun sedang bekerja. Waktu kapan pun, baik siang maupun malam, kita dapat senantiasa sadar kepada Tuhan. Cara yang lain adalah tidak melupakan dan tidak meninggalkan sembahyang. <i>Waspada</i> berarti mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Kita senantiasa diberi <i>weweka</i> “kehati-hatian” dapat membedakan mana emas dan mana tanah liat, mana berlian dan mana batu pasir.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;">9) Menetapi darma masing-masing. Kita hendaknya dapat menetapi darma atau kewajiban masing-masing dengan benar, baik kita sebagai bangsa brahmana, bangsa ksatria, bangsa waisya, maupun menjadi bangsa sudra sekalipun. Kita harus sungguh-sungguh menekuni bidang pekerjaan dan kewajiban masing-masing agar dapat melaksanakan bagiannya secara cermat dan teliti sehingga dicapai hasil yang sesempurna mungkin. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;">10) Mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa. Banyak cara manusia untuk dapat mendekatkan diri kepada tuhan Yang Maha Esa. Dalam <i>Serat Kalatidha</i> di atas dicontohkan dengan cara menjauhkan diri dari dunia keramaian, selalu <i>eling lan waspada</i>, menyadari akan takdir Tuhan, selalu berzikir, dan melaksanakan panembah atau sembayang sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Sembahyang merupakan tali kesadaran dan kepercayaan kepada Tuhan. Wujud mendekatkan diri kepada Tuhan adalah kita selalu berusaha meningkatkan kesadaran rasa iman dan takwa, selalu berzikir dan bersembahnya, serta berbuat keutanmaan atau berbudi pekerti luhur dan mulia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;">Kesepuluh hal di atas penting sekali kita laksanakan agar kita tidak ikut edan, tidak tergilas oleh arus zaman, serta tidak hanyut dalam situasi yang tidak menentu. Hanya dengan cara seperti itulah kita tidak tinggal diam menjadi penonton, tidak hanya bertopang dagu sambil meratapi nasib dan keadaan, serta tidak hanya menangis dalam kesedihan dan kedukaan. Dengan demikian kesepuluh hal di atas dapat kita jadikan pegangan dalam menghadapi kekuasaan zaman edan. Seberapa kemampuan kita melaksanakan kesepuluh hal seperti yang disarankan dalam tembang di atas, sebaiknya kita serahkan sepenuhnya kepada Tuhan yang Maha Esa agar terhindar dari kekuasaan zaman edan yang begitu dahsyat mencekam. Kita tetap mengasuransikan keselamatan jiwa raga kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dalam keadaan apa pun.***<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">==========================<br clear="all" style="page-break-before: always;" /> <o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 18pt;">BELAJAR DARI LINGKUNGAN, ASAL-USUL,<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 18pt;">DAN PENGALAMAN HIDUP<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Puji Santosa<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;"> Proses kreatif penulisan karya-karya Ranggawarsita dimungkinkan oleh lingkungan, asal-usul keturunan, dan pengalaman hidupnya. Ranggawarsita berasal dari keluarga bangsawan Keraton Surakarta. Dari garis keturunan ayah, dia adalah keturunan ke-10 dari Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), pendiri kerajaan Pajang. Dari garis keturunan ibu, dia adalah keturunan ke-13 Sultan Trenggana, raja Demak ketiga. Dari Sultan Trenggana ini menurunkan Pangeran Karang Gayam, pujangga kerajaan Pajang, yang telah menulis <i>Serat Niti Sruti, </i>yakni sebuah buku sastra yang berisi ajaran tentang etika kehidupan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;">Ranggawarsita terlahir dengan nama Bagoes Boerhan adalah putra Pangeran Pajangswara, seorang juru tulis kerajaan Surakarta, yang biasa disebut dengan Yasadipura III. Kakek Bagoes Boerhan adalah Raden Tumengung Sastranegara atau biasa disebut Yasadipura II adalah seorang pujangga kerajaan yang banyak menulis karya sastra Jawa klasik, seperti <i>Sasana Sunu</i> dan <i>Wicara Keras</i>. Sementara itu, kakek buyutnya adalah Raden Tumenggung Yasadipura I, seorang pujangga besar kerajaan Surakarta yang menghasilkan karya sastra Jawa klasik, antara lain, <i>Babad Giyanti, Dewa Ruci, Panitisastra, Serat Rama</i>, dan <i>Baratayuda</i>. Dua karya terakhir disadur dalam versi Jawa dari kisah klasik <i>Ramayana</i> dan <i>Mahabharata</i>.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;"> Kakek dari pihak ibu, Soedirodihardjo, adalah seorang ahli <i>tembang</i> (seni suara) dan <i>gending</i> (musik gamelan Jawa). Kakek dari pihak ibu ini adalah pemaian vokal yang ulung di zamannya dan dikenal dengan sebutan “Soedirodihardjo Gantang”. Pada waktu-waktu tertentu Pak Gantang duduk di dalam sebuah kurungan dan ditarik ke atas pohon besar di dekat bangsal istana. Dari atas pohon itulah Pak Gantang melagukan tembang-tembang yang menggema ke seluruh istana. Mereka yang mendengarkannya selalu berdecak kagum atas suara merdu mendayu Pak Gantang. Atas keahlian yang dimilikinya itu Pak Gantang mampu menghasilkan lagu khas gending Jawa yang disebut dengan <i>cengkok Palaran</i> (gaya Palaran). Nama Palaran ini diambil dari nama desa tempat Pak Gantang tinggal, yaitu Desa Palar, sekitar 30 Km arah barat daya kota Surakarta.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;"> Dari garis keturunan atau asal-usul jelas tidak mengherankan apabila Bagoes Boerhan tertarik dan menekuni minatnya di dunia seni sastra. Menjelang awal abad XIX di Jawa menjadi masa-masa puncak berkembangnya genre sastra Jawa Klasik yang disebut dengan sastra Islam Kejawen. Istilah ini mengacu pada sebuah tradisi tulis yang mencoba memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam tradisi warisan Hindu-Budha yang telah dibudaya Jawa-kan. Akar tradisi Islam Kejawen, atau <i>Jawi Selam</i>, sudah ada sejak zaman kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu kerajaan Demak. Melalui jasa para wali (Wali Sanga) penyebaran agama Islam di Jawa diadaptasikan dengan kultur budaya setempat seperti dengan istrumen tembang, wayang, dan gamelan Jawa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;"> Sejak usia 2 hingga 12 tahun Bagoes Boerhan diasuh oleh kakeknya, Tumenggung Jasadipura II, sehingga sejak usia dini sudah diperkenalkan dengan dunia tulis-menulis atau sastra. Hal ini ditunjang oleh lingkungan tempat tinggal Bagoes Boerhan yang sedang giat-giatnya mengembangkan dunia sastra. Bagoes Boerhan berada di sekitar para tokoh sastra Jawa Klasik yang menjadi pilar kesusastraan Jawa sehingga mudah mencerna dan mengembangkannya. Di bawah asuhan kakeknya, tentu secara khusus, Bagoes Boerhan dididik tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia sastra, tembang, wayang, dan kebudayaan Jawa umumnya untuk dipersiapkan menjadi tokoh sastra masa depan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;"> Pengalaman sehari-hari Ranggawarsita dalam menempuh perjalanan hidupnya banyak yang dituangkan dalam karya sastra yang ditulisnya, antara lain, <i>Serat Jayengbaya, Kalatidha</i>, dan <i>Jaka Lodhang</i>. <i>Serat Jayengbaya</i>, misalnya, adalah sebuah puisi panjang yang terdiri atas 250 bait. Dalam puisi naratif ini Ranggawarsita berkisah tentang seseorang yang sedang mencari jatidiri. Tokoh cerita ini merasa kedudukannya sekarang dalam kesusahan, yang merefleksikan atas hidupnya sendiri, dan membayangkan profesi lain yang menurutnya lebih enak, mulai dari pedagang kuda, penari, pemusik, prajurit, raja, bahkan menjadi Tuhan sekalipun. Namun, setiap kedudukannya itu, selain menawarkan kesenangan dan kenikmatan, juga mengandung resiko yang tampaknya tidak akan mampu ditanggungnya. Akhirnya, setelah direnungkan secara dalam, si tokoh memutuskan yang terbaik adalah menjadi diri sendiri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;"> Tidak hanya pengalaman hidupnya sehari-hari yang dituangkan dalam karya sastra yang ditulis Ranggawarsita, tetapi juga pesanan raja sebagai pujangga istana. Dalam hal ini Ranggawarsita menulis, antara lain, <i>Serat Paramayoga, Serat Pustaka Raja Purwa</i>, dan <i>Serat Cemporet</i>. Sastra yang ditulis itu berusaha mengangkat derajat negara dan raja melalui kisah simbolik dalam dunia wayang. <i>Serat Paramayoga</i> mengisahkan perjalanan Nabi Adam beserta kisah kehidupan para dewa, sampai kemudian tanah Jawa mulai dihuni menusia dengan kedatangan Aji Saka, dari Himalaya, India, ke tanah Jawa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;"> Buku sastra <i>Pustaka Raja Purwa</i>, merupakan kelanjutan kisah yang ada dalam <i>Serat Paramayoga</i>. Raja Aji Saka yang telah mampu menakhlukan raja Medangkamulan, Prabu Dewatacengkar hingga tenggelam di samudra selatan menjadi buaya putih, menurunkan raja-raja di tanah Jawa hingga sekarang kita kenal dalam sejarah. Dalam buku itu juga dikisahkan tentang muncul dan tenggelamnya berbagai kerajaan yang ada di Jawa. Dalam kisah raja-raja di Jawa itu juga banyak bertaburan legenda-legenda yang terjadi di tanah Jawa. Tentu saja kedua buku seperti itu dimaksudkan untuk melegitimasi kekuasaan raja-raja di Jawa dengan menciptakan mitos sebagai keturunan Nabi Adam dan para dewa, seperti kaisar Jepang sebagai keturunan Dewa Matahari (<i>Amaterasu Omikami</i>).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;"> <i>Serat Cemporet</i> ditulis Ranggawarsita atas permintaan Raja Paku Buwana IX. Dalam <i>Serat Cemporet</i> ini Ranggawarsita mengisahkan petualangan tiga orang putra raja yang tengah lari dari istana dan berguru di padepokan milik Ki Buyut Cemporet. Tentu saja kisah ini dipersembahkan kepada raja agar anak-anak raja tidak hanya tinggal bertopang dagu di istana, tetapi ke luar istana untuk berguru ilmu kanuragan atau ilmu kabatinan lainnya. Hal ini secara tersirat dilukiskan dalam petualangan ketiga anak raja yang sakti dan mampu menaklukan berbagai rintangan. Akhirnya, ketiga anak raja itu kembali ke istana memimpin negara dengan penuh kearifan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;"> Ranggawarsita menulis ramalan tentang negara dan bangsa Indonesia melalui karya sastranya <i>Serat Jaka Lodhang</i>. Ramalan yang terkenal dengan istilah “Jangka Ranggawarsitan” ini mengisahkan keadaan negara yang serba kacau balau, karut marut, banyak bencana terjadi, dan penderitaan yang berkepanjangan. Suatu saat akan datang kemenangan bangsa bumi putra atas penjajahan asing, tahun yang diperkirakan adalah 1877 Saka atau awal tahun 1946 Masehi. Kenyataannya bangsa Indonesia dapat bebas, merdeka, dari penjajahan pada 17 Agustus 1945, hanya terpaut beberapa bulan dari apa yang diramalkan Ranggawarsita.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;"> Gubahan karya Ranggawarsita lainnya yang sangat terkenal adalah tentang mistik Islam Kejawen, seperti <i>Wirid Hidayat Jati, Suluk Seloka Jiwa, Suluk Suksma Lelana, Suluk Supanalaya, dan Serat Sabdajati</i>. Dalam buku-buku itu Ranggawarsita mengungkapkan pengalaman mistik religiusnya menapaki jalan kerohaniahan, seperti halnya dalam tasawuf atau sufisme menempuh jalan syariat, tarikat, hakikat, hingga makrifat. Menurut Ranggawarsita upaya untuk menapaki jalan kerohanian itu harus mampu menyingkirkan nafsu-nafsu angkara yang ada dalam diri kita, seperti nafsu Sufiah, nafsu Amarah, dan nafsu Lauamah, sehingga nafsu Mutmainah dapat berkembang secara baik menuju ke singgasana Tuhan. Tujuan akhir dari hidup manusia adalah bersatu dengan Tuhan, mencapai kematian yang sempurna. Seperti yang dilukiskan dalam <i>Serat Sabdajati</i> berisi ramalan Ranggawarsita tentang kematian dirinya menghadap Tuhan, ditulis delapan hari sebelum ajal tiba. Ranggawarsita memang seorang pujangga yang <i>waskita,</i> mampu membaca tanda-tanda zaman dari pengalaman hidupnya.***<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; line-height: 150%;">=========================<o:p></o:p></span></div><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 12pt;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 16pt;">RADEN NGABEHI RANGGAWARSITA (1802—1873)<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 16pt;">PUJANGGA PAMUNGKAS KESUSASTRAAN JAWA</span></b><b><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 16pt;"> KLASIK<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Puji Santosa</span><span style="font-family: "Trebuchet MS";"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Ranggawarsita memiliki nama lengkap Raden Ngabehi Ranggawasita atau sering disingkat R.Ng. Ranggawarsita. Dia adalah pujangga pamungkas kesusastraan Jawa klasik zaman Surakarta yang senantiasa melekat di hati masyarakat Jawa. Dia terlahir dengan nama Bagoes Boerhan pada hari Senin, 15 Maret 1802 Masehi di kampung Yasadipuran, Surakarta, dan meninggal dunia pada 24 Desember 1873 dalam usia 71 tahun, dikebumikan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sejak usia 2 tahun hingga 12 tahun, Bagoes Boerhan diasuh oleh kakeknya, R.Ng. Jasadipoera II. Kakek buyutnya, R.Ng. Jasadipoera I adalah pujangga istana yang memainkan peran utama dalam masa kebangkitan rohani dan pembaharuan kepustakaan Jawa. Dengan demikian Ranggawarsita adalah seorang keturunan pujangga kenamaan kesusastraan Jawa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Menginjak usia 12 tahun, yaitu pada tahun 1813, Bagoes Boerhan dikirim kakeknya, Raden Tumenggung Sastranegara, pergi belajar ke Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur. Pada waktu itu Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari, diasuh oleh seorang guru agama kenamaan pada zamannya, yaitu Kiai Ageng Kasan Besari. Selain sebagai guru agama, Kiai Kasan Besari juga seorang ahli kebatinan yang masih berdarah priyayi. Konon kabarnya Kiai Kasan Besari ini adalah putra menantu Sinuhun Paku Buwana IV dan juga teman seperguruan R.T. Sastranegara. Tidaklah mengherankan apabila pesantren semacam itu di samping menghasilkan tokoh-tokoh agamawan, juga melahirkan tokoh-tokoh priyayi dan negarawan yang tersohor pada zamannya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Pada waktu belajar di pesantren Gebang Tinatar Tegalsari itu tampaknya Ranggawarsita kurang tekun mengaji dan mempelajari bahasa Arab. Sebagai seorang priyayi, Ranggawarsita yang berada di lingkungan pesantren ini mengalami tekanan batin sehingga menimbulkan kesadaran untuk meninggalkan cara hidup kemudaannya yang penuh kenakalan dan kemudian berusaha <i>mesu budi</i> untuk meningkatkan kemampuan rohaninya. Hal ini nanti akan tampak dalam karya-karya sastra yang ditulisnya. Namun, suasana pesantren Tegalsari tampak berpengaruh besar bagi kepribadian dan alam pikiran Ranggawarsita. Setelah dirasakan cukup belajar mengaji di pesantren Tegalsari, Ranggawarsita kembali ke Surakarta pada tahun 1815. Sekembalinya dari pesantren ini, Ranggawrasita kembali diasuh oleh kakeknya Jasadipoera II mempelajari seni, budaya, dan kesusastraan Jawa. Selain itu, dia juga berguru kepada Gusti Pangeran Boeminata, salah seorang adik Sinuhun Paku Buwana IV, tentang ilmu <i>kanuragan</i> atau <i>jaya kewijayaan</i>. Setelah berguru cukup lama tentang ilmu kanuragan ini, pada tahun 1819 Ranggawarsita diabdikan kepada Sunan Paku Buwana IV untuk magang sebagai <i>abdi dalem,</i> menjadi juru tulis, karena Gusti Pangeran Boeminata ketika itu menduduki jabatan kepala administrasi pemerintahan ibukota. Satu tahun kemudian, 1820, Sinuhun Paku Buwana IV wafat dan digantikan oleh Paku Buwana V.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Semasa pemerintahan Paku Buwana V ini Gusti Pangeran Boeminata senantiasa berusaha memohon agar kedudukan Ranggawarsita dinaikkan pangkatnya menjadi <i>Panewu Mantri Jaksa</i> dan <i>Mantri Emban</i>. Akan tetapi, permohonan Pangeran Boeminata tersebut tidak dikabulkan oleh Sunan Paku Buwana V. Hal ini mengingat bahwa pejabat lama yang telah meninggal dunia masih mempunyai ahli waris. Jabatan yang telah ditinggalkan oleh pejabat lama yang meninggal harus diserahkan kepada ahli warisnya. Pada saat itu, jabatan di Kasunanan Surakarta bersifat warisan. Seseorang cukup mendapat legitimasi jabatan dari orang tuanya, pamannya, atau kakeknya yang sudah meninggal untuk digantikannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Memasuki usia 19 tahun, Bagoes Boerhan dinikahkan dengan Raden Ayu Gombak, putri Bupati Kediri, Cakraningrat. Pernikahan sepasang pengantin ini dilaksanakan di dalem Penembahan Boeminata pada tanggal 19 November 1821. Perayaan pernikahan ini dilaksanakan selama lima hari lima malam. Kemudian dilanjutkan lagi ke rumah kakeknya selama lima hari lima malam juga. Tiga puluh hari kemudian, barulah kedua mempelai itu diboyong ke Kediri. Di Kediri pun pesta perkawinan mereka dirayakan lebih meriah dan lebih ramai daripada yang dilakasanakan di Surakarta. Maklum juga karena perayaan ini merupakan hajatan menantu pertama Bupati Kediri Cakraningrat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Hanya beberapa hari Bagoes Boerhan tinggal di kadipaten Kediri. Kemudian dia berpamitan kepada mertua dan istinya untuk mengembara lagi berguru ilmu dan pengalaman hidup. Dahulu selama dua tahun di pondok pesantren Gerbang Tinatar Tegalsari yang dilakukan Bagoes Boerhan adalah berkelana ke rumah warok dan jagoan-jagoan pasar untuk menimba ilmu dan pengalaman mereka. Tampaknya hal ini sangat merindukan bagi Bagoes Boerhan untuk kembali melakukan hal itu. Dengan berat hati, mertua dan istrinya mengizinkan Bagoes Boerhan untuk mengembara menuntut ilmu dan pengalaman hidup senyampang masih muda.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Pengembaraan Bagoes Boerhan diawali ke arah selatan kota Kediri, kira-kira 10 Km, di sana ada daerah yang namanya Ngadiwuluh. Di daerah ini tinggal seorang pertapa tua yang bijaksana dan tinggi ilmu pengetahuannya, bernama Ki Tunggulwulung. Kepada pertapa tua yang bijakasana itulah Bagoes Boerhan belajar ilmu dan pengalaman hidup. Banyak hal yang dapat dipelajari oleh Bagoes Boerhan dari sang pertapa tua ini. Atas kecerdasan, ketekunan, dan keterampilan mempelajari dan menguasai ilmu tersebut, selanjutnya Ki Tunggulwulung menyarankan Bagoes Boerhan untuk berguru kepada Ki Ajar Wirakanta di daerah Banyuwangi, ujung timur Pulau Jawa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Tidak ada yang harus ditunggu lagi, segera Bagoes Boerhan berangkat ke Banyuwangi menunaikan saran Ki Tunggulwulung untuk mencari dan menemukan Ki Ajar Wirakanta. Perjalanan dia ke Banyuwangi tentu memakan waktu lama karena harus melewati bukit-bukit, jalan terjal jalur selatan, belum ada kendaraan khusus selain jalan kaki atau naik kuda, dan tentu saja memerlukan istirahat serta menginap di perjalanan. Sesampainya di tempat tujuan, ternyata Ki Ajar Wirantaka memiliki sebuah padepokan dengan murid-muridnya yang cukup banyak. Di padepokan ini pun Bagoes Boerhan tidak lama tinggal di Banyuwangi karena Ki Ajar Warakanta mengamanatkan untuk belajar lebih luas lagi kepada Ki Ajar Sidalaku yang berada di Gunung Tabanan, Bali, yang merupakan guru Ki Ajar Wirakanta sendiri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Setelah berpamitan dengan guru dan para murid di padepokan itu Bagoes Boerhan segera berangkat menyeberangi lautan untuk menuju ke Pulau Bali. Perjalanan Bagoes Boerhan berhari-hari melewati rintangan yang berat, hingga akhirnya sampai di Gunung Tabanan dan bertemu dengan Ki Ajar Sidalaku. Di tempat orang tua ini Bagoes Boerhan lebih senang dan gembira mendapatkan ilmu sesuai yang diminati. Di tempat tinggal Ki Ajar Sidalaku ini ditemukan Bagoes Boerhan sejumlah kropak kuno yang ditulis di atas daun lontar. Kropak kuno ini segera dipelajari oleh Bagoes Boerhan dengan tekun satu demi satu dan ternyata beragam isinya, terutama kisah-kisah dan ajaran tentang agama Hindu dan Budha. Ki Ajar Sidalaku pun berkenan menghadiahkan teks-teks lontar kuno itu kepada Bagoes Boerhan untuk dibawa pulang ke Jawa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sesudah dirasakan cukup apa yang harus dipelajari dari Ki Ajar Sidalaku, Bagoes Boerhan pun berpamitan untuk meninggalkan Bali dan kembali kepada istrinya yang ditinggalkan di Kediri. Sesampainya di Kediri, Bagoes Boerhan disambut dengan gembira oleh istri dan mertuanya. Raden Ayu Gombak sudah tampak mengandung putranya yang pertama. Bagoes Boerhan sendiri sudah meninggalkan istrinya kurang lebih tujuh bulan lamanya. Di Kediri ini pun Bagoes Boerhan tidak lama tinggal karena sudah ada utusan dari Surakarta yang memintanya untuk segera kembali. Bagaiamana pun Bagoes Boerhan masih bertanggung jawab sebagai abdi dalem juru tulis.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Usaha Gusti Pangeran Boeminata untuk mengakat derajat Ranggawarsita tidak pernah putus asa. Pada tanggal 28 Oktober 1822 Bagoes Boerhan diizinkan menjadi <i>Abdi Dalem Carik Kepatihan</i> setelah melalui ujian kurungan dalam <i>gentha</i> selama tiga hari. Jabatan baru Ranggawarsita ini kedudukannya berada di atas <i>demang</i> atau <i>jajar</i> dalam struktur birokrasi Kasunanan Surakarta. Atas jabatan barunya itu Bagoes Boerhan mendapat gelar baru dengan nama Rangga Pujangga Nom. Tidak berapa lama dengan jabatannya ini, Paku Buwana V wafat dan digantikan oleh Paku Buwana VI, nama aslinya Supardan, dan bergelar Sinuhun Mbangun Tapa, karena sejak muda sudah berkelana ke hutan dan gunung-gunung untuk melakukan tapa brata. Pada masa pemerintahan Sinuhun Paku Buwana VI ini meletus geger perang Diponegoro (1825—1830). Semasa pemerintahan Sinuhun Paku Buwana IV ini, pada tahun 1826 Rangga Pujangga Nom dinaikkan pangkatnya menjadi <i>Mantri Carik Kadipaten Anom</i> dengan gelar Mas Ngabehi Surataka.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Seusai perang Diponegoro berkecamuk, Pemerintah Belanda segera menangkapi dan mengintrograsi beberapa pejabat kerajaan Surakarta yang dipandang berkhianat kepadanya. Salah satunya adalah RT Sastranegara, ayahanda Ranggawarsita, dibawa ke Batavia dan tidak kembali lagi. Menurut laporan Pemerintah Hindia Belanda bahwa RT Sastranegara tidak mau kembali ke Surakarta karena telah mendapat kedudukan yang enak di Batavia. Namun, menurut penyeledikan masyarakat Surakarta, RT Sastranegara disiksa dan dibunuh oleh serdadu Belanda dan mayatnya dibuang ke tengah lautan. Puncak ketegangan itu terjadi ketika Belanda menangkap Paku Buwana VI dan dibuang ke Ambon serta dikabarkan meninggal dunia tahun 1849. Setelah Paku Buwana VI diasingkan ke Ambon, kedudukan raja di Surakarta digantikan oleh Paku Buwana VII yang merupakan anak dari Paku Buwana IV.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sesudah ayahnya dibawa ke Batavia oleh Belanda dan tidak kembali lagi, Ranggawarsita diangkat untuk menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai <i>Abdi Dalem Panewu Sedasa</i> hingga tahun 1844. Pada tahun ini pula kakeknya Jasadipoera II wafat. Atas usulan Gusti Panembahan Boeminta, Ranggawarsita disetujui menggantikan kedudukan kakeknya sebagai pujangga istana dengan pangkat <i>Kliwon Carik</i> pada 14 September 1845 dengan gelar tetap Raden Ngabehi Ranggawarsita. Sejak anak-anak memang Ranggawarsita telah dididik dan dibina oleh kakeknya hidup dalam kesusastraan dan kebudayaan Jawa. Pengangkatan Ranggawarsita sebagai pujangga istana berkaitan dengan <i>wahyu kapujanggan</i> yang didapatnya ketika dia masih berada di Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari, Ponorogo. Tulisan-tulisan R.Ng. Ranggawarsita kemudian mendapat perhatian dan pengakuan dari Sunan Paku Buwana VII sebagai pujangga pamungkas atau <i>khatam kapujanggan</i> bagi Kasunanan Surakarta Hadiningrat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Mengawali menjadi pujangga istana tentu menghadang tantangan berat bagi Ranggawarsita. Cobaan hidup silih berganti dan seakan tiada berhenti. Pada tahun 1847 anak lelaki kesayangannya meninggal dunia dalam usia sepuluh tahun. Tidak begitu lama juga Gusti Panembahan Boeminata yang sudah dianggap orang tua bagi Ranggawarsita ikut menyusul anaknya meninggal dunia. Tahun berikutnya, 1848, istrinya Raden Ayu Gombak yang dicintai juga meninggal dunia karena sakit dalam usia 47 tahun. Pada tahun 1852 pun ibunya yang sakit-sakitan sepeninggal ayahnya ditangkap Belanda juga meninggal dunia. Ranggawarsita betul-betul merasa kehilangan atas meninggalnya beberapa orang yang dicintainya itu. Guna menghibur diri, pada tahun 1852 itu Ranggawarsita memutuskan untuk menikah lagi dengan putri Bupati Wonosobo.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Beberapa karya Ranggawarsita yang sangat termasyhur adalah (1) <i>Serat Jayeng Baya</i>, (2) <i>Serat Paramayoga</i>, (3) <i>Serat Pustaka Raja Purwa</i>, (4) <i>Serat Cemporet</i>, (5) <i>Serat Kalatida</i>, (6) <i>Serat Djoko Lodang</i>, (7) <i>Serat Wirid Hidayat Jati</i>, (8) <i>Suluk Seloka Jiwa</i>, (9) <i>Suluk Suksma Lelana</i>, (10) <i>Suluk Sapanalaya</i>, (11) <i>Sabda Jati</i>, (12) <i>Serat Jitapsara</i>, (13) <i>Aji Pamasa</i>, (14) <i>Panji Jayeng Tilam</i>, (15) <i>Serat Kridhamaya</i>, (16) <i>Serat Witaradya</i>, (17) <i>Serat Pamoring Kawula Gusti</i>, dan (18) <i>Serat</i> <i>Wedharaga</i>. Karya-karya Ranggawarsita itu sudah banyak yang mengkaji dan mempelajarinya dari sekadar untuk penulisan artikel di surat kabar, makalah pertemuan ilmiah, hingga disertasi doktor, seperti Kamadjaja (1964) <i>Zaman Edan</i> (Yogyakarta: UP Indonesia), Sumidi Adisasmita (1975) <i>Sekitar Ki Pujangga Ranggawarsita</i> (Yogyakarta: Yayasan Sosrokartono), Anjar Any (1980) <i>Raden Ngabegi Ranggawarsita: Apa yang Terjadi</i> (Semarang: Aneka Ilmu), Simuh (1988) <i>Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita</i> (Jakarta: UI Press), dan Ahmad Norma Permana (penyunting, 1998) <i>Zaman Edan Ranggawasita</i> (Yogyakarta: Bentang Budaya).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="line-height: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 12pt;">[Puji Santosa adalah peneliti bidang kebahasaan dan kesusastraan pada Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, pernah menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah (2006—2008), alumnus magister humaniora dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2002), dan kini menjabat sebagai Koordinator Jabatan Fungsional di lingkungan Pusat Bahasa.]</span><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-54687585343483669692010-09-02T07:07:00.000+07:002010-09-14T09:52:03.241+07:00Sri Mangkunegara IV: Karya dan Dunianya<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPUJISA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Trebuchet MS";
panose-1:2 11 6 3 2 2 2 2 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
p.MsoFooter, li.MsoFooter, div.MsoFooter
{margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
tab-stops:center 3.0in right 6.0in;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
p.MsoBodyText, li.MsoBodyText, div.MsoBodyText
{margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:justify;
line-height:200%;
mso-pagination:none;
tab-stops:-1.0in -.5in 0in .5in 56.6pt 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in 6.5in 7.0in 7.5in 8.0in 8.5in 9.0in 9.5in 10.0in 10.5in 11.0in 11.5in 12.0in 12.5in;
font-size:13.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> <br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiv9y3aOPTDoEK7KddpJEAP_oQqp0AvuJZuJlVXl9xxkM9bFIQBu_7npNzIGc-T4qOeYzCRI3uorJCBWqa1F1h6reW-b5VUxf-lUGy0Hy9xOBSWva04S219wG8-kTnP9Ng0FRbvrk9oWfB7/s1600/Mangkunegara+IV.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiv9y3aOPTDoEK7KddpJEAP_oQqp0AvuJZuJlVXl9xxkM9bFIQBu_7npNzIGc-T4qOeYzCRI3uorJCBWqa1F1h6reW-b5VUxf-lUGy0Hy9xOBSWva04S219wG8-kTnP9Ng0FRbvrk9oWfB7/s320/Mangkunegara+IV.jpg" width="188" /></a></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"> <b><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 20pt;">TRIPAMA<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal"> <span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Sri Mangkunegara IV<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">1. Yogyanira kang para prajurit<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> lamun bisa sira anuladha<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> duk inguni caritane<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> andelira sang prabu<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sasrabahu ing Maespati<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> aran patih Suwanda<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> lelabuhanipun<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kang ginelung tri prakara<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> guna kaya purun ingkang den antepi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> nuhoni trah utama.</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IT">2</span><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Lire lelabuhan tri prakawis<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> <b>guna</b> bisa saniskareng karya<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> binudi dadya unggule<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> <b>kaya</b> sayektinipun<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> duk bantu prang Magadha nagri<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> amboyong putri dhomas<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> katur ratunipun</span></i><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 18pt;"><o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> <b>purune</b> sampun tetela<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> aprang tandhing lan ditya Ngalengka nagri<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Suwanda mati ngrana</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IT">3.</span><i><span lang="IT" style="font-family: "Trebuchet MS";"> </span></i><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Wonten malih tuladha prayogi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> satriya gung nagri ing Ngalengka<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sang Kumbakarna arane<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tur iku warna diyu<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> suprandene nggayuh utami<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> duk wiwit prang Ngalengka<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dennya darbe atur<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> mring raka amrih raharja<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Dasamuka tan kengguh ing atur yekti<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dene mungsuh wanara.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">4. Kumbakarna kinen mangsah jurit<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> mring kang raka sira tan lenggana<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> nglungguhi kasatriyane<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> ing tekad tan asujud<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> amung cipta labuh nagari<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tan noleh yayah rena<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> myang leluhuripun<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> wus mukti aneng Ngalengka<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> mangke arsa rinusuk ing bala kapi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> punagi mati ngrana.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">5. <i> Wonten malih kinarya palupi<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Suryaputra Narpati Ngawangga<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> lan Pandhawa tur kadange<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> len yayah tunggil ibu<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> suwita mring Sri Kurupati<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> aneng nagri Ngastina<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kinarya gul-agul<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> manggala golonganing prang<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Baratayudha ingadegken senapati<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> ngalaga ing Kurawa.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">6. Den mungsuhken kadange pribadi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> aprang tandhing lan sang Dananjaya<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sri Karna suka manahe<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> den nggonira pikantuk<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> marga dennya arsa males sih<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> mring sang Duryudana<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> marmanta kalangkung<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dennya ngetok kasudiran<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> aprang rame Karna mati jinemparing<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sembada wirotama.</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="SV">7.</span><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Katri mangka sudarsaneng Jawi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> pantes kang para prawira<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> amirita sakadare<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> ing lelabuhanipun<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> awya kongsi mbuwang palupi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> manawa tibeng nistha<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> ina esthinipun<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sanadyan tekading buta<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tan prabeda ngudi panduming dumadi<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> marsudi ing kautaman.</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> (Sri Mangkunegara IV. 1995.<i> Tripama.</i> Semarang: Dahara Prize)</span><span lang="IN"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="IN"> </span><b><span lang="IN" style="font-size: 18pt;">TIGA SURI TELADAN<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sri Mangkunegara IV<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">1. Seyogyanya, wahai para prajurit<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> apabila engkau dapat meneladani<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> konon pada zaman dahulu ceritanya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> handalan utama sang prabu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Harjunasasrabahu di kerajaan Maespati <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> bernama Patih Suwanda<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> bakti dan pengabdiannya meliputi,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> terangkum dalam tiga perkara, yaitu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berguna, berhasil, dan bersedia seperti yang telah diyakini<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> memenuhi kesanggupan kasatria utama.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">2. Adapun yang dimaksud dengan tiga perkara pengabdian<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berguna, artinya dapat menyelesaikan tugas dan kewajibannya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berusaha untuk dapat senantiasa unggul;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berhasil: maksudnya adalah<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> ketika membantu perang melawan kerajaan Magada,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berhasil memboyong putri sebanyak delapan ratus,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dipersembahkan kepada Sang Raja;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berserdia: telah terbukti nyata berani<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berperang melawan Raja Raksasa dari Negeri Alengka,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Patih Suwanda gugur di medan laga.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">3. Ada lagi teladan yang utama<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> ksatria agung dari negeri Alengka<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> bernama Sang Kumbakarna<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> walau dia berwujud seorang raksasa<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> namun dia berusaha mencapai keutamaan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sejak berkecamuknya perang di negeri Alengka<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dia mengajukan saran<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> kepada kakandanya agar dapat selamat,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Dasamuka tidak terpengaruh atas saran adindanya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> beliau tetap berperang melawan pasukan kera.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">4. Kumbakarna ditugaskan maju berperang<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> atas perintah kakandanya itu dia tidak menolak<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> menetapi kesanggupan sebagai ksatria<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> walau dalam hati kecilnya tidak setuju,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> hanya yang terpikir dalam benaknya tetap membela negara<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dan teringat akan ayahanda dan ibundanya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> serta segenap para leluhurnya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sudah hidup mulia dan luhur di negeri Alengka<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sekarang akan dirusak oleh pasukan kera<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dia bersumpah mati di medan laga.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">5. Ada lagi yang lain teladan utama<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Suryaputra raja negeri Awangga<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dan dia masih saudara kandung Pandawa<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> lain ayahanda, tetap satu ibundanya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dia mengabdi kepada raja Sri Kurupati<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> di negeri Hastinapura<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> menjadi panglima perang<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> memimpin pasukan tempur dalam peperangan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> ketika Baratayudha dia dijadikan senopati<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> bala pasukan perang Korawa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">6. Berhadapan dengan saudaranya sendiri<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berperang tanding melawan Sang Dananjaya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sri Karna sangat senang hatinya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> oleh karena dia mendapatkan jalan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> untuk dapat membalas budi baik<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dari Sang Duryudana<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tentu berusaha dengan sungguh-sungguh<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> mengerahkan segenap kesaktiannya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berperang ramai sekali, namun Karna gugur terpanah<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sebagai ksatria yang gagah pemberani.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">7. Ketiga tokoh itu menjadi teladan orang Jawa<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> sepantasnya diteladan bagi semua perwira tamtama<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tentu inilah teladan sekadarnya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> atas pengabdiannya kepada negara<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> jangan sampai engkau meninggalkan teladan itu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> apabila tidak ingin jatuh dalam kehinaan,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> hina dina yang sesungguhnya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> walau niatnya sungguh suci,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> tidak berbeda budinya bagi sesama,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> berusahalah mencapai keutamaan hidup.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> (Sri Mangkunegara IV. 1995.<i> Tiga Perumpamaan.</i> Semarang: Dahara Prize)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="IN">==============================<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 18pt; line-height: 150%;">TELADAN KEUTAMAAN BAGI WIRA TAMTAMA</span></b><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 18pt; line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Puji Santosa<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> <i>Tripama</i> adalah salah satu karya sastra Jawa klasik karangan Sri Mangkunegara IV, raja di Pura Mangkunegaran (1809—1881), berbentuk puisi sebanyak tujuh bait. Kata <i>tripama</i> merupakan dua patah yang dirangkai menjadi satu kata, berasal dari kata <i>tri</i> dan <i>pama</i>, <i>tri</i> artinya tiga, dan <i>pama</i> artinya perumpamaan, tamsil, contoh, atau teladan. Berdasarkan perkiraan para ahli sastra, <i>Tripama</i> ditulis oleh Sri Mangkunegara IV seputar tahun 1860—1870. Tiga tokoh pewayangan yang ditampilkan sebagai teladan keutamaan bagi wira tamtama atau prajurit, yaitu Patih Suwanda dari negeri Mahespati, Raden Harya Kumbakarna dari negeri Alengka, dan Adipati Basukarna atau Suryaputra dari negeri Awangga.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Sosok tokoh pertama yang menjadi teladan para wira tamtama adalah Patih Suwanda. Dia menjadi handalan Prabu Harjunasasrabahu di negeri Mahespati. Ketika masih di pertapaan, dia bernama Bambang Sumantri. Oleh orang tuanya, Begawan Suwandagni, Sumantri diminta untuk mengabdikan dirinya kepada Raja Mahespati, bernama Prabu Harjunasasrabahu. Pengabdian Sumantri lama-kelamaan diterima sebagai Patih dengan berganti nama Suwanda. Pada suatu saat Patih Suwanda mendapatkan tugas meminang putri Magada melalui sayembara yang diadakan oleh negeri itu. Dalam menjalankan tugas itu Patih Suwanda dapat memenangkan sayembara, membawa pulang Dewi Citrawati dan putri domas, yakni putri boyongan sebanyak 800 orang yang akan dipersembahkan kepada rajanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sesampainya di Mahespati, Suwanda tampak pongah dan menuruti hawa nafsunya untuk menantang raja. Suwanda tidak mau menyerahkan Dewi Citrawati dan putri boyongan kepada raja Mahespati tersebut. Akibatnya, terjadilah perang tanding antara Suwanda dengan Prabu Harjunasasrabahu. Ternyata sang raja lebih sakti dan lebih unggul dari Patih Suwanda. Kekalahan Suwanda atas rajanya dapat diampuni asalkan mampu memindahkan Taman Sriwedari ke Mahespati dalam keadaan utuh dan baik. Dengan berat hati Suwanda menerima tugas itu. Berkat bantuan adiknya, Raden Sukrasana, Taman Sriwedari itu dapat dipindahkan ke Mahespati tanpa cacat. Dewi Citrawati dan para putri domas pun akhirnya bersenang-senang di taman tersebut. Pada saat mereka sedang asyiknya bersenang-senang di taman itu, mereka melihat raksasa yang buruk rupa dan menakutkan ada di dalam taman tersebut. Dewi Citrawati melaporkan hal itu kepada Prabu Harjunasasrabahu. Kemudian sang raja memerintahkan Patih Suwanda untuk mengusir raksasa itu dari Taman Sriwedari.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Suwanda sanggup menerima tugas itu sekalipun dengan berat hati. Suwanda tahu bahwa raksasa buruk rupa yang menakutkan dan berada di Taman Sriwedari itu adalah adiknya sendiri, Raden Sukrasana. Suwanda tidak mau terus terang kepada rajanya bahwa raksasa buruk rupa itu adalah adiknya. Ada perasaan malu untuk mengakui Raden Sukrasana itu sebagai adik kandungnya. Ketika diminta baik-baik untuk meninggalkan Taman Sriwedari itu, Raden Sukrasana tidak bersedia hingga mengakibatkan Suwanda marah. Tanpa disadarinya, Suwanda mengambil anak panah untuk menakut-nakuti adiknya tersebut hingga terlepas anak panah itu dari busurnya menancap pada dada Sukrasana. Sesal kemudian tidak ada berguna, Suwanda telah membunuh adiknya sendiri hanya demi pengabdiannya kepada raja Mahespati.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Pada peristiwa yang lain terjadi ketika Prabu Harjunasasrabahu dengan Dewi Citrawati dan delapan ratus putri selirnya sedang mandi bersama-sama di bengawan Silugangga. Prabu Harjunasasrabahu membendung aliran sungai Silugangga dengan cara <i>triwikrama</i> (mengubah wujud penampilan) sebagai raksasa besar pengganti bendungan tersebut agar dapat dipergunakan oleh permaisuri dan selir-selirnya mandi bersama-sama. Akibat bendungan itu, beberapa tempat mengalami banjir besar, salah satunya adalah negeri Alengka. Raja Alengka pada saat itu adalah Rahwana atau Dasamuka, raksasa yang berkepala sepuluh, kemudian menelusuri apa yang menyebabkan negerinya terkena banjir besar. Setelah mengetahui bahwa banjir besar di negerinya itu akibat ulah raja Mahespati, Rahwana pun marah dan memerintahkan pasukannya menyerbu negeri Mahespati. Patih Suwanda yang berada di istana tampil sendirian menghadapi Rahwana dan bala tentaranya. Dia tanpa terlebih dahulu melaporkan kepada rajanya, dengan alasan tidak mau mengganggu sang raja yang sedang bersenang-senang dengan permaisuri dan selir-selirnya. Dalam peperangan itulah akhirnya Patih Suwanda gugur karena kelengahannya. Suwanda gugur karena digigit oleh Rahwana yang dikiranya sudah mati, padahal Rahwana hanya berpura-pura mati.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Teladan berikutnya bagi para wira tamtama dalam <i>Tripama </i>adalah tokoh Kumbakarna, seorang ksatria dari Pangleburgangsa, di negeri Alengka. Ketika terjadi perang besar Alengka dengan prajurit Rama, Patih Prahasta yang menjadi handalan kerajaan Alengka menghadapi bala tentara Rama pun gugur di medan laga. Rahwana yang mendapat kabar itu termenung, bingung, dan bercampur sedih hingga lama tidak berbicara. Setelah hilang kebingungannya, Rahwana menyuruh prajurit raksasa untuk pergi ke ksatrian Pangleburgangsa. Pangleburgangsa adalah tempat tinggal Kumbakarna yang tengah bertapa tidur. Rahwana meminta para raksasa itu membangunkan adiknya yang sedang bertapa tidur. Segala upaya dilakukan oleh para raksasa untuk membangunkan Kumbakarna, misalnya dengan berteriak sekeras-kerasnya dan memukul-mukul segala bunyi-bunyian, tetap saja Kumbakarna tidur pulas. Ketika mereka hampir putus asa, seorang raksasa menemukan cara tepat membangunkan Kumbakarna yang sedang bertapa tidur, yaitu dengan cara mencabut bulu kuduk kakinya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Usaha raksasa itu berhasil dengan terbangunnya Kumbakarna dari tidurnya. Setelah bangun, Kumbakarna dijamu makanan yang banyak oleh para raksasa yang membangunkannya itu. Setelah selesai Kumbakarna makan dengan lahapnya semua makanan yang tersedia, dia diberitahu tentang keadaan peperangan di negerinya yang telah menggugurkan Patih Prahasta. Tanpa banyak berbicara Kumbakarna langsung menghadap kakaknya di istana. Sekali lagi, Kumbakarna mengingatkan kakaknya, Rahwana, untuk menyerahkan saja Dewi Sinta kepada Rama. Tindakan merebut Dewi Sinta dari tangan Rama jelas keliru dan menyebabkan peperangan dan bencana ini. Peringatan Kumbakarna tidak dihiraukan oleh Rahwana, justru pada saat itu Rahwana marah besar kepada Kumbakarna. Merasa tidak ada gunanya Kumbakarna mengingatkan kakaknya terhadap jalan kebenaran, tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada kakaknya, Kumbakarna berangkat ke medan peperangan. Di dalam hatinya, Kumbakarna tidak membela keserakahan dan keangkaramurkaan Rahwana, tetapi dia maju berperang karena membela negara, tanah air leluhurnya, dan sebagai warga negara wajib hukumnya membela tanah airnya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Di tengah medan peperangan, Kumbakarna berhadapan dengan beribu-ribu prajurit kera dari kerajaan Pancawati. Tanpa mengenal takut terhadap banyaknyaknya musuh yang menghadang, Kumbakarna tetap maju terus menggempur musuh-musuhnya. Korban dari prajurit kera pun berjatuhan satu per satu hingga ribuan jumlahnya. Melihat pasukannya banyak yang gugur di medan laga, Narpati Sugriwa pun maju sendirian menghadapi kemarahan Kumbakarna. Namun, apa daya kekuatan Narpati Sugriwa kalah unggul dengan kesaktian yang dimiliki Kumbakarna. Narpati Sugriwa tak mampu mengakhiri perlawanan Kumbakarna yang dahsyat itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Akhirnya, Wibisana meminta kepada Prabu Rama untuk memerintahkan Raden Laksmana maju ke medan laga menghadapi Kumbakarna. Tanpa banyak berbicara Raden Laksmana segera berangkat ke medan laga menghadapi kemarahan Kumbakarna. Berkat panah saktinya yang bernama <i>Sarawara</i>, Raden Laksmana mampu menghancurkan mahkota Kumbakarna, memutuskan kedua tangannya, dan juga mematahkan kedua kaki yang dimiliki oleh Kumbakarna. Tanpa mahkota, tangan, dan kaki lagi, Kumbakarna tetap maju terus melawan musuh. Semua prajurit ketakutan atas sepak terjang Kumbakarna yang demikian itu. Prabu Rama segera mengambil inisiatif dengan melepaskan panah saktinya yang bernama <i>Amogha Sanjata Guawijaya, </i>ketika Kumbakarna sedang berteriak dengan mulutnya yang terbuka lebar. Tepat mengenai telak pangkal lidahnya, Kumbakarna kemudian menemui ajalnya. Kumbakarna gugur sebagai kusuma bangsa membela tanah airnya, yakni negeri Alengka. Hal seperti inilah yang perlu dicontoh oleh semua prajurit wira tamtama negeri ini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Teladan berikutnya adalah tokoh Narpati Awangga, Basukarna atau Suryatmaja namanya. Dia masih saudara seibu dengan para Pandawa karena anak Dewi Kunthi yang tertua. Akan tetapi, dia kini menjadi bawahan atau mengabdi kepada raja Duryudhana dari negeri Hastinapura. Basukarna terpilih menjadi panglima tertinggi bala tentara Korawa dalam medan perang di padang Kurusetra, yakni perang Baratayudha. Tugas yang diemban Basukarna adalah berperang melawan saudara kandungnya, yakni Raden Dananjaya atau Raden Harjuna. Basukarna dengan senang hati menerima tugas itu karena diberi kesempatan membalas budi kebaikan kepada Prabu Duryudhana. Oleh karena itu, dia kerahkan segala kemampuannya untuk berperang tanding melawan adiknya. Namun, di tengah medan peperangan itu Basukarna gugur kena panah sakti Harjuna tepat mengenai lehernya. Basukarna memang kasatria hebat dan teguh janji.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Perang Baratayudha yang terjadi di padang Kurusetra sudah berjalan beberapa hari lamanya. Kedua belah pihak, baik Pandawa maupun Kurawa, telah banyak kehilangan prajurit dan panglima perangnya. Pada pihak Kurawa telah gugur senopati andalan Bisma, Drona, dan beberapa raja yang telah membantunya. Prabu Duryudhana tertekan batinnya, sedih, dan bingung memilih siapa lagi yang dapat dijadikan panglima perang melawan kekuatan para Pandawa. Atas saran Patih Sengkuni, Prabu Duryudhana akhirnya menunjuk Narpati Awangga, Prabu Basukarna, menjadi panglima perangnya menggantikan Bagawan Drona yang telah gugur di medan laga. Narpati Basukarna sanggup menjadi panglima perang karena merupakan wujud kesetiaan dan balas budinya kepada Kurawa yang telah memberi kedudukan dan kehidupan kepadanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sebelum berangkat ke medan peperangan, Narpati Basukarna meminta kepada Prabu Duryudhana agar dirinya dapat memperoleh seorang sais kereta yang sepadan dengan kedudukannya. Tentu saja permintaan itu segera dikabulkan oleh Prabu Duryudhana. Akan tetapi, ketika Narpati Basukarna menunjuk Prabu Salya sebagai saisnya, Prabu Duryudhana terkejut bukan kepalang bagaikan disambar petir di siang hari. Prabu Salya adalah mertua Prabu Duryudhana dan sekaligus juga mertua Narpati Basukarna. Mana mungkin seorang menantu berani meminta mertuanya menjadi seorang sais kereta kendaraan perang menantu lainnya. Kebimbangan itu pun akhirnya disampaikan kepada Prabu Salya. Ketika diminta hal itu, pada mulanya Prabu Salya menolak karena merasa direndahkan oleh menantu-menantunya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Perdebatan pun terjadi cukup lama antara Narpati Basukarna dengan Prabu Salya. Narpati Basukarna telah ditunjuk oleh raja Hastina sebagai panglima perang tertinggi, tentu saja merasa berhak menentukan siapa saja yang menjadi sais kereta perangnya itu. Mereka semua tahu bahwa musuh utamanya yang akan dihadapi adalah Raden Harjuna yang maju di medan perang dengan menggunakan sais kereta Prabu Kresna, raja Duwarawati. Narpati Basukarna merasa pantas menandingi Raden Harjuna apabila sais keretanya adalah Prabu Salya, yakni sais kereta perangnya sama-sama raja yang terhormat. Alasan Basukarna masuk akal dan dapat diterima oleh Kurawa. Prabu Duryudhana segera memohon dengan menghiba-hiba kepada Prabu Salya untuk dapat menjadi sais kereta perang panglima Kurawa yang baru. Menjadi sais kereta perang seorang panglima bukan menghinakan diri atau merendahkan derajat, tetapi justru menjunjung tinggi martabat dan kehormatan negeri Hastina. Atas dasar alasan seperti itulah kemudian dengan berat hati Prabu Salya bersedia menjadi sais kereta perang menantunya, Narpati Basukarna.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Pada mulanya Narpati Basukarna dalam medan perang Baratayudha itu dapat menggugurkan Raden Gatotkaca, putra Bimasena. Atas kemenangannya itu Narpati Basukarna membusungkan dada karena dielu-elukan oleh bala tentara Kurawa. Pihak Pandawa yang kehilangan putra terbaiknya segera mengatur siasat untuk perang tanding. Raden Harjuna harus maju perang tanding melawan Narpati Basukarna kakak sulungnya yang tunggal ibu. Di tengah medan pertempuran keduanya saling mengerahkan tenaga dan kemampuannya agar dapat memenangkan pertandingan hidup dan mati itu. Akhirnya, Narpati Basukarna terkena panah Pasopati milik Raden Harjuna tepat mengenai lehernya. Seketika itu pula gugurlah Narpati Basukarna di tengah medan pertempuran padang Kurusetra. Prajurit-prajurit Pandawa kemudian bersorak-sorai, bergembira ria meluapkan rasa kemenangannya atas gugurnya panglima perang Kurawa. Sebaliknya, para prajurit Kurawa lari pontang-panting menyelamatkan diri. Para Kurawa merasa ketakutan atas kehilangan panglima besar perangnya. Kemudian Raden Harjuna segera menghampiri jasat kakak sulungnya yang seibu itu seraya memeluk tubuhnya. Basukarna gugur sebagai ksatria kusuma bangsa bagi negara Hastina.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Pada bait terakhir, bait ketujuh dari <i>Tripama, </i>Sri Mangkunegara IV berusaha untuk menghimbau kepada para prajurit Mangkunegaran khususnya, kepada orang Jawa umumnya, dan kepada seluruh para wira tamtama yang ada di negeri ini, agar dapat menghargai jerih payah, karya, dan jasa para pendahulunya sesuai dengan darma bakti serta pengorbanannya. Tiga tokoh perumpamaan yang menjadi teladan para prajurit wira tamtama itu hendaknya mampu diterapkan bagi prajurit Mangkunegaran, orang Jawa, dan implikasinya terhadap para tentara dan bayangkara negera Republik Indonesia. Setiap prajurit harus mampu memegang teguh janji dan kesanggupannya sebagai seorang ksatria utama. Oleh karena itu, janganlah menyia-nyiakan jasa dan pengorbanan para pendahulu dan perintis negeri ini. Merekalah yang telah membuat harum dan memartabatkan negeri kita.***<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">==============================<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoBodyText" style="line-height: normal; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText" style="line-height: normal; text-align: center;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 18pt;">SASTRA SEBAGAI PENDIDIKAN JIWA</span></b><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoBodyText" style="line-height: normal; text-align: center;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 12pt;">Puji Santosa<o:p></o:p></span></div><div align="left" class="MsoBodyText" style="line-height: normal; text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Pendidikan jiwa sebagai hak asasi manusia yang mendasar merupakan alat pemberdaya kemampuan dan sebagai jalan utama menuju masyarakat belajar sepanjang hayat melalui jalur pendidikan nonformal dan informal. Hal itu sesungguhnya merupakan langkah penting bagi pembangunan kualitas sebuah bangsa yang bermartabat dan berkarakter sehingga tidak tercerabut dari akar tradisi dan budayanya. Dengan cara seperti itu lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansinya dengan kepentingan negara dan karakteristik peserta didik serta tetap memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan visi dan misinya yang berbasis kompetensi sehingga menjamin pertumbuhan keimanan dan ketakwaan umat manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penguasaan keterampilan hidup, akademik, seni yang dominan nilai estetikanya, pengembangan kepribadian bangsa Indonesia yang kuat, sehat, cerdas, kompetitif, bermartabat, dan berakhlak mulia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Salah satu konsep pendidikan jiwa melalui karya sastra dikemukakan oleh Sri Mangkunegara IV, sastrawan pujangga dan negarawanl bijak pada abad XIX, melalui beberapa karya yang ditulisnya, yaitu <i>Wedhatama, Wirawiyata, </i>dan <i>Tripama.</i> Sri Mangkunegara IV adalah seorang pujangga istana dan sekaligus juga seorang raja di Jawa yang boleh dikatakan sebagai “sabda pandita ratu”, <i>sabda pendeta raja</i>, artinya ucapan atau kata-kata raja itu sekaligus berisi ajaran tentang hal-hal duniawi dan sekaligus hal-hal yang bersifat surgawi. Raja berhak mengatur tata kehidupan rakyatnya yang bersifat duniawi, yakni masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan di dunia seperti pendidikan, kemasyarakatan, keprajuritan, pertanian, hukum, dan perkawinan. Sementara itu, pendeta hanya berhak mengatur tata cara kehidupan yang bersifat rohani, religiusitas, atau hal-hal yang berhubungan dengan masalah surgawi. Namun, apabila ada seorang pendeta dan sekaligus raja, maka dia berhak mengatur tata kehidupan masyarakat tentang masalah duniawi dan sekaligus surgawi. Hal inilah yang tercermin pada diri raja-raja Jawa, termasuk Sri Mangkunegara IV, sebagai seorang <i>pandita ratu </i>atau <i>satria pinandita</i>, ksatria sekaligus pendeta atau dengan idiom Islam yang digunakan sebagai <i>kalifatullah sayidin panatagama</i>. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Tiga buah karya Sri Mangkunegara IV, yaitu <i>Wedhatama, Wirawiyata,</i> dan <i>Tripama,</i> sudah sangat terkenal dan mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan tata ekosistem nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa. Dalam khazanah sastra masyarakat Jawa, karya sastra ini termasuk kategori <i>edipeni</i> dan <i>adiluhung </i>yang ditulis dalam bentuk tembang atau puisi, selain dikenal teks-teks sastra yang bersifat naratif dengan bertumpu pada penceritaan seorang tokoh atau suatu kisah tertentu dalam bentuk <i>babad</i> atau <i>gancaran</i>, dikenal pula teks-teks puitik yang berisi didaktik dan moralistik atau etika. Teks-teks seperti inilah yang disebut dengan <i>sastra piwulang</i> atau <i>sastra wejangan</i>, yakni sebuah karya sastra yang berisi ajaran tentang pendidikan jiwa, tentang ilmu lahir dan batin untuk mencapai kesempurnaan hidup di dunia hingga akhirat. Ciri khas jenis sastra seperti ini diwarnai oleh diskripsi tentang tata tingkah laku pergaulan hidup sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara, beragama, dan berbudaya. <i>Wedhatama, Wirawiyata,</i> dan <i>Tripama</i> sebagai teks <i>sastra piwulang </i>atau <i>sastra wejangan </i>pun merupakan teks yang memberikan tuntunan ilmu keutamaan lahir dan batin, yakni ilmu pengetahuan yang berisi pendidikan jiwa untuk membangun kehidupan moral, budi pekerti luhur, berakhlak mulia, dan kesempurnaan hidup di dunia hingga akhirat dengan teladan-teladan utama dari tokoh-tokoh yang berpengaruh, baik dari dunia sejarah kehidupan manusia maupun tokoh dalam dunia pewayangan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Wedhatama, Wirawiyata,</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dan <i>Tripama</i> karya Mangkunegara IV sebagai sastra <i>piwulang</i> telah menyapa pembacanya dengan cakupan yang luas, baik dari dimensi ruang maupun dimensi waktunya. Ruangnya pun tidak terbatas meliputi seluruh tanah Jawa, dan juga Nusantara, bahkan sampai ke negeri Suriname di Amerika Latin dan negeri Belanda di daratan Eropa. Waktunya pun membentang cukup panjang dari abad XIX, diperkirakan diciptakan semasa pemerintahan Sri Mangkunegara IV antara tahun 1853--1881, hingga abad XXI sekarang ini. Dalam perjalanan ruang dan waktu yang panjang itu <i>Wedhatama, Wirawiyata, </i>dan <i>Tripama</i> telah mampu begitu dalam menyentuh alam estetika dan etika manusia Jawa. Keberadaannya pun telah lama diselamatkan oleh rasa cinta dan kehauasan masyarakat pemiliknya, yakni manusia Jawa, terhadap tuntunan ilmu keutamaan yang menjanjikan ajaran tentang hidup dan kehidupan untuk tingkah laku yang mulia, beradab, dan bermartabat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Sesuai dengan namanya, judul buku menyiratkan keseluruhan isi, <i>Wedhatama</i> berisi ilmu pengetahuan atau ajaran keutamaan tentang perilaku kehidupan manusia di dunia. Atas dasar isinya inilah <i>Wedhatama</i> dikategorikan sebagai sastra <i>piwulang</i> atau sastra <i>wejangan</i> tentang etika atau moral hidup. Ir. Sri Muljono (1979:57) mengkategorikan <i>Wedhatama</i> sebagai sastra suluk atau sastra tasawuf, karena di dalam karya itu terdapat ajaran tentang kesempurnaan hidup, mirip dengan karya-karya para sufi, seperti adanya tataran <i>sembah raga, sembah cipta, sembah rasa</i>, dan <i>sembah kalbu</i>. Bahkan karya ini telah dibuat bahan disertasi oleh Mohammad Ardani dari Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah (1995) dengan judul: <i>Al-Quran dan Sufisme Mangkunegara IV: Sutdi Serat-Serat Piwulang</i> (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Piwulang</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> dalam <i>Wedhatama</i> memumpunkan ajaran tentang etika dan etiket hidup. Ajaran tentang etika, misalnya, seseorang harus berjiwa bersih, <i>sepi ing pamrih</i>, tidak sombong dan congkak, harus dapat tenggang rasa, suka memberi maaf kepada orang lain, rela, tawakal, sabar, jujur, dan menghormati pendapat orang lain. Sementara itu, ajaran tentang etiket, misalnya, seseorang harus dapat bersikap sopan, santun, pandai menyesuikan diri, mampu membaca pikiran orang lain agar tidak mengecewakan dalam setiap pertemuan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Selain <i>piwulang</i> tentang etika dan etiket, <i>Wedhatama</i> juga berisi ajaran tentang kesempurnaan hidup melalui jalan melakukan kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cara melakukan kebaktian kepada Tuhan itu dapat melalui empat tataran sembah, yakni <i>sembah raga, sembah cipta, sembah rasa</i>, dan <i>sembah kalbu</i>. Ir. Sri Mulyono (1979:59) memadankan keempat sembah dalam <i>Wedhatama </i>itu sama atau mirif dengan ajaran yang terdapat dalam tasawuf tentang syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Wirawiyata</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> adalah karya Mangkunegara IV yang penerbitan pertamanya bersamaan dengan <i>Tripama</i>, yaitu pada tahun 1927 oleh pihak Mangkunegaran sendiri. Setelah itu, <i>Wirawiyata</i> sering diterbitkan ulang oleh penerbit-penerbit swasta di Jawa, baik masih dalam bentuk aslinya menggunakan aksara Jawa maupun sudah ditranskripsi dalam bentuk tulisan Latin. Secara estetis <i>Wirawiyata</i> ditulis dalam bentuk tembang macapat yang terdiri atas 56 bait, terbagi dalam dua pupuh, yaitu (1) Sinom 42 bait, dan (2) Pangkur 14 bait. Karya tulis ini selesai pembuatannya pada hari Kamis, tanggal 1 Sakban, tahun Ehe, 1788 Jawa atau 1860 Masehi. Pembuatan <i>Wirawiyata</i> ini bertepatan dengan tiga tahun setelah beliau diresmikan sebagai Sri Mangkunegara IV. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Sesuai dengan judul naskah ini, <i>Wirawiyata</i>, kata <i>wira</i> artinya ‘seorang lelaki perwira’ atau ‘prajurit yang pemberani’, dan kata <i>wiyata</i> berarti ‘piwulang’ atau ‘ajaran’. Jadi, <i>wirawiyata</i> artinya ‘ajaran tentang keprajuritan’ atau ‘wejangan buat para prajurit’. Sri Mangkunegara IV ingin memiliki Korps Legioen Mangkoenegaran yang ada di bawah pimpinannya harus berbeda dari sebelumnya. Oleh karena itu, dibuatlah ajaran tentang keprajuritan ini dalam bentuk tembang macapat yang dapat digunakan sebagai doktrin keprajuritan Mangkunegaran. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Terekspresikan dalam dua pupuh, Sinom dan Pangkur, doktrin ajaran keprajuritan itu menyangkut: janji prajurit yang harus dipegang teguh dan kedisiplinan sebagai prajurit yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu, seorang prajurit harus memiliki rasa ketaatan kepada atasan, ketakwaan kepada Tuhan, ketidaksombongan, dan ketidaksewenangan dalam melaksanakan tugas sebagai prajurit Mangkunegaran. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Seorang prajurit yang baik harus dapat menepati janji seperti yang diucapkan waktu pelantikan. Janji itu harus dipegang teguh selama dia menjadi prajurit untuk membela negara dan bangsa. Ingkar akan janji prajurit akan membawa malapetaka, baik bagi diri sendiri yang menderita lahir batin maupun bagi bangsa dan negara yang dapat menimbulkan rasa malu orang tua, kesengsaraan dan penderitaan bangsa dan negara. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Kedisiplinan seorang prajurit perlu dilakukan dengan tepat dan tegas. Seorang prajurit harus dapat mentaati peraturan yang ada, harus disiplin waktu, disiplin kerja, dan disiplin dalam menjalankan tugas. Pelanggaran terhadap disiplin itu akan mengakibatkan jatuhnya sangsi terhadap prajurit, desersi, indisipliner, dan hukuman dari komandannya. Sebaliknya, apabila seorang prajurit dapat melaksanakan disiplin itu dengan baik, menyelesaikan tugas tepat waktu, tidak <i>mbalela</i>, seorang prajurit akan cepat naik pangkat, dan memperoleh penghargaan sesuai dengan jasanya dan pengorbannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Ketaatan seorang prajurit kepada atasan, komandan atau panglima, merupakan bakti yang harus dilaksanakan. Atasan prajurit, dalam hal ini komandan atau panglima perang mereka, merupakan koordinator pengendali stabilitas kesatuan dan persatuan prajurit, serta pemegang komando tugas operasional lapangan. Komandan atau panglima dalam hal keprajuritan adalah wakil raja sebagai panutan dan penuntun dalam melaksanakan tugas keprajuritan. Oleh karena itu, prajurit harus taat kepada atasan dan tidak boleh bertindak sendiri-sendiri. Apabila mereka tidak taat kepada atasan, kesatuan prajurit mudah dipecah belah, mudah diadu domba, dan mudah hancur bercerai berai atau <i>kocar-kacir</i>. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Tidak sepantasnya dan tidak pada tempatnya apabila seorang prajurit memikirkan hal kematian dalam peperangan. Tugas prajurit untuk berperang harus diartikan sebagai tugas membela negara dan bangsa,semata menjalankan perintah raja. Raja dalam hal ini dianggap sebagai kalifatullah, wakil Tuhan di dunia, sehingga perintah atau titahnya harus diartikan sebagai perintah atau titah Tuhan. Hidup dan mati seseorang itu berdasarkan ketentuan Tuhan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Sifat sombong atau takabur harus dihindari oleh seorang prajurit karena bertentangan dengan sumpah atau janji yang telah diucapkan. Sombong atau takabur merupakan sifat yang tercela, tidak terpuji, dan dapat mencemarkan nama korps dan negara. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah apabila seorang prajurit harus dapat menghindari sifat sombong, takabur, congkak, dan berbangga diri apa pun pangkat yang dimilikinya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Persoalan bunuh-membunuh dalam peperangan itu suatu perbuatan yang wajar dalam keprajuritan. Namun, sebagai seorang prajurit yang baik harus tahu diri kapan dan di mana ia harus membunuh musuhnya. Apabila seorang musuh itu telah menyerahkan diri, mengakui kesalahan dan kekalahannya, maka seorang prajurit tidak diperkenankan membunuh musuhnya yang telah menyerahkan diri. Musuh itu harus diperlakukan secara baik, tidak boleh disiksa, dan tidak boleh ditindak sewenang-wenang tanpa perikemanusiaan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Dalam pupuh Pangkur disebut tentang tata cara atau pedoman bagi seorang senapati atau panglima dalam memilih para prajurit yang baik. Seorang prajurit yang dipilih haruslah seorang pemuda, berasal dari keluarga yang bermental baik, pribumi atau penduduk asli, tidak cacat, badan sehat, tegap, dan kokoh, serta berbakat sebagai prajurit. Tentang perilakunya pun juga harus yang baik-baik dan tidak suka berfoya-foya, artinya hekmat dan bersahaja.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Demikian kurang lebih konsep pendidikan jiwa yang tertuang dalam beberapa karya Sri Mangkunegara IV yang dapat kita jadikan pedoman dalam mentunkan arah kebijaksanaan hidup.***<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">==========================<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: normal;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText" style="line-height: normal; text-align: center;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 16pt;">SRI MANGKUNEGARA IV (1809—1881):<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoBodyText" style="line-height: normal; text-align: center;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 16pt;">Sastawan Pujangga dan Negarawan Bijak<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoBodyText" style="text-align: center;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 12pt; line-height: 200%;">Puji Santosa<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: 150%; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sri Mangkunegara IV adalah sastrawan pujangga dan sekaligus seorang negarawan yang memperoleh gelar <i>satriya pinandita</i> atau <i>sabda pandita ratu</i>. Dia dilahirkan pada hari Ahad, 3 Maret 1809 di Surakarta dari pasangan Kanjeng Pangeran Adiwijaya I dengan Raden Ayu Sekeli, putri Sri Mangkunegara II. Sri Mangkunegara IV secara garis keturunan dari ibu adalah cucu Sri Mangkunegara II, sementara dari garis keturunan ayahandanya, beliau adalah <i>buyut </i>(cicit) dari Sri Susuhunan Pakubuwana III. Ketika baru lahir Sri Mangkunegara IV langsung diminta oleh kakeknya, Sri Mangkunegara II, untuk dijadikan putra angkatnya. Bayi yang masih kecil itu diserahkan ke salah satu selirnya, Ajeng Dayaningsih, lalu diberi nama R.M. Soedira. Di tangan selir raja Mangkunegara II inilah R.M. Soedira tumbuh sebagai anak yang sehat, cerdas, dan kompetitif.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: 150%; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sehubungan pada waktu itu di Surakarta belum ada pendidikan formal yang modern seperti sekarang, R.M. Soedira hanya mendapatkan pendidikan privat, yaitu mendatangkan guru agama dan guru pelajaran umum di istana Mangkunegaran. Di dalam pendidikannya itu dia mendapatkan pengetahuan agama, mendapatkan pengetahuan membaca dan menulis, serta belajar bahasa asing (terutama Belanda dan Inggris) dari guru-guru privat yang didatangkan ke istana Mangkunegaran tersebut. Meskipun demikian, semangat belajar R.M. Soedira sangat tinggi, tidak malu bertanya kepada siapa pun, termasuk kepada orang-orang Belanda yang didatangkan ke istana Mangkunegaran seperti JFC Dr. Gericke dan CF Winter. Dari guru-guru itulah R.M. Soedira mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, kesenian, kebudayaan, dan kesusastraan Jawa sehingga dapat menulis sendiri karya sastra. Dalam berinteraksi dengan guru-guru Belanda tersebut akan terlihat pada karya-karya sastra yang ditulisnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: 150%; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Pada usia 15 tahun dia pernah mengikuti pendidikan kadet Legioen Mangkunegaran selama satu tahun. Setelah itu dia menjadi pangeran prajurit Legioen Mangkunegaran untuk berperang membantu Kompeni Belanda melawan bala tentara Pangeran Dipanegara (1925—1830) di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Karena jasa dan keberaniannya membantu Kompeni Belanda pada waktu itu, pada tahun 1828, R.M. Soedira dinaikkan pangkatnya dari Letnan menjadi Kapten Infantri. Setelah kakaknya, R.M. Soebekti dipromosikan menjadi mayor, lalu R.M. Soedira pun ditugaskan sebagai komandan perang untuk mempertahankan benteng Gombong. Seusai perang Dipanegara, pada tahun 1831, R.M. Soedira kembali ke Surakarta dan mendapat berbagai penghargaan dari Kompeni Belanda atas jasa-jasanya membantu Kompeni dalam memerangi pemberontakan Pangeran Dipanegara.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: 150%; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">R.M. Soedira kemudian mengabdi kepada pemerintahan Mangkunegaran. Pengabdian R.M. Soedira kepada Raja Mangkunegaran itu tidaklah sia-sia. R.M. Soedira kemudian dinikahkan dengan putri sulung Sri Mangkunegara III, yaitu Bendoro Raden Ajeng Doenoek. Pada tahun 1836 dia diangkat sebagai pangeran dengan gelar R.M. Gandakoesoema serta diangkat sebagai <i>Patih Jero</i> atau patih kedua kadipaten Mangkunegaran dengan pangkat militer sebagai Mayor Infantri, komandan prajurit Legioen Mangkunegaran. Setelah Sri Mangkunegara III mangkat (1853), oleh Residen Surakarta atas nama Guburnur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, Pangeran Arya Gandakoesoema diangkat sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Praboe Prawadana IV, kemudian diberi pangkat militer dari Mayor menjadi Letnan Kolonel Komandan Legioen Mangkunegaran. Ketetapan untuk menjabat sebagai Kanjeng Gusti Prabu Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegara IV diberikan pada waktu dia berusia 47 tahun berdasarkan Surat Keputusan pada tanggal 16 Agustus 1857. Meskipun demikian pemerintahan Sri Mangkunegara IV sudah efektif terhitung mulai 1853.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: 150%; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Semasa pemerintahan Sri Mangkunegara IV (1853—1881) negara Mangkunegaran mengalami kemajuan dalam segala bidang, meliputi bidang pemerintahan, bidang kemiliteran, bidang sosial ekonomi, dan sosial budaya. Di bidang pemerintahan Sri Mangkunegara IV meneliti dan mempertegas kembali batas-batas daerah wilayah antara kekuasaan Mangkunegaran dengan hak milik Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Di bidang kemiliteran Sri Mangkunegara IV mewajibkan setiap kerabat Mangkunegaran yang telah dewasa, apabila hendak menjadi pegawai praja, mereka harus terlebih dahulu menjalani pendidikan militer sekurang-kurangnya enam bulan. Di bidang ekonomi Sri Mangkunegara IV menciptakan berbagai usaha komersial untuk menjadi sumber penghasilan negara, selain itu juga dapat membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi rakyat Mangunegaran. Usaha-usaha itu antara lain pendirian pabrik gula Tasikmadu di Colomadu, pabrik sisal di Mentotulakan, pabrik bungkil di Polokarto, pabrik bata dan genting di Kemiri, perkebunan-perkebunan di lereng gunung Lawu sebelah barat, dan usaha kehutanan di Wonogiri. Di bidang sosial budaya Sri Mangkunegara IV merintis kerajinan ukiran kayu, perhiasan, funitur alat-alat rumah tangga, hingga menciptakan berbagai tari, gemelan, wayang kulit, topeng, lukisan, dan karya sastra. Atas kemajuan di berbagai bidang itulah Sri Mangkunegara IV memperoleh anugerah dan bintang penghargaan dari Kerajaan Austria, Jerman, dan Belanda. Kebesaran Mangkunegara IV terutama sebagai seorang sastrawan dan kebudayaan Jawa dapat dibaca melalui karya sastra yang dihasilkannya, seperti <i>Wedhatama, Tripama, Wirawiyata, Manuhara, Nayakawara, Yogatama, Parimnita, Pralambang Lara Kenya, Langenswara, Sriyatna, Candrarini, Paliatma, Salokatama,</i> dan <i>Darmawasita</i>.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: 150%; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Atas dasar pengalama sebagai pangeran prajurit Legioen Mangkunegaran itulah kemudian Sri Mangkunegara IV menurunkan ilmu keprajuritannya dengan menciptakan <i>Serat Tripama </i>dan <i>Serat Wirawiyata </i>sebagai pembinaan terhadap para prajurit Mangkunegaran. Penciptaan <i>Tripama</i> dan <i>Wirawiyata</i> tersebut dilatarbelakangi pada perbedaan penafsiran tentang kedekatan Mangkunegaran dengan Pemerintah Hindia Belanda oleh para pangeran prajurit. Padahal, di Kasunanan Surakarta pada waktu seusai perang Pangeran Dipanegara banyak pejabat yang ditangkapi dan di buang ke darah lain, termasuk RT Sastranegara ayahanda Ranggawarsita dan Sinuhun Paku Buwana IV. Agar para pangeran prajurit Legioen Mangkunegaran itu memiliki kerangka acuan pemikiran yang sama tentang hal keprajuritan, maka terciptalah <i>Tripama</i> dan <i>Wirawiyata</i> sebagai doktrin keprajuritan itu. <i>Tripama </i>ditulis dalam bentuk tembang macapat sebanyak 7 bait dalam satu pupuh dhandhanggula, dengan tiga tokoh wayang sebagai teladan: Sumantri, Kumbakrana, dan Basukarna. Sementara itu, <i>Wirawiyata </i>ditulis juga dalam bentuk tembang macapat sebanyak 56 bait dalam dua pupuh Sinom 42 bait dan Pangkur 14 bait. Karya-karya Sri Mangkunegara IV dalam bidang kesusastraan dan kebudayaan Jawa dapat disebut sebagai karya sastra yang <i>adiluhung</i> dan <i>edipeni</i>.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: 150%; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV (1853—1881), selama 28 tahun, negara Mangkunegaran tampil beda dengan penguasa sebelumnya. Perubahan mendasar terdapat pada bidang struktur organisasi birokrasi, kebijakan sebagai penguasa, penataan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan militer. Atas tampilan yang beda dengan penguasa pendahulunya inilah Sri Mangkunegara IV mampu mensejajarkan diri dan berdampingan dengan praja kejawaan besar yang ada pada waktu itu, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, dan Pura Pakualaman. Pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV itu pulalah kehidupan sastra Mangkunegaran berjalan dengan baik, subur, dan semarak, serta penuh dengan gairah. Dari tangan raja kecil ini telah dihasilkan sebanyak 35 buah karya, yang dapat dikelompokkan menjadi: (1) <i>Serat-serat Piwulang </i>(Sastra ajaran), (2) <i>Serat-serat Iber </i>(Surat-surat Undangan), (3) <i>Serat-serat Panembrama</i> (Tembang-tembang penyambutan tamu), dan (4) <i>Serat-serat Rerepen lan Manuhara </i>(Pepatah, teka-teki, ungkapan cinta kasih, dan sebagainya). Sri Mangkunegara IV wafat pada tanggal 8 September 1881 dalam usia 72 tahun. Jasat beliau dimakamkan di Astana Giri Layu yang terletak di lereng gunung Lawu, kurang lebih 30 Km di sebelah timur kota Surakarta.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: 150%;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="line-height: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 12pt;">[Puji Santosa adalah peneliti bidang kebahasaan dan kesusastraan pada Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, pernah menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah (2006—2008), alumnus magister humaniora dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2002), dan kini menjabat sebagai Koordinator Jabatan Fungsional (Peneliti, Arsiparis, Pustakawan) di lingkungan Pusat Bahasa.]<o:p></o:p></span></div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-3010606486619438852010-08-15T23:39:00.001+07:002010-08-15T23:41:18.984+07:00Sori Gusti<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Cuser%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Trebuchet MS";
panose-1:2 11 6 3 2 2 2 2 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> <br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Sori Gusti</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> merupakan sajak-sajak terlengkap Darmanto Jatman sejak tahun 1959 hingga tahun 2002. Sajak-sajak Daramanto Jatman yang dihadirkan dalam buku <i>Sori Gusti</i> ini tanpa seleksi yang disunting oleh Triyono Tiwikromo. Dalam buku <i>Sori Gusti </i>itu sudah memuat hampir semua sajak Darmanto yang pernah diterbitkan, seperti dalam buku <i>Sajak-sajak Putih </i>(1965), <i>Sajak Ungu </i>(1965), <i>Sang Darmanto </i>(1975), <i>Bangsat </i>(1976), <i>Ki Blakasuta Bla Bla </i>(1980), <i>Karto Iyo Bilang mBoten </i>(1982), <i>Golf untuk Rakyat </i>(1995), <i>Isteri </i>(1997), dan ditambah dengan sajak-sajak baru Darmanto Jatman yang ditulis antara tahun 1997–2002. Dalam “Kata Pengantar” buku ini disampaikan bahwa ada beberapa sajak Darmanto Jatman yang tidak terdokumentasi dalam buku <i>Sori Gusti </i>karena beberapa hal, seperti sajak yang dirasa tidak baik sehingga ketika itu dibuang ke keranjang sampah oleh Darmanto sendiri, dan ada juga sajak yang hilang karena hanyut dalam musibah banjir. Ini semata karena musibah dan kesalahan diri yang membuat fatal dan penyesalan pada akhirnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> <i>Sori Gusti</i> terdiri atas tujuh banjaran, yaitu (1) Banjaran Pertama “Testimoni: Sori Gusti”, terdiri atas 35 sajak, (2) Banjaran Kedua “Main Cinta Model Kwang Wung”, terdiri atas 8 sajak, (3) Banjaran Ketiga “Plesir”, terdiri atas 34 sajak, (4) Banjaran Keempat “Medali-Medali Peradaban”, terdiri atas 9 sajak, (5) Banjaran Kelima “Laporan Kepada Rakyat”, terdiri atas 30 sajak, (6) Banjaran Keenam “Bahwa Aku Sekarang Merasa Tua”, terdiri atas 38 sajak, dan (7) Banjaran Ketujuh “Seorang Modern Menulis Puisi”, terdiri atas 10 sajak. Dengan demikian, keseluruhan sajak Darmanto yang dimuat dalam buku <i>Sori Gusti</i> ada sebanyak 164 sajak. Jumlah sajak lengkap yang ditulis oleh Darmanto Jatman ini sudah melebihi sajak-sajak lengkap Goenawan Mohamad (editor Ayu Utami dan Sitok Srengenge) yang hanya 134 sajak. Namun, jumlah sajak Darmanto Jatman ini pun masih berada di bawah sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo, atau Taufiq Ismail yang menulis sajak lebih dari 350 judul sajak.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Dalam buku kumpulan sajak <i>Sori Gusti</i> ini Darmanto kembali mengenalkan istilah <i>banjaran </i>seperti lakon wayang kulit di Jawa. Mula-mula istilah <i>banjaran</i> berasal dari dunia pertanian, yang artinya ‘deretan panjang’. Dalam bahasa Indonesia kata <i>banjaran </i>berarti: ‘deretan’, ‘jajaran’, atau ‘barisan’. Kemudian istilah itu dioper alih dalam dunia pedalangan wayang kulit di Jawa untuk menceritakan satu lakon utuh tentang seorang tokoh, misalnya “Banjaran Bhisma”, “Banjaran Baladewa”, “Banjaran Bima”, “Banjaran Arjuna”, dan “Banjaran Adipati Karno”. Salah seorang dalang wayang kulit di Jawa yang pertama mempopulerkan lakon banjaran adalah Ki Narto Sabda dari Semarang. Selanjutnya, lakon banjaran itu diteruskan dalang-dalang lainnya, seperti Ki Manteb Soedarsono dari Karang Anyar, dan Ki Anom Suroto dari Surakarta.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Dalam dunia kesusastraan, istilah <i>banjaran</i> diperkenalkan oleh Darmanto Jatman melalui buku kumpulan sajaknya <i>Isteri</i> (Grasindo, 1997). “Kata Pengantar” buku <i>Isteri</i> itu Darmanto menyatakan “<i>Isteri </i>yang sekarang ini memuat <b><i>banjaran</i></b> sajak-sajak saya sejak 1960 sampai 1996, eh 1997 ini. <i>‘Selected Poems’</i> tentu saja.” Kemudian dalam buku kumpulan sajak Darmanto Jatman yang baru, <i>Sori Gusti</i> (LIMPAD, 2002), istilah <i>banjaran </i>lebih diekspos. Sebab, istilah <i>banjaran </i>itu dipakai oleh penyunting buku (Triyono Tiwikromo) sebagai tanda bab atau pengelompokan ataupun kategori sajak-sajak Darmanto (terdiri atas tujuh banjaran, lihat pula esai penyunting dalam buku itu), dan dipergunakan sebagai judul esai seorang pengamat, “Banjaran Darmanto Jatman”, oleh Adriani S. Soemantri dalam buku itu juga.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Judul buku <i>Sori Gusti</i> diangkat dari salah satu judul sajak yang ditulis oleh Darmanto pada tahun 2001. Judul itu secara tersurat sudah menunjukkan pemakaian campur kode dan alih kode bahasa. Kata <i>sori</i> merupakan serapan dari bahasa Inggris <i>sorry</i> (lema <i>sori </i>belum masuk dalam <i>Kamus Besar Bahasa Indonesia</i>) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi kata ‘sedih’, ‘maaf’, atau ‘sesal’. Sementara itu, kata <i>Gusti</i> merupakan serapan dari bahasa Jawa (lema <i>gusti </i>sudah masuk dalam <i>Kamus Besar Bahasa Indonesia</i>) yang artinya ‘sebutan untuk orang bangsawan atau Tuhan (atau yang dianggap Tuhan)’. Jadi, dalam buku itu Darmanto Jatman berdiri di antara dua bahasa, yaitu Inggris sebagai simbol “peradaban mendunia” dan Jawa sebagai simbol “peradaban primodial”, dalam ke-Indonesia-annya sambil mengungkapkan perasaan sedih dan sesalnya atas perbuatan yang pernah dilakoninya selama ini kepada Tuhannya. “Mohon maaf Tuhan”, “Maafkan saya Tuhan”, atau “Ampun Tuhan”. Begitu kiranya isi buku itu sebagai pengakuan dosa menilik dari makna judulnya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Terlintas buku <i>Sori Gusti</i> bernada religius atas kesadaran iman seorang Jawa tulen yang menganut agama Kristen/Nasrani. Memang dalam banjaran pertama itu banyak diungkapkan masalah pencarian, pergulatan, permenungan, perlawanan, penemuan, kegelisahan, dan kepasrahan aku lirik terhadap yang disebutnya sebagai Gusti, yaitu Tuhan, Allah, Kristus, Jesus, Isa Almasih, ataupun Dzat yang Mahaagung “<i>Kang Murbeng Dumadi, Jagat rat pramudita</i>.” Di sini tampak sekali perpaduan iman seorang Jawa yang mampu menjadi wadah sinkretisme. Darmanto Jatman tidak segan-segannya menggunakan idiom keagamaan, seperti “abracadrabra, duh Betara. Betara” (sajak “Karena Bosan Dia Mati”), “O Allah!” (sajak “So Private This Loneliness”), “Insya Allah” (sajak “10 Februari 1969 Kau dan Aku”), “Sugeng rawuh Gusti. Syalom alekheim. Salamalaikum. Aum shantih shanthih shantih aum. Namo budaya. Sancai. Sancai. Sancai. Rahayu, Basuki, Slamet” (sajak “Jangan Panggil Aku Gusti”), “Amin. Gusti, nyuwun kawelasan. Halleluyah. Allahu Akbar. Salam. Syalom. Sadhu. Sancai. Rahayu. Amin” (sajak “Cucu”), dan “innalillahi wainailhi rojiuun” (sajak “Roro Blonyo”). Dengan demikian, jelas di sini Darmanto Jatman ingin menunjukkan adanya keberagaman (pluralisme atau multikultural) dalam peribadatan manusia kepada Tuhan. Meskipun beragam dalam hal beribadatan, semua itu pada hakikatnya menuju ke satu tujuan, yaitu keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia hingga akhirat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Banjaran kedua dalam buku <i>Sori Gusti</i> lebih mengekspos masalah-masalah percintaan. Manusia hidup di dunia itu membutuhkan belaian kasih sayang lawan jenis. Dalam dunia percintaan tidak pandang bulu harus yang muda remaja saja yang berhak bermain cinta. Seorang kakek-kakek yang sudah menjadi begawan atau pendeta, seperti Begawan Wisrawa, tokoh pewayangan dalam kisah Ramayana, dapat tergiur asmara daun muda si Rara Dewi Sukaesi. Demikian juga si Duda Bantat, Karta Telo, pada masa tuanya justru diuji Tuhan untuk jatuh kasmaran pada istrinya sendiri. Itulah sebabnya permainan cinta mereka seperti binatang kwang wung. Kata <i>kwang wung</i> dalam banjaran kedua ini merujuk pada nama binatang kumbang kelapa atau hama kelapa. Biasanya binatang kwang wung hanya terbang berputar-putar di sekitar pohon kelapa sambil mengeluarkan suaranya (<i>brengengeng</i>). Banjaran kedua ini menunjukkan keberagam dalam hal bercinta, dari yang muda belia hingga yang kakek-kakek.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> “Pelesir” menjadi tanda keberagaman dalam banjaran ketiga buku kumpulan sajak <i>Sori Gusti.</i> Pelesir artinya pesiar, melancong, ataupun tamasya. Seseorang yang pelesir berpergian jauh, meninggalkan rumah, biasanya pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan seperti pantai, gunung, dan objek-objek wisata yang lainnya. Tujuaannya tiada lain adalah mencari hiburan dan sekaligus mencari pengalaman hidup. Demikian juga halnya dengan ke-34 sajak Darmanto yang dimuat dalam banjaran ketiga itu memotret pengalaman aku lirik ketika mengunjungi tempat-tempat wisata. Kunjungan Darmanto ke berbagai kota di luar negeri, seperti Honolulu-Hawaii, Taipei-Taiwan, Negeri Kiwi, Rotterdam-Belanda, Adelaide-Australia, dan London-Inggris, menjadi ajang kreativitas memotret perilaku dan pengalamannya di negeri orang tersebut. Demikian halnya dengan kota-kota lain di negerinya sendiri, seperti Yogya, Jepara, dan Bantul ketika terjadi perubahan peradaban, dari yang tradaisional ke dunia modernisasi menjadi ajang kreativitas yang menarik bagi Darmanto. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> “Medali-Medali Peradaban” menjadi tanda banjaran keempat dalam buku <i>Sori Gusti</i> itu. Darmanto kembali momotret sikap seseorang dalam menghadapi perubahan zaman, seperti tokoh Marto Klungsu dari Leiden, Ki Lurah Karangkedempel sewaktu menerima mahsiswa KKN di desanya, Karto Tukul dan Saudaranya Atmo Boten ketika menerima produk “Dagadu Djokja”, menjadi hal yang menarik untuk mendapat pengahargaan dari siapa pun. Sikap mereka ketika menerima perubahan zaman itu ada yang melawan, meronta-ronta ingin tetap mempertahankan tradisinya, dan ada pula yang hanya pasrah total mengikuti arus zaman. Mereka ada yang tidak kuasa membendung laju modernitas menerjang habis peradaban adiluhungnya. Ampun Darmanto.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Tema sosial kemasyarakatan, juga masalah ekonomi dan politik, menjadi tanda banjaran kelima “Laporan Kepada Rakyat” buku kumpulan sajak <i>Sori Gusti</i>. Bebagai masalah sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat kita, seperti masalah transmigrasi, patriotisme kromo, pelacuran, AIDS, pemilu, demonstrasi, suksesi, kekuasaan, dan reformasi pun menjadi objek menarik dalam banjaran kelima. Ketidak-beresan dan berbagai penyelewengan yang terjadi dalam masyarakat kita itu perlu dilaporkan kepada rakyat. Rakyat perlu mengetahui dan memahami dengan benar karakter bangsanya dan semua peristiwa yang terjadi di negerinya. Atas dasar laporan itu maka perlu ditindak-lanjuti untuk segera “memayu hayuning bangsa lan negara”. Segeralah “diruwat” (dibebaskan) bangsa kita ini dari semua penderitaan dan juga azab Tuhan. Dari mana harus “diruwat” bangsa yang telah carut marut ini? Darmanto memberi solusi dari “Generasi Demi Generasi”, terutama me-“Reformasi Diri” untuk menuju “Harmoni (meskipun) Itu (baru sampai pada tataran) Sepasang Sandal Jepit”. <o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 12pt;"> Banjaran keenam dan ketujuh dalam buku <i>Sori Gusti </i>ini lebih dimaksudkan sebagai keberagaman renungan dan penemuan jatidiri Darmanto ketika memasuki usia senja dan menjadi manusia modern di tengah masyarakat madani. Semakin tua usia hendaknya ia semakin tumbuh kesadaran dirinya untuk menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat dan bangsanya. Ibarat ilmu padi, semakin tua semakin berisi, ia dapat menunduk, <i>andhap asor</i>, dan penuh dedikasi diri pengabdian kepada bangsa, negara, masyarakat, dan tentu juga kepada Tuhan. Pada usia senjanya ini Darmanto Jatman tidak perlu lagi <i>yak-yakan, nyleneh</i>, menggebu-gebu ataupun meledak-ledak seperti ketika berusia muda dahulu. Emosinya pun tentu dapat diredam dan amarahnya juga dapat dikendalikan. Kini tinggallah kewaspadaan, kehati-hatian, dan santun dalam berperilaku serta bertutur kata hanya semata ia sudah “<i>sumarah</i> kepada Gusti”, <i>“sumendhe ing</i> Gusti”, “<i>sumeleh ing</i> Gusti”, mohon ampun Tuhan, dan <i>sendhika </i>menerima <i>dhawuh </i>Gusti (sajak “Ampun Gusti”) untuk segera menerima tugas menulis puisi dan berkarya. Hidup di dunia ini ternyata hanya sekadar mewakili tugas atau <i>pakaryan</i> Tuhan yang terbabar di dunia, sekadar menjadi kafilah.</span></div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-46997610501778333352010-08-15T23:36:00.000+07:002010-08-15T23:37:27.349+07:00Kastalia<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Cuser%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Trebuchet MS";
panose-1:2 11 6 3 2 2 2 2 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
p.MsoFooter, li.MsoFooter, div.MsoFooter
{margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
tab-stops:center 3.0in right 6.0in;
font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> <br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">Kastalia </span></i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";">adalah buku kumpulan sajak karya Dodong Djiwapradja yang diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1997. Kumpulan sajak karya Dodong Djiwapradja ini mendapatkan hadiah dari Yayasan Buku Utama (1998) dan Hadiah dari Pusat Bahasa (2000). Buku kumpulan sajak ini diberi kata pengantar oleh W.S. Rendra. Dalam buku ini memuat 67 sajak yang ditulis Dodong Djiwapradja antara tahun 1948–1973. Sajak-sajak dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu (1) Jalan Setapak, 1948–1949; (2) Getah Malam, 1951–1959; (3) Kastalia, 1960; (4) Jari-Jemari, 1961–1963; dan (5) Penyair yang Lahir di Tanah Air, 1970–1973. Pengelompokan sajak dalam buku itu tidak didasarkan pada kesamaan tema, tetapi didasarkan pada urutan kronologis atau urutan waktu penciptaan sajak. Hal ini memudahkan pembaca untuk mengikuti sejarah perkembangan estetis pemikiran Dodong Djiwapradja tentang kehidupan yang tertuang dalam puisi selama 25 tahun masa kepenyairannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Judul buku <i>Kastalia</i> diangkat dari salah satu sajak karya Dodong Djiwapradja yang ditulisnya pada tahun 1960. <i>Kastalia</i> sebagai judul sajak dan sekaligus judul buku itu mengingatkan kita pada pembagian <i>kasta </i>dalam masyarakat Hindu atau India Kuno, seperti kasta brahmana, kasta ksatria, kasta waisya, kasta sudra, dan kasta paria. Kata <i>kasta</i> itu sebenarnya berasal dari bahasa Portugis “<i>casta</i>” yang artinya ‘ras, keturunan, atau jenis kelamin’. Atau dapat juga judul <i>Kastalia</i> itu mengingatkan kita pada kata <i>kastal</i>, yang artinya ‘pohon kayu yang tumbuh di gurun atau di tanah yang kering’. Dan yang terakhir, judul <i>Kastalia </i>itu mendekati kata <i>kastanyet</i>, yang artinya.’alat musik yang terdiri atas sepasang kepingan gading atau kayu keras yang cekung dan direntet-rentetkan oleh ibu jari untuk mengiringi irama tari-tarian Spanyol’. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Meski ada kemungkinan tiga makna yang terdapat dalam kata <i>kastalia </i>seperti di atas dalam kumpulan sajak Dodong itu kita masih menemukan makna yang lain pula. Apabila kita telusuri lebih jauh asal mula kata <i>kastalia</i> itu ternyata diambil dari bahasa Yunani Kuno, <i>castalia</i> atau <i>castalian</i>, yang berarti puncak Gunung Parnassus yang merupakan tempat tinggal suci Dewa Apollo dalam Mitologi Yunani. Kumudian dalam sejarah Kitab Perjanjian Lama kata <i>castalia </i>itu dipahami sebagai tempat suci pertemuan Nabi Musa dengan Tuhan di puncak Gunung Tursina. Makna kata <i>kastalia </i>yang semula berasal dari bahasa Yunani Kuno itu akhirnya banyak digunakan oleh para penyair di Barat menjadi sumber inspirasi penciptaan puisi-puisi yang ditulisnya. Mereka beranggapan bahwa puisi-puisi yang terlahir dari penciptaannya bersumber dari yang maha suci guna memberi pencerahan kepada pembaca. Seperti halnya Dewa Apollo memberi pencerahan kepada rakyatnya atau Nabi Musa setelah turun dari puncak Tursina menerima “Sepuluh Perintah Tuhan” yang berguna sebagai upaya pencerahan umatnya, terutama kaum Yahudi ketika itu. Boleh juga Dodong memadankan sajak-sajak yang ditulisnya itu sebagai <i>katarsis</i>, penyucian hati bagi pembaca.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Padanan konsep pemikiran Dodong Djiwapradja seperti di atas dapat dipahami dari beberapa sajak yang ditulisnya, misalnya sajak yang berjudul “Puisi”, “Di Makam Ayah”, dan “Mengaji”. Pada baris dan bait pertama dalam sajak “Puisi” Dodong mentransformasikan secara langsung bahasa <i>Al-Quran</i>, “<i>Kun fayakun</i>”, ‘Jadilah, maka terjadilah ia’. Sesungguhnya ucapan itu merupakan kalam Allah yang ditujukan kepada sesuatu dengan kehendak untuk mewujudkan atau menjadikannya ‘tercipta’, seperti penciptaan langit dan bumi (Surat Al-Baqarah: 117; Al-An’aam: 73; Yaasiin: 81–82), membangkitkan orang mati menjadi hidup kembali atau menghidupan dan mematikan makhluknya (Surat An-Nahl: 38–40; dan Surat Al-Mukmin: 67–68), kelahiran Nabi Isa melalui Maryam yang tanpa sentuhan seorang lelaki (Surat Ali Imran: 47), dan perumpamaan penciptaan Nabi Isa yang tak ubahnya seperti penciptaan Nabi Adam (Surat Ali Imran: 59). Dalam ensiklopedi Islam dikatakan bahwa terjemahan kata “<i>kun</i>” yang paling tepat adalah <i>exist</i>, ‘nyatalah’. Sebab apa yang terkandung dalam kalam Allah itu merupakan sebuah gerakan menuju ke eksistensi atau kenyataan yang bersumber dari kehendak Allah untuk mewujudkan sesuatu hal hingga terbentuk atau terwujudlah kehendak-Nya itu. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Kembali kepada sajak Dodong Djiwapradja yang berjudul “Puisi”, dengan ucapan “Kun fayakun” dapat dianalogikan bahwa penciptaan puisi oleh manusia itu prosesnya tak ubahnya seperti Tuhan menciptakan alam semesta seisinya. Hanya bedanya, Tuhan berkehendak menciptakan sesuatu hanya dengan ucapan “kun fayakun”, maka seketika terjadilah kehendak-Nya mewujudkan apa saja Adapun manusia ketika menciptakan sesuatu hal, termasuk puisi, melalui proses yang panjang dan tidak seketika jadi seperti apa yang diinginkannya. Manusia menciptakan sesuatu hal memerlukan waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan atau bertahun-tahun, untuk menjadikan keiinginnaya terwujud. Karena manusia memiliki keterbatasan, maka hasil ciptaannya tidak sesempurna ciptaan Tuhan. Keterbatasan itu menyebabkan ada keinginan manusia yang hanya tinggal keinginan atau tidak dapat mewujudkan keinginannya tersebut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Larik pertama bait kedua dalam sajak “Puisi” Dodong mengatakan bahwa “Saat penciptaan kedua adalah puisi”. Kalimat Dodong ini dipahami bahwa ada penciptaan pertama, sebelum ada penciptaan kedua, yaitu Allah menciptakan alam semesta seisinya. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. Demikian dikatakan dalam berbagai kitab suci hingga seterusnya terjadilah semesta alam seisinya ini. Manusia tidak dapat menciptakan langit dan bumi, tetapi manusia selaku pencipta yang kedua hanya mampu meneladan, meniru, mencontoh ciptaan Tuhan yang sudah ada. Paham ini dikenal dikenal dengan <i>memesis</i>. Oleh karena itu, penciptaan yang dilakukan oleh manusia “tertimba dari kehidupan (semesta alam) yang ditangisi/ bumi yang didiami, laut yang dilayari/ udara yang dihirupi, air yang diteguki/ kebun yang ditanami, bukit yang digunduli/ gubuk yang diratapi, gedung yang ditinggali/ sawah yang dibajak/ manisan yang terbuat dari butir-butir kepahitan” dan dari “gedung yang megah yang terbuat dari butir-butir hati yang gelisah”. Paham kesemestaan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Penciptaan puisi yang didasarkan pada pengalaman hidup seperti di atas ditangkap oleh W.S. Rendra dalam kata “Pengantar” buku <i>Kastalia </i>itu sebagai gambaran frustrasi dan rasa tidak bahagia penyairnya. Selain itu, Rendra juga menangkap fenomena yang terjadi pada diri Dodong adalah kesadaran akan situasi tragik dan kefanaan dalam hidup ini sehingga hadirlah sikapnya yang penuh waspada, hati-hati, dan tekun melindungi kemurnian hati nurani. Memang pandangan tentang tragedi mulai populer sejak kemunculan drama trilogi Yunani karya Sophokles, yaitu “Oedipus Rex”, “Oedipus di Kolonus”, dan “Antigone” yang mengalami bencana karena ulah tokoh utamanya. Bencana dan keberuntungan adalah anugerah Tuhan yang perlu disyukuri sebagai bentuk oposisi biner. Tidak selamanya manusia selalu berada dalam keberuntungan, dan tidak juga selamanya manusia berada dalam situasi tragedi. Demikian pula kefanaan dan keabadian menjadi oposisi biner yang membuat hidup manusia selalu optimis dan dinamis memandang masa depan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Berdasarkan <i>Kamus Besar Bahasa Indonesia</i> (1988: 959) lema <i>tragedi</i> memiliki dua arti, yaitu (1) sandiwara atau cerita sedih yang pelaku utamanya menderita kesengsaraan lahir dan batin yang luar biasa bahkan sampai meninggal, dan (2) peristiwa-peristiwa yang menyedihkan atau yang membuat kematian. Atas dasar pengerti dalam kamus itu berarti <i>tragedi </i>identik dengan peristiwa yang menyedihkan, kejadian yang membuat kesengsaraan hidup, dan timbulnya berbagai bencana atau malapetaka yang membuat penderitaan manusia, seperti bencana alam, wabah penyakit, dan peristiwa pembantaian. Adanya tragedi seperti itu membuat manusia semakain akrab dengan penderitaan, kemalangan, dan kesengsaraan hidup. Dalam karya Dodong Djiwapradja hal itu tentu tersirat dan tersurat dalam sajak-sajaknya, seperti sajak “Garut”, “Puisi”, “Kastalia”, dan “Jari-Jemari”.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sajak “Jalan Setapak” dan “Perjalanan” jelas memperlihatkan keakraban penyair dengan suasana pedesaan yang mempunyai ikatan dengan dunia pertanian. Dodong melihat suasana pedesaan yang sederhana dan penuh kedamaian. Ayahnya adalah ahli membajak sawah dan anaknya berusaha menjadi ahli pembuat sajak merupakan suatu gambaran perjalanan hidup yang kontras. Orang hidup di dunia ini memiliki pilihan masing-masing jalan mana yang hendak di tempuh. Jalan itu tidak ada batas, meskipun hanya jalan setapak. Oleh karena itu, dalam menempuh perjalan hidup di dunia ini tiada batas anak mengikuti jejak orang tuanya. Hanya kematian yang memberi batas akhir dari perjalanan hidup di dunia, seperti yang terungkap dalam sajak “Di Makam Ayah”. Kematian bagai peristiwa perpisahan di stasiun, di atas tangga kereta. Meski demikian, tetap yang tinggal hanya nisan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Sebelum perjalanan hidup di dunia ini berakhir pada kematian, manusia perlu terlebih dahulu mengaji, membaca dan memahami isi kitab suci dengan benar. Demikian kiranya pesan utama Dodong Djiwapradja melalui sajaknya “Mengaji”. Kitab suci, seperti <i>Al-Quran,</i> memberi tuntunan hidup di dunia hingga akhirat dengan benar dan nyata. Memang bahasa kitab suci itu tidak menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Sunda, tetapi melalui terjemahan dan tafsir-tafsir yang ada sangat membantu memahami isi kitab suici tersebut. Inti dari isi kitab suci itu adalah ajaran cinta kasih kepada sesama makhluk. Meskipun mereka itu pelacur, penjahat, penjudi, tentara, dan polisi sekalipun, semua orang disayangi. Sifat yang keji, iri, dan dengki, seperti tenung dan sihir, itulah yang mesti dijauhi.<o:p></o:p></span></div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-11320093972998443802010-07-29T14:12:00.000+07:002010-07-29T14:12:26.085+07:00Adibahasa 2007<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvYIfmOsmWqmfiHugrHVUEDWPMRpiZYTBEYWxafJUAwqkMkpZOuvtqF3l1vZw_TnS70nv7WzkskBg7aSq-k_cE4h9GWBu7WhKy67Gb9-tnUpw7jnztWTJRi60XFgVb5OZPKrRcaB2mftIk/s1600/Kalteng-6.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvYIfmOsmWqmfiHugrHVUEDWPMRpiZYTBEYWxafJUAwqkMkpZOuvtqF3l1vZw_TnS70nv7WzkskBg7aSq-k_cE4h9GWBu7WhKy67Gb9-tnUpw7jnztWTJRi60XFgVb5OZPKrRcaB2mftIk/s320/Kalteng-6.jpg" width="320" /></a></div><table class="contentpaneopen"><tbody>
<tr><td class="contentheading" width="100%">Kalteng Terbaik Nasional Adibahasa 2007</td> <td align="right" class="buttonheading" width="100%"> <a href="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=77" onclick="window.open('http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=77','win2','status=no,toolbar=no,scrollbars=yes,titlebar=no,menubar=no,resizable=yes,width=640,height=480,directories=no,location=no'); return false;" target="_blank" title="PDF"> <img align="middle" alt="PDF" border="0" name="PDF" src="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/images/M_images/pdf_button.png" /></a> </td> <td align="right" class="buttonheading" width="100%"> <a href="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&task=view&id=77&pop=1&page=0&Itemid=51" onclick="window.open('http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&task=view&id=77&pop=1&page=0&Itemid=51','win2','status=no,toolbar=no,scrollbars=yes,titlebar=no,menubar=no,resizable=yes,width=640,height=480,directories=no,location=no'); return false;" target="_blank" title="Cetak"> <img align="middle" alt="Cetak" border="0" name="Cetak" src="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/images/M_images/printButton.png" /></a> </td> <td align="right" class="buttonheading" width="100%"> <a href="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=77&itemid=51" onclick="window.open('http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=77&itemid=51','win2','status=no,toolbar=no,scrollbars=yes,titlebar=no,menubar=no,resizable=yes,width=400,height=250,directories=no,location=no'); return false;" target="_blank" title="E-mail"> <img align="middle" alt="E-mail" border="0" name="E-mail" src="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/images/M_images/emailButton.png" /></a> </td> </tr>
</tbody></table><table class="contentpaneopen"><tbody>
<tr> <td class="createdate" colspan="2" valign="top"> </td> </tr>
<tr> <td colspan="2" valign="top"> Penghargaan Bulan Bahasa dan Sastra 2007<br />
Kalteng Terbaik Nasional Adibahasa <br />
ATN-Center - Provinsi Kalimantan Tengah dinobatkan terbaik pertama nasional penerima Penghargaan Adi Bahasa tahun 2007 oleh Pusat Bahasa, karena dinilai paling tertib dalam menggunakan bahasa Indonesia di ruang publik. Posisi terbaik ini berhasil mengungguli 32 provinsi lainnya di tanah air.<br />
Penganugerahan ini dilakukan dalam rangka puncak peringatan Bulan Bahasa dan Sastra 2007 yang berlangsung di Pusat Bahasa Jakarta 4 - 8 November 2007 lalu.<br />
Keberhasilan Bumi Tambun Bungai meraih peringkat pertama itu, setelah melalui tahapan penilaian juri yang meliputi pemakaian bahasa di jalan-jalan protokol, tempat-tempat strategis, serta pemakaian bahasa pada papan nama, pusat perbelanjaan, perumahan, tempat usaha, perhotelan, papan petunjuk wisata dan lalu lintas serta baliho.<br />
Menurut Kepala Balai Bahasa Kalteng, Drs Puji Santosa MHum, jika dibandingkan dengan Provinsi lain, Kalteng sangat layak meraih predikat Adi Bahasa.<br />
Menurutnya, penilaian terhadap Kalteng itu, bukan hanya sebatas penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik saja, namun meliputi beberapa dokumentasi yang ditulis oleh Pemerintah Provinsi, produk-produk hukum, Peraturan Daerah (Perda), termasuk penilaian penggunaan bahasa Indonesia dikalangan media, baik elektronik maupun cetak.<br />
“Sangat layak bagi Kalteng untuk menduduki peringkat pertama. Semoga Kalteng di tahun depan masih di urutan pertama lagi, karena kalau berturut-turut menduduki urutan pertama, akan memperoleh piagam Adi Bahasa yang di tahun 2008 mendatang akan diserahkan langsung oleh Presiden,” katanya.<br />
Untuk dapat mempertahankan predikat itu, menurut Puji, pihaknya akan terus menggugah kesadaran masyarakat khususnya di Kalteng, untuk berpartisipasi dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik di ruang-ruang publik maupun penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar melalui media massa.<br />
Menurutnya, sentuhan bahasa media massa juga dinilai penting, karena media massa merupakan media pembelajaran dalam pembentukan sikap dan prilaku masyarakat dalam berbahasa. “Mungkin juga nanti dalam bentuk kampanye-kampanye penggunaan bahasa Indonesia, ataupun kegiatan lain yang dapat menggugah masyarakat dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar,” katanya.<br />
Provinsi yang dinilai menggunakan bahasa Indonesia di ruang publik dengan baik, selain Kalteng, ada Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Banten, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Timur, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta.<br />
Selain penganugerahan Adi Bahasa 2007, dalam Puncak Bulan Bahasa dan Sastra 2007, Pusat Bahasa Depdiknas juga memberikan penghargaan kepada 10 media massa sebagai media massa yang menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.<br />
Peringkat pertama hingga sepuluh itu, Koran Tempo, Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, Pikiran Rakyat, Solo Pos, Suara Merdeka, Indo Pos dan Republika. <br />
Sumber : http://www.atn-center.org/<br />
Sabtu, 24 November 2007</td></tr>
</tbody></table>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-81802055996812709472010-07-29T13:44:00.000+07:002010-07-30T07:25:53.184+07:00Semarak Tahun Bahasa 2008<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibJN-KKoHb_2NPNIp0MOLlZopxIW2JM9KtxrEO8-viCB87ubxLNlsu-iQX9dK1lTX4wtUSkQfxSX69F5tuHGrMtGcKURYCjEHr2YlQX22sZyQr34K1UcR4psRJDrZknK9UnqUZRPS5bUdQ/s1600/Kalteng-1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibJN-KKoHb_2NPNIp0MOLlZopxIW2JM9KtxrEO8-viCB87ubxLNlsu-iQX9dK1lTX4wtUSkQfxSX69F5tuHGrMtGcKURYCjEHr2YlQX22sZyQr34K1UcR4psRJDrZknK9UnqUZRPS5bUdQ/s400/Kalteng-1.jpg" width="400" /></a></div><table class="contentpaneopen"><tbody>
<tr><td class="contentheading" width="100%">Sambutan Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pada Puncak Acara Semarak Tahun Bahasa 2008 </td> <td align="right" class="buttonheading" width="100%"><a href="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=95" onclick="window.open('http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=95','win2','status=no,toolbar=no,scrollbars=yes,titlebar=no,menubar=no,resizable=yes,width=640,height=480,directories=no,location=no'); return false;" target="_blank" title="PDF"> <img align="middle" alt="PDF" border="0" name="PDF" src="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/images/M_images/pdf_button.png" /></a> </td> <td align="right" class="buttonheading" width="100%"><a href="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&task=view&id=95&pop=1&page=0&Itemid=51" onclick="window.open('http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&task=view&id=95&pop=1&page=0&Itemid=51','win2','status=no,toolbar=no,scrollbars=yes,titlebar=no,menubar=no,resizable=yes,width=640,height=480,directories=no,location=no'); return false;" target="_blank" title="Cetak"> <img align="middle" alt="Cetak" border="0" name="Cetak" src="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/images/M_images/printButton.png" /></a> </td> <td align="right" class="buttonheading" width="100%"><a href="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=95&itemid=51" onclick="window.open('http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=95&itemid=51','win2','status=no,toolbar=no,scrollbars=yes,titlebar=no,menubar=no,resizable=yes,width=400,height=250,directories=no,location=no'); return false;" target="_blank" title="E-mail"> <img align="middle" alt="E-mail" border="0" name="E-mail" src="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/images/M_images/emailButton.png" /></a> </td> </tr>
</tbody></table><table class="contentpaneopen"><tbody>
<tr> <td class="createdate" colspan="2" valign="top"></td> </tr>
<tr> <td colspan="2" valign="top"><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;">Asalamualaikum Wr. Wb.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;">Salam Sejahtera </span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;">Selamat pagi</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Pertama-tama, saya ucapkan selamat datang di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah. Pagi yang cerah dan berbahagia sehingga kita semua dapat berkumpul di Aula Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah ini tentunya berkat lindungan, tuntunan, pencerahan, rahmat, hidayat, dan kasih Tuhan Yang Maha Esa. Rasa syukur senantiasa tiada henti-hentinya kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha berkat limpahan kasih dan sayangnyalah kita semua dapat berkumpul bersama menghadiri Puncak Acara Semarak Tahun Bahasa 2008 dalam Pekan Bahasa dan Sastra.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Bapak, Ibu, dan Saudara hadirin yang kami muliakan.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Terima kasih yang tak terhingga dan setulus-tulusnya kepada segenap tamu undangan yang telah memenuhi undangan kami hadir di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah untuk bersama-sama menyaksikan Pembukaan Puncak Acara Semarak Tahun Bahasa 2008 dalam Pekan Bahasa dan Sastra.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Tahun 2008 ditetapkan sebagai Tahun Bahasa karena bertepatan dengan 100 tahun (satu abad) kebangkitan nasional, 80 tahun (10 windu) Sumpah Pemuda, dan 60 tahun Pusat Bahasa berkiprah dalam bidang kebahasaan dan kesastraan untuk lebih memartabatkan bangsa melalui bahasa. Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pun kini sudah berumur satu windu atau delapan tahun bersama masyarakat Kalimantan Tengah membangun bangsa yang lebih beradab dan bermartabat.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;">Dalam rangka menyemarakkan Tahun Bahasa 2008 dan hari ulang tahun ke-63 Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (17 Agustus 1945—17 Agustus 2008), Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah menggelar berbagai kegiatan kebahasaan dan kesastraan di di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah pada sepanjang tahun 2008 ini. Kegiatan kebahsaan dan kesastraan ini dinamai “Semarak Tahun Bahasa 2008: Merdeka! dan Merdeka!”.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Tujuan diadakan kegiatan ini adalah untuk membangkitkan minat masyarakat Kalimantan Tengah terhadap kegiatan kebahasaan dan kesastraan, meningkatkan apresiasi dan kreativitas masyarakat Kalimantan Tengah dalam pembelajaran bahasa dan sastra, menumbuhkan-kembangkan sikap positif, bangga, dan rasa cinta dengan bahasa dan sastra milik sendiri, serta memupuk rasa solidaritas untuk semakin memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Tema kegiatan ini adalah “Melalui pembelajaran bahasa dan sastra, Indonesia dan Daerah, kita tingkatkan minat baca masyarakat Kalimantan Tengah dalam rangka menyemarakkan Tahun Bahasa 2008 dan sekali Merdeka! tetap Merdeka!”.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Bapak, Ibu, dan Saudara hadirin yang kami hormati.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Sepanjang tahun 2008 Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah telah melakukan kegiatan kebahasaan dan kesastraan. Diawali tahun 2008 kami melaksanakan temu sastrawan Kalimantan Tengah untuk membicarakan tawaran Korrie Layun Rampan untuk berperan serta dalam Dialog Sastarawan Kalimantan-Borneo di Samarindra tahun 2009. Para anggota Ikatan Sastrawan Kalimantan Tengah (ISASI) akan ikut aktif dalam kegiatan tersebut.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Untuk menghidupkan kegiatan Forum Bahasa Media Massa (FBMM) Kalimantan Tengah dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalteng, Balai Bahasa pun ikut berperan serta dalam kegiatan diskusi kebahasaan yang diselenggarakan di kantor Redaksi Kalteng Pos, 16 Februari 2008 dan 9 Juni 2008. Diskusi yang pertama disiarkan secara langsung oleh Radio KPFM selama dua jam. Diskusi kebahasaan yang kedua di selenggarakan di RRI Palangkaraya, Sabtu, 19 April 2008, dan sekaligus disiarkan secara langsung selama dua jam. Kegiatan lain adalah Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) terhadap 85 wartawan yang mengikuti Karya Latihan Wartawan (KLW) di Sampit, 30 Maret 2008, serta Seminar Bahasa Media Massa di Palangkaraya pada hari Senin, 9 Juni 2008, dengan mendatangkan Kepala Pusat Bahasa, Dr. Dendy Sugono, dan Ketua FBMM Pusat, TD Asmadi.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pun sangat peduli terhadap pembinaan, pengembangan, pemeliharaan, dan pelestarian bahasa Daerah. Untuk keperluan ini Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah telah menggelar Seminar Nasional Bahasa Dayak di Palangkaraya pada tanggal 10 Juni 2008 dengan menghadirkan pembicara Drs. Hardy Rampay, M.Si., Dr. Arnosianto M. Mage, M.A., Dr. Petrus Poerwadi, M.S., dan Drs. Yohanes Kalamper. Hasil seminar ini merekomendasikan untuk diadakan Kongres Bahasa Dayak secara internasional di Palangkaraya pada tahun 2009 atau 2010 yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Untuk meningkatkan mutu pengguna bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama bahasa persuratan dan tata dinas, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah telah melaksanakan penyuluhan Bahasa Indonesia kepada masyarakat Kalimantan Tengah, yang diikuti oleh guru-guru nonbahasa dan kepala tata usaha sekolah dan kepala tata uasaha dinas kabupaten, di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, 27—29 Maret 2008, dan di Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, 12—14 Mei 2008. Untuk penyegaran Bahasa Indonesia para pejabat di lingkungan pemerintah provinsi dan kabupaten, dimulai dari pejabat eselon IV dan III, dan pemayarakatan Bahasa Indonesia untuk pelaku pembuat reklame, papan nama, spanduk, baliho, dan media ruang publik, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah telah merencanakan kegiatan ini dengan Biro Kesra Pemda Provinsi Kalteng yang diwakili oleh Kepala Bagian Bina Sosial pada tanggal 16—17 Juli 2008 di Jakarta.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Selain penyuluhan Bahasa Indonesia, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2008 ini juga melaksanakan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) kepada guru, karyawan, siswa SMK di kota Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, 12 April 2008, dan di Kabupaten Sukamara, 23 Juli 2008, serta para peserta pemilihan Duta Bahasa dan Duta Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2008, pada tanggal 20 Mei 2008 di Aula Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah. Para peserta pemilihan duta bahasa dan duta pariwisata ini juga dibekali keterampilan berbahasa Indonesia, berbahasa daerah, dan juga berbahasa Inggris.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Pembinaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan nasional tidak hanya kepada masyarakat pribumi atau warga negara Republik Indonesia, tetapi juga bagi para penutur asing. Para turis manca negara dan pekerja asing pun perlu mendapatkan pembinaan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah juga menyosialisasikan dan mengembangkan Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) kepada masyarakat dan calon pengajar BIPA di Palangkaraya, 1 April 2008, dan di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, 25 Juni 2008. </span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Bapak, Ibu, dan Saudara hadirin yang kami banggakan.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Dalam upaya meningkatkan mutu apresiasi siswa dan guru bahasa Indonesia SLTP dan SLTA, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah tidak tinggal diam di tempat. Bersama beberapa sastrawan Kalimantan Tengah kami bekerja sama menyelenggarakan “Bengkel Penulisan Kreatif Cerita Pendek Remaja” di Tamiang Layang, Kabupaten Barito Timur, tempat kelahiran sastrawan nasional Fridolin Ukur, pada tanggal 2—4 April 2008, dan di Buntok, Kabupaten Barito Selatan, 14—15 Mei 2008. Tidak hanya bengkel penulisan kreatif cerita pendek remaja, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah juga menyelenggarakan “Bengkel Musikalisasi Puisi” bagi siswa SLTP dan SLTA dan juga gurunya, di Buntok, Kabupaten Barito Selatan, 28—29 Juli 2008.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Sementara itu, untuk meningkatkan mutu apresiasi sastra masyarakat Kalimantan Tengah, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah bekerja sama dengan MGMP Bahasa Indonesia SMK Kota Palangkaraya menyelenggarakan Seminar Apresiasi Sastra yang Menyenangkan dan Inovatif, di Palangkaraya, Sabtu, 16 Februari 2008, diikuti lebih dari 300 guru, mahasiswa, dan sastrawan, serta menyelenggarakan Dialog Sastra bersama sastrawan sufistik Danarto, di Kuala Kapuas, 19 Maret 2008 dan di Palangkaraya, 20 Maret 2008 yang diikuti lebih dari 100 orang.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Masih bekerja sama dengan MGMP Bahasa Indonesia SMK Kota Palangkaraya, ditambah dengan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) FKIP Universitas Palangkaryara, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah menyelenggarakan bedah buku kumpulan cerpen <i>Perempuan yang Memburu Hujan</i> karya sastrawan asal Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, Sandi Firly, pada tanggal 7 Mei 2008. Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pun ikut juga memeriahkan Seminar Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Kesastraan yang diselenggarakan oleh FKIP Universitas Palangkaraya, dalam memeriahkan hari Chairil Anwar, 28 April 2008, yang diiukuti peserta lebih dari 450 orang.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Bapak, Ibu, dan Saudara hadirin yang kami martabatkan.</span></div><div class="MsoNormal" style="-moz-background-inline-policy: -moz-initial; background: none repeat scroll 0% 50% white; line-height: 18pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Pembinaan peningkatkan apresiasi sastra bagi masyarakat Kalimantan Tengah terus kami upayakan. Bulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 14 Juli 2008, kami selenggarakan Temu Sastra Majelis Sastera Asia Tenggara bersama sastrawan nasional Hamsad Rangkuti. Dalam temu sastra ini juga kami hadirkan sastrawan karungut dari Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Kurnia Untel. Kegiatan ini diikuti lebih dari 150 orang.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Kegiatan lomba dan sayembara pun kami laksanakan guna meningkatkan mutu apresiasi sastra masyarakat Kalimantan Tengah pada tahun 2008 ini.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;">Sayembara Penulisan Cerita Rakyat Kalimantan Tengah Tahun 2008. Sayembara cerita rakyat ini bertujuan menggali potensi budaya nilai-nilai kearifan lokal (lokal genius) Kalimantan Tengah. Kegiatan ini hanya diikuti 18 peserta dengan Juri Abdul Fatah Nahan, Dr. Petrus Poerwadi, M.S., dan Dra. Nani Setiawati, M.Si. Ketiga juri memutuskan cerita rakyat: “Anggir Sarangga” karya Janang memenangkan hadiah Harapan III, “Bawi Kambang dan Bawi Ranjau” karya Yuni Sri (SMP PGRI) memenangkan hadiah Harapan II, “Leniri” karya Nisa Noorlela (SMAN 2 Pahandut) memenangkan hadiah Harapan I, “Indu Mien” karya Mega Melita T (SMAN 1 Pahandut) memenangkan hadiah ke-3, “Liang Saragi” karya Dwi Jelita Natalya Saragi (SMP Katolik Santo Paulus) memenangkan hadiah ke-2, dan cerita rakyat “Legenda Desa Mintin” karya Tri Arfayanti, S.Pd. (MTsN 1 Model Palangkaraya) memenangkan hadiah pertama.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Sayembara Cipta Cerpen Remaja Se-Kalimantan Tengah tahun 2008 bertujuan menggali potensi kreatif remaja dalam menyalurkan bakat dan prestasinya dibidang kebahasaan dan kesastraan. Kegiatan ini diikuti oleh 38 peserta dengan juri Drs. Supardi, Elsy Suarni, S.Pd., dan Pahit S. Narattama, S.Hut., memutuskan sepuluh nominasi cerpen remaja terbaik se-Kalimantan Tengah. Adapun kesepuluh cerpen terbaik tingkat Kalimantan Tengah itu adalah “Bujang Si Anak Desa” karya Pratiwi Indah Surya Meida (SMAN 3 Jekanraya), “Liku-Liku Emosional Seorang Guru” karya Tri Yuni (SMAN 3 Jekanraya), “Lentera Terakhir” karya Nurul Hatimah (SMAN 3 Jekanraya), “Pertemuan Terencana” karya Rakhmawati Aulia (SMAN 3 Kuala Kapuas), “Misteri Dompet Kita” karya Ridha Mawadah (SMAN 1 Tamiang Layang), “Keputusan Terbaik” karya Bela Santa Rossi (SMAN 1 Tamiang Layang), “Gita Cinta dan Cita” karya Normantie (SMAN 1 Pahandut), “Kembar Pengantin” karya Evie Novitasari (SMAN 1 Pahandut), “Inilah Hidupku” karya Oktavina (SMAN 1 Pahandut), dan “Bunga untuk Mama” karya Sheilla Marlyana (MTsN Buntok). Kesepuluh cerpen tersebut akan diikutkan kegiatan yang sama di tingkat nasional, yakni dikirim ke Jakarta.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Kepada semua pemenang sayembara tulis-menulis tersebut saya harapkan betul-betul sebagai karya asli mereka sendiri, bukan saduran, jiplakan, atau plagiator. Dari Panitia Sayembara Penulisan Cerita Rakyat tersebut saya peroleh laporan ada peserta yang mengirimkan ceritanya bukan karya aslinya sendiri, karya orang lain yang diaku miliknya. Kebetulan jurinya membaca dan itu adalah karya dari salah satu juri. Tentu perbuatan ini sangat tercela, tidak terpuji, dan jangan sampai terulang lagi.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> </span><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;">Lomba Baca Puisi Guru SD diadakan </span><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;">di Aula Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah </span><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;">pada tanggal 12—13 Agustus 2008. Pesertanya adalah guru SD se-Kalimantan Tengah</span><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;">, dan diikuti oleh 35 orang peserta</span><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;">.</span><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Dewan Juri yang diketuai oleh Drs. Makmur Anwar M.H. dengan anggota Elsy Suarni, S.Pd., dan Suyitno B.T. memutuskan </span><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> </span><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;">Alfisyah (MIN Model Pahandut Palangkaraya) sebagai pemenang Harapan III, Mudjiasri, A.Ma. (SDN 8 Palangka) sebagai pemenang Harapan II, Suryo Sulistianto (SD Katolik Santa Don Bosco Palangkaraya) sebagai pemenang Harapan I, Ernawati, S.Ag. (MIN Model Pahandut Palangkaraya) sebagai pemenang III, Sumiatun Hartini, S.Pd. (MIN Model Pahandut Palangkaraya) sebagai pemenang II, dan Abdullah T., S.Ag. (MIN Langkai Palangkaraya) sebagai pemenang pertama. Penilaian juri meliputi penghayatan (40%), penampilan (30%), dan vokal (30%).</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Lomba Musikalisasi Puisi Siswa SLTP dan SLTA diadakan pada tanggal 19—20 Agustus 2008. Pesertanya adalah siswa SLTP dan SLTA se-Kalimantan Tengah yang diikuti oleh 13 kelompok musikalisasi. Dewan Juri yang diketuai oleh Dafi Fajar Rahardjo, S.Sn., dengan anggota Agung Catur Prabowo, M.Hut., dan M. Alimulhuda pekerja seni teater, memutuskan kelompok musikalisasi: “Muzika” SMAN 3 Jekanraya memenangkan Harapan III, “Fana Ferias” MTs Model Palangkaraya memenangkan Harapan II, “D’Best One” SMPN 2 Pahandut memenangkan Harapan I, “Mandera” MAN Model Palangkaraya memenangkan hadiah ke-3, “Penyang” SMAN 2 Jekanraya memenangkan hadiah ke-2, dan “Zukatair” SMAN 2 Pahandut memenangkan hadiah Pertama. Pemenang Pertama Lomba Musikalisasi Tingkat Provinsi Kalimantan Tengah ini berhak menjadi duta Kalimantan Tengah dan akan dikirim ke tingkat nasional untuk mengikuti Festival Musikalisasi Puisi Tingkat Nasional pada tanggal 22—24 Oktober 2008 di Jakarta.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Kepada seluruh pemenang sayembara dan lomba kami ucapkan selamat atas prestasi yang diraihnya. Pada hari ini seluruh pemenang diundang ke Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah untuk menerima hadiah dan tampil dihadapan para hadirin menyampaikan buah karya yang diraihnya. Kami hanya dapat memberi penghargaan berupa Piagam Penghargaan, Piala, Buku-buku terbitan Pusat Bahasa, dan uang pembinaan ala kadarnya. Kami mengharapkan kepada semua pemenang untuk tetap dan terus berkarya dan berkarya menunjukkan prestasinya. Jangan hanya berhenti sampai di sini. Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah hanya memacu dan mendorong semangat berkarya dan berprestasi yang lebih unggul dan lebih baik lagi, syukur-syukur hingga jenjang nasional ataupun internasional.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Bapak, Ibu, dan Saudara hadirin yang sangat kami adabkan. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Penghargaan Tokoh Kebahasaan dan Kesastraan akan diberikan oleh Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2008 ini kepada tokoh masyarakat Kalimantan Tengah yang berjasa terhadap pengembangan dan pembinaan bahasa dan sastra di Kalimantan Tengah. Penghargaan ini semata-mata diberikan kepada tokoh berdasarkan: hasil karya kebahasaan dan kesastraan, kuantitas karya, kualitas karya, konsistensi dan komitmen dalam bidangnya, aktivitasnya dalam mengembangkan bahasa dan sastra, baik sastra Indonesia maupun sastra Daerah di Kalimantan Tengah, serta kharisma yang dimiliki tokoh tersebut. Sebagai ucapan syukur dan rasa terima kasih Balai Bahasa Kalteng kepada tokoh yang turut serta membantu pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra di Kalimantan Tengah perlu diberi penghargaan ini. Tokoh penerimaan penghargaan dari Balai Bahasa Kalteng ini nanti diminta memberikan orasi/pidato penerimaannya pada pembukaan Puncak Acara Semarak Tahun Bahasa 2008 dalam Pekan Bahasa dan Sastra 2008 yang diadakan pada tanggal 27 Agustus 2008. Kedua tokoh yang berhak menerima penghargaan dari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah ini adalah Prof. H.K.M.A.M. Usop, M.A. dan Drs. Makmur Anwar M.H. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Pekan Bahasa dan Sastra 2008 adalah salah satu kegiatan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah dalam rangka menyemarakkan Tahun Bahasa 2008. Kegiatan ini akan dilaksanakan di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Jalan Tingang Km 3,5, Palangkaraya, pada tanggal 27—28 Agustus 2008. Dalam Pekan Bahasa dan Sastra 2008 ini akan ditampilkan: (1) Orasi/pidato kebahasaan/kesastraan oleh dua tokoh penerima Penghargaan Kebahasaan dan Kesastraan 2008 dari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, (2) Pembacaan Cerita Pendek Remaja hasil 10 nominasi Sayembara Cipta Cerpen Remaja 2008 Tingkat Provinsi Kalimantan Tengah, (3) Pembacaan Cerita Rakyat Kalimantan Tengah hasil pemenang Sayembara Penulisan Cerita Rakyat Kalimantan Tengah Tahun 2008, (4) Pentas Baca Puisi Guru SD hasil pemenang Lomba Baca Puisi Guru SD Tahun 2008, (5) Pentas Musikalisasi Puisi hasil pemenang Lomba Musikalisasi Puisi Siswa SLTP dan SLTA se-Kalimantan Tengah tahun 2008, dan (6) Pentas Teater dari Sanggar Teater Terapung pimpinan Saudara M. Alimul Huda. Sedianya kami juga kan menyelenggarakan Parade Pidato Mahasiswa tentang “Peran Generasi Muda dalam Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra dalam Upaya Memperkukuh Kesatuan dan Persatuan Bangsa”. Pidato mahasiswa ini ditiadakan karena kegiatannya diundur pada bulan Oktober 2008.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya atas partisipasi, peran serta, dan kehadiran masyarakat Kalimantan Tengah dalam menyukseskan berbagai kegiatan tersebut.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;">Kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah atau yang mewakilinya, kami mohon dapat memberi sepatah kata sambutan dan sekaligus membuka kegiatan ini.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;">Kami tidak berpanjang kata lagi. Akhir kata kami hanya mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada segenap hadirin yang telah berkenan hadir di aula Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah. Apabila ada tutur kata dan perbuatan kami yang kurang berkenan di hati para hadirin, kami mohon maaf yang setulus-tulusnya.</span><br />
<span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;">Sekian dan Wasalamualaikum Wr Wb.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Palangkaraya, 27 Agustus 2008</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> <b>Drs. Puji Santosa, M.Hum.</b></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Rockwell; font-size: 14pt;"> Plt. Kepala Balai Bahasa Kalteng</span></div></td></tr>
</tbody></table>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-7871918275782817832010-07-29T11:53:00.000+07:002010-07-29T11:56:07.215+07:00Kesan dan Pesan<span style="font-size: small;"></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_LEjfjVJa88ngun6DNe8dJZ4U_MH-zeuSjytbxa6C_KztD3PfpwM9zLR9A_1JFQhCa20l2MTzW5AAoOpLY7Th9orauc6tg0OyCaT5nzdBsH9p_sPQ2z3Zr8JvCQp6yJFY3WY4IeDQIUJe/s1600/Makmur+Anwar.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_LEjfjVJa88ngun6DNe8dJZ4U_MH-zeuSjytbxa6C_KztD3PfpwM9zLR9A_1JFQhCa20l2MTzW5AAoOpLY7Th9orauc6tg0OyCaT5nzdBsH9p_sPQ2z3Zr8JvCQp6yJFY3WY4IeDQIUJe/s200/Makmur+Anwar.jpg" width="200" /></a></span></div><span style="font-size: small;"></span><br />
<table class="contentpaneopen" style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td class="contentheading" width="100%"><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<span style="font-size: small;">Kesan dan Pesan Makmur Anwar dan Darmawati M.R., pada acara Serah Terima Jabatan Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalteng </span></td> <td align="right" class="buttonheading" width="100%"><span style="font-size: small;"><a href="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=97" onclick="window.open('http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=97','win2','status=no,toolbar=no,scrollbars=yes,titlebar=no,menubar=no,resizable=yes,width=640,height=480,directories=no,location=no'); return false;" target="_blank" title="PDF"> <img align="middle" alt="PDF" border="0" name="PDF" src="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/images/M_images/pdf_button.png" /></a></span> </td> <td align="right" class="buttonheading" width="100%"><span style="font-size: small;"><a href="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&task=view&id=97&pop=1&page=0&Itemid=38" onclick="window.open('http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&task=view&id=97&pop=1&page=0&Itemid=38','win2','status=no,toolbar=no,scrollbars=yes,titlebar=no,menubar=no,resizable=yes,width=640,height=480,directories=no,location=no'); return false;" target="_blank" title="Cetak"> <img align="middle" alt="Cetak" border="0" name="Cetak" src="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/images/M_images/printButton.png" /></a></span> </td> <td align="right" class="buttonheading" width="100%"><span style="font-size: small;"><a href="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=97&itemid=38" onclick="window.open('http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=97&itemid=38','win2','status=no,toolbar=no,scrollbars=yes,titlebar=no,menubar=no,resizable=yes,width=400,height=250,directories=no,location=no'); return false;" target="_blank" title="E-mail"> <img align="middle" alt="E-mail" border="0" name="E-mail" src="http://balaibahasaprovinsikalteng.org/laman/images/M_images/emailButton.png" /></a></span> </td> </tr>
</tbody></table><div></div><table class="contentpaneopen" style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr> <td class="createdate" colspan="2" valign="top"><br />
</td></tr>
<tr><td colspan="2" valign="top"><span style="font-size: small;"> Aku punya teman. Orangnya biasa-biasa saja, namanya biasa-biasa saja, gelarnya biasa-biasa saja, tapi pergaulannya sangat mengesankan. Tidak memilih satu kelompok untuk dipergauli tapi rata menyeluruh. Pertama datang ke sebuah kota tempat kerjanya yang baru ia diajak hadir ke sebuah peringatan Hari Ulang Tahun sebuah sanggar, ia mau bahkan ikut memetiahkan acara dengan membaca puisi. Dalam dialog yang diadakan ikut bergabung dan duduk lesehan di lantai. Ia menyisihkan predikat jabatan yang disandangnya sementara untuk bergaul bersama manusia yang ia anggap sama sederajat, meski oleh pihak lain tak dipandang seblah mata sekalipun. Penampilan sehari-harinya dalam pergaulan tidak membeda-bedakan kedudukan dan jabatan. Ia benar-benar menunjukkkan kalau dirinya adalah pelayan masyarakat. Ia orang baru di sana tapi cepat menjadi akrab dengannya karena banyak teman yang disapa dan menyapanya. Dengan masyarakat atau komunitas sastra objek garapannya yang utama sangat baik. Dialah yang menggoyang citra sastrawan di kota ini yang semula adem ayem tanpa aktivitas dilibatkan dengan program-program kegiatan lembaga yang dipimpinnya. </span> <br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: small;">Guru-guru SD yang selama ini hanya dipandang sebelah mata dalam aktivitas kesastraannya mulai menggeliat dengan ituk lomba baca puisi bahkan pemenangnya dikirimkan ke ibukota negara Jakarta kota metropolitan yang jarang dikunjungi kelompok orang kelas akar rumput itu. Siswa-siswinya diajak berceloteh dengan cerita pendek dan cerita rakyatnya. Siswa-siswi SMP dan SLTA-nya juga diajak bergabung dengan cabang seni sastra yang lain. Baca puisi, Musikalisasi Puisi dan sebagainya. Seminar-seminar tentang kebahasaan juga ramai mewarnai gedung yang baru selesai dibangunnya itu. Seminar pengajaran bahasa Indonesia dan Seminar bahasa Dayak tidak terlewatkan dari garapannya juga. Dunia maya dirambahnya pula sehingga perihal kegiatan lembaganya dapat dibaca dan diikuti oleh siapa pun yang punya ketertarikan. Ditelusurinya lorong-lorong kecil dunia kesastraan yang orang lain merasa benci dan kurang perhatian justru dicatat dan pertama kalinya di daerah ini ada sebuah penghargaan untuk tokoh-tokoh kebahasaan dan kesastraan. Sekarang di benaknya ada sebuah gagasan yang akan diluncurkan namun saying ia akan segera meninggalkan kota cantik kita. Orang-orang sastra yang lemah dan tidak memihak itu kini harus menitipkan harapannya ke mana? Tapi biarlah semua itu terjadi karena harus terjadi sebab kepindahannya ke kota Cantik karena karya dan pengabdiannya dibutuhkan di tempat lain juga. Dan kursi yang ditinggalkannya pasti ada orang lain yang duduk untuk mengendalikan aktivitas kantornya. Di kantor pusat pun ia diperlukan karena butir-butir akal dan nalarnya yang kreatif. Kalau ia tetap di sini malah ia tak memiliki peran lagi.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Siapakah tokoh sentral dalam cerita pendek tadi? Ialah Puji santosa. Drs. Puji Santosa, M. Hum. Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah yang telah dicabnut SK-nya dan akan segera meninggalkan kota cantik ini. Kita sampaikan selamat menunaikan tugas di tempat baru semoga sukses.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: small;">Kelompok sastra memang sedih meski tak menitikkan air mata. Satu hal yang sangat diharapkan adalah agar kepada mereka Pak Puji sapaan akrab kami tidak lupa dan masih mau mengulurkan tangan untuk memberi bimbingan bantuan dan arahan terutama untuk menghubungkan dengan orang-orang yang punya izin penerbitan agar karya orang di kota cantik ini pun dapat mengisi perpustakaan Pusat Bahasa dan minimal Perpustakaan daerah Kalimantan Tengah di Palngkaraya. Dalam serah terima jabatan tadi diserahkan catatan perihal yang sudah dilaksanakan. Harapan kami itu akan menjadi catatan untuk pejabat baru mengawali tugasnya, melengkapi kekurangannya, meningkatkan kelemahannya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: small;">Ciri organisasi yang hidup memang ada perubahan dan ada permutasian. Orang baru yang duduk di kursinya diharpkan oleh masyarakat daerah dan kota ini untuk melanjutkan apa-apa yang sudah dirintisnya. Diteruskan dan dikembangkan dan dipercepat pergerakannya. Kami yakin bahwa ia juga orang yang berperhatian terhadap dunia kesastraan. Selamat dating Bapak Sumadi di kota cantik Palangkaraya tugas berat menanti anda karena tugas berat menanti anda karena tugas Pak Puji belum sepenuhnya berhasil. Manusiasi. Semoga di bawah garapan tangan anda balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah berjalan cepat dan mempunya jalinan kerja yang lebih akrab. Kepada Bapak saya perkenalkan bahwa saya penganut Prof. Dr. Amra Halim dalam penggunaan kata provinsi dan propinsi. Karena itu mohon maaf kalau bibir saya mengucap kata propinsi. Selamat Bekerja.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Palangkaraya, 10 Desember 2008</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kesan Darmawati M.R. </span></div><span style="font-size: small;"><i><b><span style="color: #000066;">Mari Kayuhlah Lagi</span></b></i></span><br />
<div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Ini bukan sebuah keberakhiran</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Bukan pula saat horison semburatkan jingga di ujung hari.</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Kita hanya tiba di satu titik perhentian</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Untuk melepas penat sejenak</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Untuk mengisi ulang perbekalan</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Untuk menapak tilas sejauh mana kita telah berjalan</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Sepanjang perjalanan lalu, </span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">ada gumam</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">ada racauan</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">ada buraian pemikiran</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">ada persangkaan</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">tawa</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">tangis</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Ada banyak hal tereja dalam kebersamaan, lalu termangu dalam kekinian</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Detik ini ingin kuulas saja, sebuah epilog yang mungkin saja tak terkatakan karena ragu.</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Aku bukan Kuntowijoyo yang melarang kalian jatuh cinta pada bunga-bunga</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Bukan pula Danarto yang menjaring malaikat </span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Atau bahkan Hamsad Rangkuti yang melihat Biibir dalam Pispot</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Bukan pula salah satu dari orang-orang Bloomington yang tersesat di Bumi Tambun Bungai</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Aku hanyalah jukung di Bumi Manusia</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Mencoba bawa kalian ke Kota Asa</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Mari kayuhlah lagi</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Tidak peduli cinta datang dan pergi, perjalanan harus tetap dilanjutkan bukan?</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Dengan permohonan maaf yang mengalir dari hulu kealpaan</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">serta terima kasih yang meriak dari lubuk pengabdian, kuucap</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">SELAMAT JALAN P' PUJI</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Baktimu telah terpahat abadi dalam memori tiada pudar</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Terhembus pula euforia SELAMAT DATANG pada P' Sumadi</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Terimalah dayung ini dengan segenap cintamu</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Mari kita susuri Kahayan dengan segala lekuknya</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Ini bukan sebuah keberakhiran,</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Tapi doa kala horison bersemu jingga di awal hari</span></i></span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Mari kayuhlah lagi...</span></i></span></div><span style="font-size: small;"><i><span style="color: #000066;">Palangkaraya, 9 Desember 2008</span></i></span></td></tr>
</tbody></table>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-69835319464749571052010-07-28T11:08:00.000+07:002010-07-28T11:08:50.764+07:00Batu Belah<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Batu Belah adalah cerita rakyat dari daerah Nangro Aceh Darussalam, ujung utara Pulau Sumatera. Cerita rakyat ini telah diabadikan dalam bentuk sajak balada oleh Amir Hamzah pada tahun 1930-an dan terbit dalam buku kumpulan sajak Nyanyi Sunyi (1937). Cerita tentang “Batu Belah” ini sangat terkenal di daerah seputar pulau Sumatera, terutama Sumatera Utara dan Aceh. Kisah ini ada yang menyebut sebagai “Batu Bertangkup” atau “Batu Bekabaran” menjadi sangat terkenal di daerah tersebut karena dimanfaatkan oleh rakyat sebagai pelipur lara. Bahkan, James Danandjaja (1984) dalam bukunya Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti) kisah “Atu Belah” dimanfaatkan sebagai contoh lembaran arsip folklor Legenda Sumatra-Gayo-Desa Penarun.</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Junus Melalatoa, lelaki asal Gayo yang tinggal di Jakarta, pada tanggal 12 Mei 1972, menuturkan kisah “Atu Belah” sebagai berikut.</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Pada masa yang lalu, di desa Penarun, Gayo, hidup satu keluarga miskin. Keluarga ini mempunyai dua orang anak, seorang berumur tujuh-delapan tahun dan yang kedua masih menetek.</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Bapak kedua anak ini hidup sebagai petani. Pada waktu senggangnya dia selalu berburu rusa ke hutan-hutan. Di samping itu, dia banyak menangkap belalang sawah dan sedikit demi sedikit dikumpulkannya di dalam lumbung.</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Pada suatu hari dia, si bapak, pergi berburu rusa. Di rumah tinggal istri dan anak-anaknya. Waktu makan si anak yang besar menangis meminta lauk ikan kepada ibunya. Ikan itu tidak ada sehingga ibunya bingung mencari ke mana-mana untuk memenuhi permintaan anaknya. Akhirnya, si ibu memerintahkan anaknya untuk mengambil sendiri belalang yang ada dalam lumbung. Ketika sang anak membuka tutup lumbung, belalang-belalang itu lepas dan habis berterbangan.</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Sementara itu bapaknya pulang berburu, walau telah berhari-hari, bapaknya tidak membawa hasil buruannya. Si Bapak lelah sekali, di samping merasa kesal karena tidak berhasil dalam berburu. Ketika si Bapak mengetahui dari istrinya bahwa belalang yang dikumpulkannya dengan susah payah habis lepas berterbangan dari dalam lumbung, seketika itu pula si Bapak sangat marah. Ketika sampai pada puncak kemarahannya, si Bapak tega mengusir istrinya dari rumahnya.</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Si Ibu yang diusir suaminya itu menangis dan segera meninggalkan rumahnya. Si Ibu berjalan menuju ke arah tempat Batu Belah yang selalu menerima dan menelan siapa saja yang bersedia ditelannya, asal saja dia mampu mengucapkan sambil bernyanyi: “Rang … rang … rangkup/ Rang … rang … rangkup/ Batu belah batu bertangkup/ Ngeri berbunyi berganda kali// Batu belah batu bertangkup/ Batu tepian tempat mandi/ Insya Allah tiadaku takut/ Sudah demikian kuperbuat janji”.</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Sementara perempuan itu menuju ke Batu Belah, kedua anaknya terus mengikutinya sambil menangis dan mencari-carinya. Anak yang besar dengan tertatih-tatih menggendong adiknya yang masih menetek. Akhirnya, si Ibu yang telah sampai di depan Batu Belah dan mulai mengucapkan sambil bernyanyi dalam bahasa Gayo tentang Batu Belah itu. Mendengar rintihan dan nyanyian Si Ibu, sedikit demi sedikit Batu Belah membuka diri seolah-olah membuka pintunya agar si Ibu cepat masuk ke dalam. Tanpa berpikir panjang lagi, si Ibu segara masuk ke dalam Batu Belah yang disaksikan oleh kedua anaknya dari kejauhan. Tidak lama kemudian segera Batu Belah itu menutup diri menelan Si Ibu yang sedang malang.</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Pada saat kedua anaknya sampai di depan Batu Belah, keadaan sedang hujan lebat, angin ribut mengamuk, beberapa pohon dan ranting-ranting bertumbangan, serta bumi bergetar seperti terjadi gempa karena Batu Belah sedang menelan mangsanya. Setelah semuanya reda, si anak yang besar dengan hati yang luluh hanya dapat melihat rambut ibunya yang tidak ikut ditelan oleh Batu Belah. Si Anak yang tua itu segera mencabut tujuh helai rambut ibunya dari permukaan Batu Belah yang dipergunakannya sebagai pusaka. Dengan hati hancur dan remuk redam, si Anak yang tua segera membawa adiknya kembali pulang ke rumahnya.</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Sajak “Batu Belah (Kabaran)” karya Amir Hamzah tersebut sebagai berikut.</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">BATU BELAH</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">(Kabaran)</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Dalam rimba rumah sebuah</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Teratak bambu terlampau tua</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Angin menyusup di lubang tepas</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Bergulung naik di sudut sunyi.</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Kayu tua membetul tinggi</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Membukak puncak jauh di atas</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Bagai perarakan melintas negeri</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Payung menaung jemala raja</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Ibu bapa beranak seorang</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Manja bena terada-ada</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Lagu lagak tiada disangkak</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Minta benda muskil dicari</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Telur kemahang minta carikan</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Untuk lauk di nasi sejuk</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Tiada sayang;</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Dalam rimba telur kemahang</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Mana daya ibu mencari</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Mana tempat ibu meminta</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Anak lasak mengisak panjang</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Menyabak merunta mengguling diri</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Kasihan ibu berhancur hati</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Lemah jiwa karena cinta</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Dengar… dengar!</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Dari jauh suara sayup</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Mengalun sampai memecah sepi</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Menyata rupa mengasing kata</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Rang … rang … rangkup</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Rang … rang … rangkup</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Batu belah batu bertangkup</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Ngeri berbunyi berganda kali</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Diam ibu berpikir panjang</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Lupa anak menangis hampir</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Kalau begini susahnya hidup</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Biar ditelan batu bertangkup</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Kembali pula suara bergelora</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Bagai ombak datang menampar</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Macam sorak semarai rampai</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Karena ada hati berbimbang</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Menyahut ibu sambil tersedu</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Melagu langsing suara susah:</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Batu belah batu bertangkup</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Batu tepian tempat mandi</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Insya Allah tiadaku takut</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Sudah demikian kuperbuat janji</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Bangkit bonda berjalan pelan</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Tangis anak bertambah kuat</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Rasa risau bermaharajalela</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Mengangkat kaki melangkah cepat</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Jauh ibu lenyap di mata</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Timbul takut di hati kecil</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Gelombang bimbang mengharu pikir</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Berkata jiwa menanya bonda</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Lekas pantas memburu ibu</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Sambil tersedu rindu berseru</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Dari sini suara sampai</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Suara raya batu bertangkap.</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Lompat ibu ke mulut batu</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Besar terbuka menunggu mangsa</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Tutup terkatup mulut ternganga</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Berderak-derik tulang-belulang</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Terbuka pula, merah basah</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Mulut maut menunggu mangsa</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Lapar lebar tercingah pangah</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Meraung riang mengecap sedap….</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Tiba dara kecil sendu</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Menangis pedih mencari ibu</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Terlihat cerah darah merah</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Mengerti hati bonda tiada</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Melompat dara kecil sendu</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Menurut hati menaruh rindu….</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Batu belah, batu bertangkup</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Batu tepian tempat mandi</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Insya Allah tiada kutakut</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">Sudah demikian kuperbuat janji.</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;">(Amir Hamzah, 2000. Padamu Jua. Jakarta: Grasindo, hlm. 44-46)</div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-83075895782549159302010-07-27T21:48:00.001+07:002010-07-27T22:26:04.396+07:00Hang Tuah<div style="text-align: justify;"><meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Cuser%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Trebuchet MS";
panose-1:2 11 6 3 2 2 2 2 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
p.MsoFooter, li.MsoFooter, div.MsoFooter
{margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
tab-stops:center 3.0in right 6.0in;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Hang Tuah merupakan cerita rakyat Melayu yang sudah ditulis menjadi hikayat dan puisi Indonesia modern oleh Amir Hamzah. Kisah Hang Tuah terjadi seputar abad XV hingga Abad XVII. Beberapa pakar sastra berbeda-beda mengkategorikan kisah Hang Tuah. Menurut Werndly (1736) Hikayat Hang Tuah adalah satu cerita tentang raja-raja Melayu. Roolvink menganggap kisah Hang Tuah sebagai karya sastra sejarah yang terdiri atas dongeng dan historis. Sementara itu, Valentijn (1726), E. Netscher (1854), Overbeck (1922), Hooykaas 91947), dan A. Teeuw (1960) menyetujui bahwa kisah Hang Tuah adalah sebuah roman yang melukiskan perbuatan pelakonnya menurut watak dan isi jiwa masing-masing. Liaw Yock fang (1991) menyetujui pendapat John Crawfurd (1811) bahwa kisah Hang Tuah sebagai roman sejarah (<i>historical romance</i>), sebab Hang Tuah sebenarnya seorang tokoh sejarah yang dapat dilihat dari buku <i>Sejarah Melayu</i>.<o:p></o:p></span></div><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Dalam buku <i>Sejarah Melayu</i> itu dikisahkan bahwa Hang Tuah berasal dari keluarga yang biasa saja. Akan tetapi, atas keberanian dan kegagahannya berperang melawan musuh, akhirnya Hang Tuah menjadi seorang pahlawan yang terkenal di Tanah Melayu. Ditambah pula bahwa Hang Tuah begitu taat dan setianya kepada raja yang tidak ada bandingnya. Pengabdian Hang Tuah kepada Raja Melayu yang begitu tulus itu membuat nama Hang Tuah semakin termasyhur di seluruh Nusantara. Hang Tuah menjadi teladan bagi orang-orang kebanyakan yang ingin mencapai derajat dan pangkat tinggi dalam negeri, yakni dari rakyat biasa hingga sebagai laksamana (panglima perang angkatan laut). Lama-kelamaan, kisah Hang Tuah itu hidup di masyarakat Melayu menjadi sebuah dongeng dengan menghilangkan sifat-sifat tercelanya, seperti sombong, takabur, dan tamak. Hal inilah yang mendorong Sulastin Sutrisno (1979) dari Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, membuat disertasi doktor tentang <i>Hikayat Hang Tuah: Analisis Struktur dan Fungsi</i> (terbit tahun 1983 oleh Gadjah Mada University Press).<o:p></o:p></span></div><div></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Hikayat Hang Tuah dimulai dari turunnya raja-raja keinderaan di bukit Siguntang. Sang Maniaka menjadi raja di Bintan. Hang Tuah pindah dari Sungai Duyung ke Bintan. Sewaktu masih muda Hang Tuah dan kawan-kawannya mampu mengalahkan para perompak (bajak laut), bahkan dia dapat membunuh ular Cinta Mani. Kemudian Hang Tuah dan kawan-kawannya mengabdi kepada raja Bintan. Pada suatu hari raja Bintan kedatangan Patih Krama Wijaya dari Jawa dan Wira Nantaya dari Daha yang disambutnya dengan meriah. Bahkan, Wira Nantaya pada saat itu diberi gelar “Ratu Melayu”.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Selanjutnya, Raja Bintan berpindah ke Melaka dan mendirikan istana di sana. Pada suatu saat, Raja Melaka meminang Tun Teja, anak gadis dari Bendahara Indrapura. Namun, pinangan raja ini ditolak. Raja tidak putus asa, kemudian mengirim utusan ke Jawa untuk meminang putri Raja Majapahit. Pinangan diterima, tetapi Raja Melaka sendiri yang harus datang ke Majapahit menjemput putri pinangan. Hang Tuah ikut serta rombongan Raja Melaka datang ke Majapahit. Sesampainya di Majpahit, berkali-kali Hang Tuah diuji nyali keberanian dan kegagahannya melawan orang-orang Jawa. Batara Majapahir akhirnya berkenan memberi anugerah gelar Laksamana kepada Hang Tuah atas keperkasaannya. Di Jawa ini pun Hang Tuah sempat berguru kepada seorang pertapa untuk belajar ilmu kebatinan. Setelah beberapa lama tinggal di Majapahit, Raja Malaka pun kembali ke negerinya dengan dikawal oleh Hang Tuah dan kawan-kawannya.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Pada suatu ketika Hang Tuah difitnah telah melakukan perbuatan serong dengan seorang dayang istana. Raja Melaka murka kepada Hang Tuah dan menjatuhkan hukuman mati. Namun, Hang Tuah diselematkan oleh bendahara istana dan dilarikan ke Indrapura. Di Indrapura Hang Tuah menculik Tun Teja putri Bendahara Indrapura yang pernah disunting Raja Melaka tetapi ditolak. Hang Tuah berhasil membawa Tun Teja ke Melaka dan mempersembahkannya kepada Raja Melaka. Atas persembahan putri itu Raja Melaka berkenan di hati dan mengampuni Hang Tuah. Megat Panji Alam dari Trengganu, tunangan Tun Teja, mau melabrak ke Melaka atas diculiknya tunangannya oleh Hang Tuah. Akan tetapi, baru sampai di Indrapura sudah dapat dikalahkan oleh Hang Tuah dan kawan-kawannya.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS";"> Dalam hikayat Hang Tuah ini banyak diceritakan akan kehebatan dan ketangguhan Hang Tuah menghadapi berbagai halangan dan tantangan. Satu-satu persatu semua persoalan yang dihadapi Hang Tuah dapat diatasnya dengan baik, termasuk melawan orang-orang Portugis yang hendak menguasai Melaka. Dalam hikayat Hang Tuah ini tokoh Hang Tuah tidak mati, bahkan dapat menjadi raja orang Batak. Namun, dalam puisi “Hang Tuah” karya Ami Hamzah yang terkumpul dalam buku <i>Buah Rindu</i> (1941) tokoh Hang Tuah gugur melawan bala tentara Portugis dan jasadnya dilarung di lautan Selat Melaka.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;"><b><span lang="DE" style="font-family: "Trebuchet MS";"> </span></b><span lang="DE" style="font-family: "Trebuchet MS";">Sajak “Hang Tuah“ karya Amir Hamzah tersebut sebagai berikut.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;"><b><span lang="DE" style="font-family: "Trebuchet MS";">HANG TUAH<o:p></o:p></span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="DE" style="font-family: "Trebuchet MS";">Bayu berpuput alun digulung<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="DE" style="font-family: "Trebuchet MS";">Bayu direbut buih dibubung<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="DE" style="font-family: "Trebuchet MS";">Selat Melaka ombaknya memecah<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="DE" style="font-family: "Trebuchet MS";">Pukul-memukul belah-membelah<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="DE" style="font-family: "Trebuchet MS";">Bahtera ditepuk buritan dilanda<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="DE" style="font-family: "Trebuchet MS";">Penjajab dihantuk haluan ditunda<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="DE" style="font-family: "Trebuchet MS";">Camar terbang riuh suara<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Alkamar hilang menyelam segara<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Armada Peringgi lari bersusun<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Melaka negeri hendak diruntun<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Galyas dan pusta tinggi dan kukuh <o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Pantas dan angkara ranggi dan angkuh<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Melaka! Laksana kehilangan bapa<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Randa! </span><span lang="IT" style="font-family: "Trebuchet MS";">Sibuk mencari cendera mata!<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IT" style="font-family: "Trebuchet MS";">“Hang Tuah! Hang Tuah! Di mana dia?<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IT" style="font-family: "Trebuchet MS";">Panggilkan aku Kesuma Perwira!”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Tuanku Sultan Melaka, maharaja bintan!<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Dengarkan kata Bentara Kanan.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">“Tun Tuah, di Majapahit nama termasyhur,<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">badannya sakit rasakan hancur!”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Wah, alahlah rupanya negara Melaka<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Karena Laksamana ditimpa mara.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Tetapi engkau wahai Kesturi<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Kujadikan suluh, mampukah diri?<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Hujan rintik membasahi bumi<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Guruh mendayu menyedihkan hati.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Keluarlah suluh menyusun pantai<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Angkatan Portugal hajat diintai<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Cucuk diserang ditikam seligi<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Sauh terbang dilempari sekali<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Lela dipasang gemuruh suara<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Rasakan terbang ruh dan nyawa<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Suluh Melaka jumlah kecil<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Undur segera mana yang tampil<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">“Tuanku, armada peringgi sudahlah dekat<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Kita keluar dengan cepat.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Hang Tuah coba lihati<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Apakah ‘afiat rasanya diri?”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Laksamana, Hang Tuah mendengar berita<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Armada Peringgi duduk di kuala<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Minta didirikan dengan segera<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Hendak berjalan ke hadapan raja<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Negeri Melaka hidup kembali <o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Buklanlah itu Laksamana sendiri<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Laksamana, cahaya Melaka, bunga Pahlawan<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Kemala setia maralah Tuan.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: "Trebuchet MS";">Tuanku, jadikan patik tolak bala<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Turunkan angkatan dengan segera.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Genderang perang disurunya palu<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Memanggil imbang iramanya tentu.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Keluarlah Laksamana mahkota ratu<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Tinggallah Melaka di dalam ragu….<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Marya! </span><span lang="IT" style="font-family: "Trebuchet MS";">Marya! Tempik peringgi<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IT" style="font-family: "Trebuchet MS";">Lela pun meletup berganti-berganti<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IT" style="font-family: "Trebuchet MS";">Terang cuaca berganti kelam<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Bujang Melaka sukma di selat!<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Amuk-beramuk buru-memburu<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Tusuk-menusuk laru-meluru<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Lela rentaka berputar-putar<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Cahaya senjata bersinar-sinar<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Laksamana mengamuk di atas pusta<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Yu menyambar umpamanya nyata….<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Hijau segara bertukar warna<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Silau senjata pengantar nyawa.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Hang Tuah empat berkawan<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Serangnya hebat tiada tertahan.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Cucuk Peringgi menarik layar<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Induk dicari tempat berhindar.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Angkatan besar maju segera<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Mendapatkan payar ratu Melaka.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Perang ramai berlipat ganda<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Pencalang berai tempat ke segala.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Dan Gurbenur memasang lela<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Umpama guntur di terang cuaca<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Peluru terbang menuju bahtera<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">Laksamana dijulang ke dalam segara….<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Trebuchet MS";">(Amir Hamzah, 2000. <i>Padamu jua. </i>Jakarta: Grasindo, hlm. 7-11)</span><span lang="SV"><o:p></o:p></span></div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-25183232389985731252010-07-09T21:16:00.000+07:002010-07-09T21:16:41.713+07:00Daftar Karya Tulis Puji Santosa<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;"></span><div style="color: blue; font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b><span style="font-size: small;">1. Karya Tulis Ilmiah yang Diujikan</span></b></div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></div><ol><li><span style="font-size: small;"> “Rakyat Adalah Sumber Ilmu Karya W.S. Rendra: Sebuah Pendekatan Dikotomis”. (1984). Praskripsi Sarjana Muda, Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ketua Penguji: Prof. Dr. Soediro Satoto, dengan predikat kelulusan: cumlaude.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Tabiat Tanda-Menanda dan Tafsir Amanat dalam Puisi ‘Rakyat Adalah Sumber Ilmu’ Karya Rendra: Sebuah Pendekatan Semiotika”. (1986). Skripsi Sarjana S-1, Jurusan Sastra Indonesia dan Filsafat, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ketua Tim Penguji: Dr. Soejatno Kartodirdjo, dengan predikat kelulusan: cumlaude.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Makna Kehadiran Nuh dalam Puisi Indonesia Modern”. (2002). Tesis Sarjana S-2, Magister Humaniora, Program Studi Ilmu Susastera, Bidang Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Pascasarjana, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Konsultan: Prof. Dr. Okke K.S. Zaimar, dan Ketua Tim Penguji: Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, dengan predikat kelulusan: sangat memuaskan.</span></li>
</ol><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></div><div style="color: blue; font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b><span style="font-size: small;">2. Buku Terbit Ditulis Sendiri</span></b></div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></div><ol><li><span style="font-size: small;">Teori Sastra (IKIP PGRI Madiun, 1986). Modul kuliah S-1.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra (Bandung: Angkasa, 1993)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Kisah Syeh Mardan (Jakarta: Departemen Pendidikan Kebudayaan, 1995)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan dalam Tanya-Jawab (Ende-Flores: Nusa Indah, 1996)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-sajak Nuh (Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Pandangan Dunia Darmanto Jatman (Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2006)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Menggapai Singgasana (Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2007)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Kekuasaan Zaman Edan: Derajat Negara Tampak Sunya-ruri. (Yogyakarta: Pararaton, 2010)</span></li>
</ol><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></div><div style="background-color: white; color: blue; font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b><span style="font-size: small;">3. Buku Terbit Ditulis Bersama/Tim</span></b></div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></div><ol><li><span style="font-size: small;">Panduan Belajar Bahasa Indonesia untuk SMP GBPP 1987 (Serial 6 Jilid) Ditulis bersama Drs. M.Dj. Nasution dan Dra. Erlis Nur Mujiningsih. (Jakarta: Yudhistira, 1990)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1920–1960. Ditulis bersama Dr. Sumardi, M.Sc. dan Drs. Abdul Rozak Zaidan, M.A. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Analisis Sajak-Sajak J.E. Tatengkeng. Ditulis bersama Drs. Djamari. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Soneta Indonesia: Analisis Struktur dan Tematik. Ditulis bersama Drs. Djamari (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1960–1980. Ditulis bersama Drs. S.R.H. Sitanggang, M.A. dan Drs. Zaenal Hakim (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Struktur Sajak-Sajak Abdul Hadi W.M. Ditulis bersama Dra. Anita K. Rustapa, M.A. dan Drs. Zaenal Hakim (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Unsur Erotisme dalam Cerita Pendek Taghun 1950-an. Ditulis bersama Drs. Abdul Rozak Zaidan, M.A. dan Dra. Erlis Nur Mujiningsih (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Terampil Berbahasa Indonesia untuk SMP. Ditulis bersama Dr. Sumardi M.Sc. dan kawan-kawan. (Yogyakarta: Mitragama, 2000)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Drama Indonesia Modern dalam Majalah Indonesia, Siasat, dan Zaman Baru (1945–1965): Analisis Tema dan Amanat Disertai Ringkasan dan Ulasan. Ditulis bersama Agus Sri Danardana dan Zaenal Hakim (Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2003)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar. Ditulis bersama Dra. Hj. Yusi Rosdiana, M.Pd., dan kawan-kawan (Jakarta: Universitas Terbuka Pusat, 2003)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Puisi-Puisi Kenabian dalam Perekembangan Sastra Indonesia. Ditulis bersama Suryami dan Mardiyanto (Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2006)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Menulis 2. Ditulis bersama Encep Kusumah dan Yeti Mulyati. (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Pandangan Dunia Motinggo Busye. Ditulis bersama Agus Sri Danardana. (Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung, 2008)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Ditulis bersama Dr. Suroso dan Drs. Pardi Suratno, M.Hum. (Yogyakarta: Elmatera Publhising, 2009)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara. Ditulis bersama Dr. Suroso (Yogyakarta: Pararaton, 2009)</span></li>
</ol><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></div><div style="color: blue; font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b><span style="font-size: small;">4. Beberapa Artikel, Esai, Kritik Sastra yang Terbit dalam Majalah/Jurnal</span></b></div><ol><li><span style="font-size: small;">“Berbagai Isu Tentang Pengajaran Sastra di Sekolah Menengah” (Bahasa dan Sastra Nomor 3 Tahun IX, 1992, hlm. 61–77).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Mitos Nabi Nuh di Mata Tiga Penyair Indonesia” (Bahasa dan Sastra Nomor 1 Tahun X, 1993, hlm. 55–66).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Nilai Budaya dalam Cerita Perpatih Nan Sebatang” (Bahasa dan Sastra Nomor 2 Tahun X, 1993, hlm. 38–50).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Aliran, Upacara, dan Pikiran Utama dalam Lakon Sandyakala Ning Majapahit” (Bahasa dan Sastra Nomor 3 Tahun XI, 1993, hlm. 37–54).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Refleksi Kekuasaan dan Ideologi dalam Kesusastraan” (Bahasa dan Sastra Nomor 2 Tahun XIV, 1996, hlm. 27–44).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Hakikat dan Fungsi Studi Sastra” (Bahasa dan Sastra Nomor 5 Tahun XIV, 1996, hlm. 41–59).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Citra Tokoh Wanita dalam Drama Indonesia Modern Periode Awal 1926–1945" (Bahasa dan Sastra Nomor 2 Tahun XVI, 1998, hlm. 49–72).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Kajian Asmaradana dalam Sastra Bandingan” (Bahasa dan Sastra Nomor 3 Tahun XVII, 1999, hlm. 30–50).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Analisis Stilistika Cerpen ‘Armageddon’ Karya Danarto” (Bahasa dan Sastra Nomor 4 Tahun XVIII, 2000, hlm. 17–37).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Analisis Stilistika Sajak ‘Pada Suatu Hari’ Karya Agus R. Sardjono” (Bahasa dan Sastra Nomor 4 Tahun XIX, 2001, hlm. 17–37).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Sastra Marginal dalam Peta Sejarah Kesusastraan di Indonesia” (Pangsura Bilangan 3/Jilid 2, Julai–Desember 1996, hlm. 50–57).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Iptek Itu Bermula dari Mitos: Mengenal Sajak-Sajak Sapardi Djoko Damono” (Pangsura Bilangan 4/Jilid 3, Januari–Juni 1997, hlm. 49–62).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Analisis Struktur Sajak ‘Pembicaraan’ Karya Subagio Sastrowardojo” (Pangsura Bilangan 6/Jilid 4, Januari–Juni 1998, hlm. 3–15).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Perkembangan Soneta di Indonesia dan Jatidiri Bangsa” (Pangsura Bilangan 9/Jilid 5, Julai–Desember 1999, hlm. 92–106).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Tuhan Kita Begitu Dekat” Karya Abdul Hadi W.M. Dalam Kajian Semiotika Riffaterre” (Pangsura Bilangan 13/Jilid 7, Julai–Desember 2001, hlm. 126–137).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Hanya Satu Karya Amir Hamzah dalam Analisis Semiotika Todorov” (Pangsura Bilangan 16/Jilid 9, Januari-Juni 2003, hlm. 46–70).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Cerita Pendek ‘Blencong’ Karya Dorothea Rosa Herliany: Sebuah Analisis Struktural” (MIBAS, Nomor 21/Tahun XI/1999, hlm. 29–50).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Reformasi Ideologi dan Kekuasaan dalam Kesusastraan” (Cakrawala Nomor 017 Tahun V, Desember 1999, hlm. 21–28).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Sumbangan Sastra Jawa dalam Menghadapi Zaman Edan” (Fenomena Nomor 2 Tahun 9, Agustus 2001, hlm. 212–234).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Dimensi Ketuhanan dalam Drama ‘Iblis’ dan ‘Kebinasaan Negeri Senja’” (Atavisme Nomor 1 Tahun 1, 1998, hlm. 1–15).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Refleksi Kekuasaan dan Ideologi dalam Kesusastraan” (Bahana Bilangan 215/Jilid 33, November 1998, hlm. 21–28).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Revitalisasi Sastra Marginal” (Kebudayaan Nomor 16 Tahun VIII, Maret 1999, hlm. 3–12).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Reformasi Ideologi dan Kekuasaan dalam Kesusastraan” (Kebudayaan Nomor 17 Tahun IX, Oktober 1999, hlm. 4–15).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Promosi Dunia Wisata dalam Puisi Indonesia” (Kebudayaan Nomor 18 Tahun IX, Maret 2000, hlm. 65–74).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Kedudukan dan Fungsi Bahasa Daerah dalam Jalan Menikung Karya Umar Kayam” (Kajian Linguistik dan Sastra Volume XII/ Nomor 22, Tahun 2000, hlm. 11–19).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Tuhan Kita Begitu Dekat” Karya Abdul Hadi W.M. Dalam Kajian Semiotika Riffaterre” (Kajian Linguistik dan Sastra Volume XIII/ Nomor 24, Tahun 2000, hlm. 122–131).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Empat Sajak Tentang Nabi Nuh: Sebuah Kajian Muatan Unsur Agama dalam Puisi Indonesia” (Horison Nomor 1 Tahun XXXI, Januari 1997, hlm. 13–20).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Riwayat Hidup Sapardi Djoko Damono: Perjalanan Seorang Penyair dan Intelektual” (Kakilangit Nomor 37, Februari 2000, hlm. 12–13).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Proses Kreatif Sapardi Djoko Damono: Bermain Kata Membentuk Dunia” (Kakilangit Nomor 37, Februari 2000, hlm. 14–15).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Riwayat Hidup Goenawan Mohamad: Penyair Cendekia yang Piawai Membikin Pasemon” (Kakilangit Nomor 39, April 2000, hlm. 12–14).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Proses Kreatif Goenawan Mohamad: Estetika Puisi Sebagai Pasemon” (Kakilangit Nomor 39, April 2000, hlm. 15–17).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Anekdot: Jam Malam Kawin” (Kakilangit Nomor 40, Mei 2000, hlm. 28).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Ulasan Novel Toha Mohtar: Kembali ke Akar Kembali ke Asal” (Kakilangit Nomor 41, Juni 2000, hlm. 7–9).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Riwayat Hidup Toha Mohtar (1926–1992): Sastrawan Bersahaja yang Piawai Melukiskan Suasana” (Kakilangit Nomor 41, Juni 2000, hlm. 10–11).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Proses Kreatif Toha Mohtar: Memadukan Realitas dengan Imajinasi” (Kakilangit Nomor 41, Juni 2000, hlm. 12–14).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Ulasan Novel Achdiat K. Mihardja: Benturan Dua Dunia” (Kakilangit Nomor 45, Oktober 2000, hlm. 8–10).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Proses Kreatif Achdiat K. Mihardja: Peran Orang Tua, Pendidikan, dan Karier” (Kakilangit Nomor 45, Oktober 2000, hlm. 11–13).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Riwayat Hidup Pengarang Achdiat K. Mihardja: Perjalanan Seorang Intelektua” (Kakilangit Nomor 45, Oktober 2000, hlm. 14–16).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Pengetahuan Sastra: Soneta Masa Pra-Pujangga Baru” (Kakilangit Nomor 46, Februari 2000, hlm. 25–27).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Ulasan Drama Trisno Sumardja: Peran Kaum Terpelajar di Awal Kemerdekaan” (Kakilangit Nomor 53, Juni 2001, hlm. 8–10).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Proses Kreatif Trisno Sumardjo: Kesenian Bukan Alat Mengejar Materi” (Kakilangit Nomor 53, Juni 2001, hlm. 11–13).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Riwayat Hidup Pengarang Trisno Sumardjo (1916–1969): Pejuang Kesenian yang Tekun” (Kakilangit Nomor 53, Juni 2001, hlm. 14–16).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Ulasan Puisi Darmanto Jatman: Sori Gusti: Keberagaman Tujuh Banjaran” (Kakilangit Nomor 75, Maret 2003, hlm. 8–10).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Proses Kreatif Darmanto Jatman: Pada Mulanya Adalah Suara” (Kakilangit Nomor 75, Maret 2003, hlm. 11–12).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Riwayat Hidup Pengarang Darmanto Jatman (1942– ): Penyair dengan Segudang Puisi dan Prestasi” (Kakilangit Nomor 75, Maret 2003, hlm. 13–14).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Hanya Satu” Karya Amir Hamzah dalam Analisis Semiotika Todorov” (Jurnal Internasional Pangsura, Brunei-Darussalam, Januari-Juni 2003, Bilangan 16/Jilid 9, hlm. 46—70)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Proses Kreatif: “Memburu Misteri Lewat Cerita” (Kakilangit Nomor 99, Maret 2005, hlm. 8–9).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Riwayat Hidup Pengarang Rijono Pratikto (1932—): “Nasib Tragis Seorang Cerpenis” (Kakilangit Nomor 99, Maret 2005, hlm. 10–11).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Tolok Ukur dalam Kritik Sastra” (Sawo Manila Nomor 1 Tahun 1, 2006. hlm. 40—46).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Estetika Resepsi, Metode, dan Penerapannya: Studi Kasus Resepsi Produktif Soneta Indonesia” (Suar Betang volume II, Nomor 1, Juni 2007, hlm. 1—18).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Maut dalam Tiga Buku Kumpulan Sajak Subagio Sastrowardojo” (Suar Betang volume II, Nomor 2, Desember 2007, hlm. 166—187).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Pembelajaran Sastra yang Menyenangkan dan Inivatif” (Suar Betang volume III, Nomor 1, Juni 2008, hlm. 73—88).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Mitologi Melayu Nusantara dalam Konteks Keindonesiaan” (Suar Betang volume III, Nomor 2, Desember 2008, hlm. 14—27).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Sapi Rela Disembelih di Negeri Tiada Cinta: Semangat Kebangsaan dalam Karya Sastra M. Balfas” (LOA Volume 6 Nomor 6, September 2008, hlm. 25—35).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Dasar-Dasar Apresiasi Sastra: Menyenangkan, Kreatif, dan Inovatif” (LOA Volume 7 Nomor 7, Juli 2009, hlm. 29—47).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Perlawanan Bangsa Terjajah Atas Harkat dan Martabat Bangsa: Telaah Postkolonial Atas Tiga Sajak Indonesia Modern” (Atavisme: Jurnal Ilmiah Kajian Sastra. Volume 12 Nomor 2, Desember 2009, hlm. 147—156)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Ulasan Puisi: “Teladan Keutamaan bagi Wira Tamtama” (Kakilangit Nomor 157, Januari 2010, hlm. 5–-7).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Proses Kreatif: “Sastra Sebagai Pendidikan Jiwa” (Kakilangit Nomor 157, Januari 2010, hlm. 8–-10).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Riwayat Hidup Pengarang Sri Mangkunegara IV: “Sastrawan Pujangga dan Negarawan Bijak” (Kakilangit Nomor 157, Januari 2010, hlm. 11–-12).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Ulasan Novel: “Benturan Dua Dunia” (Kakilangit Nomor 160, April 2010, hlm. 7–-8).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Proses Kreatif Achdiat K. Mihardja: “Peran Orang Tua, Pendidikan, dan Karier” (Kakilangit Nomor 160, April 2010, hlm. 9–-10).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Riwayat Hidup Pengarang Achdiat K. Mihardja (1911--...?): “Perjalanan Seorang Intelektual” (Kakilangit Nomor 160, April 2010, hlm. 11–-12).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Ulasan Puisi: “Zaman Edan, Zaman Penuh Kutukan” (Kakilangit Nomor 161, Mei 2010, hlm. 6–-8).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Proses Kreatif: “Belajar dari Lingkungan dan Pengalaman Hidup” (Kakilangit Nomor 161, Mei 2010, hlm. 9–-10).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Riwayat Hidup Pengarang Ronggowarsito (1802—1873): “Pujangga Pamungkas Sastra Jawa Klasik” (Kakilangit Nomor 161, Mei 2010, hlm. 11–-13).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Ulasan Cerpen: “Ketabahan Seorang Anak Ketika Ditinggal Mati Ibunya” (Kakilangit Nomor 163, Juli 2010, hlm. 6–-8).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Proses Kreatif: “Pengalaman Hidup Sebagai Sumber Cerita” (Kakilangit Nomor 163, Juli 2010, hlm. 9–-10).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Riwayat Hidup Pengarang Lukman Ali (1931—2000): “Guru yang Pakar Bahasa dan Sastra” (Kakilangit Nomor 163, Juli 2010, hlm. 11–-2).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Zaman Edan: Derajat Negara Suram” (Prosiding Workshop Forum Peneliti Dilingkungan Kemendiknas, Yogyakarta, 3—5 Maret 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementrian Pendidikan Nasional, 2010, hlm. 563—578)</span></li>
</ol><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></div><div style="color: blue; font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b><span style="font-size: small;">5. Laporan Penelitian/Modul yang Tidak/Belum Terbit</span></b></div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></div><ol><li><span style="font-size: small;">“Pengantar Teori dan Studi Kesusastraan” (Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 1989/1990)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Analisis Sajak-Sajak Sapardi Djoko Damono” (Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 1990/1991)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Biografi Pengarang Mahatmanto dan Karyanya” (Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 1993/1994)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Analisis Struktur dan Tematik Sajak-sajak Mahatmanto” (Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 1994/1995)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Analisis Sajak-sajak dalam Majalah Mimbar Indonesia 1950–1954" (Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 1995/1996)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Analisis Sajak-sajak dalam Majalah Horison 1966–1970" (Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 1996/1997)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Pandangan dan Karya Sastrawan Motinggo Busye” (Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2002)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Sastra Keagamaan dan Perkembangan Sastra Indonesia Modern: Puisi 1945–1965.” (Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2003)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Mitologi Melayu dalam Puisi Indonesia Modern” (Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2004)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Modul Kuliah “Kritik Sastra” (Fakultas Sastra Universitas Nasional, Jakarta, 2005)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Modul Kuliah: “Berbahasa Indonesia dengan Santun, Benar, dan Baik” (Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara, Jakarta, 2009)</span></li>
</ol><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></div><div style="color: blue; font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b><span style="font-size: small;">6. Makalah Disampaikan dalam Berbagai Pertemuan</span></b></div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></div><ol><li><span style="font-size: small;">“Kritik Sastra Pada Puisi-Puisi Kontemporer” (Makalah disampaikan dalam Sarasehan Hari Sastra, Himpunan Mahasiswa Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 28 April 1984).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Puisi-puisi Indonesia 1980-an dan Kecenderungannya” (Makalah disampaikan dalam Dialog Penyair Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 7–8 No-vember 1989).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Penelitian Sastra dengan Menggunakan Angket” (Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, 8 Juni 1991).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Berbagai Isu Tentang Pengajaran sastra di Sekolah” (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS) IV Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia, HISKI, Bandung-Lembang, 12–15 Desember 1991).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Pengajaran Apresiasi Puisi di SMP Kurikulum 1984" (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS) V Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia, HISKI dan Universitas Pakuan, Bogor, 15–17 Desember 1992).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Analisis Masalah Upacara, Aliran, dan Pikiran Utama dalam Lakon Sandyakala Ning Majapahit Karya Sanusi Pane” (Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, 10 Juli 1993).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Hakikat dan Fungsi Studi Sastra” (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS) VI Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia, HISKI Komda Yogyakarta, Kaliurang-Yogyakarta, 12–16 Desember 1993).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Refleksi Kekuasaan dan Ideologi dalam Kesusastraan” (Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Bahasa, Sastra, dan Ideologi, HISKI Komda Jakarta dan Universitas Nasional, Jakarta, 18 Mei 1996).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Sastra Marginal dalam Peta Sejarah Kesusastraan di Indonesia” (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS) VII Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia, HISKI Pusat, Parung-Bogor, 3–5 September 1996).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“IPTEK Itu Bermula dari Mitos: Mengenal Sajak-Sajak Sapardi Djoko Damono” (Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia VI, Himpunan Pembina Bahasa Indonesia, HPBI Pusat, Bandung, 12–15 Desember 1996).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Si Elok Selandang Dunia Sabai Nan Aluih: Citra Tokoh Wanita dalam Drama Sabai Nan Aluih Karya Tulis Sutan Sati” (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS) VIII Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia, HISKI Komda Padang, Padang, 12–14 Desember 1997).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Promosi Kepariwisataan Indonesia dalam Puisi” (Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia VIII, Himpunan Pembina Bahasa Indonesia, HPBI Pusat dan Unes, Semarang, 21–23 Juli 1998).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Asmaradana: Matra Puisi Jawa Klasik dan Pengaruhnya Terhadap Puisi Nasional” (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS) IX Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia, HISKI Komda Semarang, Bandungan, 22–24 Oktober 1998).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Kedudukan dan Fungsi Bahasa Daerah dalam Sastra Indonesia” (Makalah disampai-kan dalam Kongres Linguistik Nasional IX, MLI Pusat, Padepokan Pencak Silat, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, 28–31 Juli 1999).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Pengajaran Sastra di Sekolah dan Tantangan Abad yang Akan Datang” (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS) X Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia, HISKI Pusat dan Pusat Bahasa, Jakarta, 18–20 Oktober 1999).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Pelanggaran HAM dan Penyalahgunaan Kekuasaan” (Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Sastra dan HAM, HISKI Komda Jakarta dan Universitas Indonesia, Depok, 29 April 2000).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Pegajaran Sastra dalam Era Globalisasi” (Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia X, Himpunan Pembina Bahasa Indonesia, HPBI Pusat dan Pusat Bahasa, Jakarta, 27–29 September 2000).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Kekuasaan, Ideologi, dan Politik dalam Dunia Kesusastraan” (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS) XI Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia, HISKI Komda Surakarta, 2–3 Oktober 2000).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Sumbangan Sastra Jawa dalam Menghadapi Zaman Edan” (Makalah disampaikan dalam Kongres Bahasa Jawa III. Pemda DIY, Yogyakarta, 15–21 Juli 2001).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Kabar Yang Bertolak dari Realitas: Politik dan Gerakan Mahasiswa dalam Sajak-Sajak Taufiq Ismail” (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia XXIII, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 9–10 Oktober 2001).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Sastra Indonesia dalam Pluralisme Budaya” (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS) XII Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia, HISKI Komda Sumatera Utara, Medan, 5–7 November 2001).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Wacana Desentralisasi dalam Sastra: Wacana Tinggallah Wacana” (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Daerah (PILDA) dan Musyawarah Daerah (MUSDA) HISKI Komda DKI, Universitas Nasional, Jakarta, 3 Agustus 2002).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Wacana Desentralisasi dalam Sastra: Persoalan Politis atau Persoalan Sastra” (Ma-kalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS) XIII Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia, HISKI Yogyakarta dan Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 8–10 September 2002).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Pluralisme Budaya dalam Sastra Indonesia Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia” (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia XXIV, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Tawangmangu-Solo, 15–16 Oktober 2002).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Estetika Kasunyatan dalam “Serat Warisan Langgeng” Karya R. Soenarto Merto-wardojo” (Makalah disampaikan dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusan-tara VII, Manassa dan Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 28–30 Juli 2003).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Pengembangan Teori Sastra Bangesgresem: Sebuah Alternatif Teori Sastra Lokal Genius” (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS) XIV Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia, HISKI Pusat dan Fakultas Sastra Univer-sitas Airlangga, Hotel Santika, Surabaya, 26–28 Agustus 2003).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Multikulturalisme Sastra Indonesia Modern Memantapkan Peran Sastra Indonesia Modern dalam Mengahadapi Budaya Global” (Makalah dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII, Jakarta, 14–17 Oktober 2003, Kelompok B, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 1–20)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">“Pembelajaran Apresiasi Sastra Berbasis Kompetensi” (Makalah disampaikan dalam “Seminar Nasional Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Aula Universitas Nasional, Jakarta, 19–20 Maret 2004).</span></li>
</ol><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></div><div style="color: blue; font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b><span style="font-size: small;">7. Artikel dan Esai dalam Buku Antologi</span></b></div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></div><ol><li><span style="font-size: small;">Dendy Sugono dan Suladi (editor). 2000. Kiprah HPBI 2000: Bahasa Indonesia, Negara, dan Era Globalisasi (Jakarta: HPBI-Pusat).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Soediro Satoto dan Zainuddin Fanani (editor). 2000. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan (Surakarta: Muhammadiyah University Press).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Sujarwanto dan Jabrohim (editor). 2002. Bahasa dan Sastra Indonesia Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI. Yogyakarta: Panitia PIBSI XXIII, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan Gama Media.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">B. Trisman et al (editor). 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indo-nesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">T.Cristomy dan Untung Yuwono (penyunting). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Ibnu Wahyudi (editor). 2004. Menyoal Sastra Marginal. Jakarta: Wedatana Widya Sastra dan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia Pusat.</span></li>
</ol><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-78147213198014400202010-02-05T20:38:00.000+07:002010-02-05T20:38:16.981+07:00Sastrawan Kalteng dalam Peta Sastra Nasional<div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">BEBERAPA hari yang lalu, akhir bulan Juli 2008, saya membaca sepintas tulisan Saudara Udo Z. Karzi di internet. Awalnya saya membuka blog yang ditulis Udo dengan bahasa daerah, dan saya kurang paham dengan bahasa daerah apa. Hal itu tidak saya hiraukan karena saya kurang paham dan tidak mengerti makna bahasa daerah itu. Lalu, awal bulan Agustus 2008 saya membaca lagi tulisan Saudara Udo yang bertajuk “Dicari Sastra(wan) Kalteng” lewat <span style="font-style: italic;">cabiklunik.blogspot.com</span> yang bersumber dari surat kabar <span style="font-style: italic;">Borneonews</span>, Senin, 4 Agustus 2008, lalu timbul hasrat saya untuk sedikit memberi informasi tentang keberadaan sastrawan Kalteng dalam peta sastra nasional kita.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketika temu sastra Majelis Sastera Asia Tenggara di Palangkaraya, Senin, 14 Juli 2008, yang lalu saya mengatakan kepada media bahwa “aktivitas sastra di Kalimantan Tengah sepi”. Hal ini apabila dibandingkan dengan provinsi tetangga sesama Kalimantan, yaitu Kalimantan Selatan atau Kalimantan Timur. Sastrawan Kalimantan Tengah yang hingga kini telah mengorbit secara nasional hanya ada tiga, yaitu Fridolin Ukur (asal Tamiang Layang, Kabupaten Barito Timur), Haji Ahmad Badar Sulaiman Usin, lebih dikenal dengan nama HABSU (asal Pulang Pisau), dan J.J. Kusni (asal Kasongan, Kabupaten Katingan). Apa dan siapa ketiga tokoh sastrawan Kalteng tersebut, silakan membuka laman Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, dengan alamat: www.balaibahasaprovinsikalteng.org, lalu klik Tokoh.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dua dari tiga sastrawan asal Kalteng itu kini telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, yaitu Fridolin Ukur dan HABSU. Sementara J.J. Kusni yang juga memiliki nama samaran K. Sulang, telah lama meninggalkan Indonesia dan kini bermukim di Perancis. Mereka bertiga muncul dan diorbitkan oleh H.B. Jassin sebagai Angkatan 66. Tentu karya-karya mereka dapat ditemukan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Selain ada di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, karya-karya mereka juga dapat ditemukan di dokumentasi sastra Korrie Layun Rampan, di Bekasi, dan dokumentasi ini akan dipindahkan oleh Korrie ke Samarindra, Kalimantan Timur.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketika E.U. Kratz dari School of Oriental and African Studies (SOAS) London meregistrasi karya-karya sastra Indonesia yang terdapat di majalah dan surat kabar, yang kemudian diterbitkan dalam buku A Bibliography of Modern Indonesian Literature in Journals (1988), hanya tercantum dua nama dari Kalimantan Tengah, yaitu Edmond Sawong dan K.Sulang (nama samaran J.J. Kusni). Hal ini kita maklumi bahwa yang dicatat oleh Kratz terbatas pada majalah yang sampai ke London atau terbatas yang ada di PDS H.B. Jassin sampai tahun 1970-an. Padahal, apabila kita telusuri ke surat kabar nasional atau lokal hingga tahun 2000-an, tentu banyak nama para sastrawan Kalimantan Tengah yang ada, separti Abdul Fatah Nahan, Kurnia Untel (Buntok, Muara Teweh), Alimul Huda, Dafi Fadjar Rahardjo, Elsy Suarni, Suyitno BT, Sandi Firly (Kuala Pembuang, Seruyan), Dedy Setiawan (Sukamara), Agung Catur, Luthfi, Makmur Anwar, Supardi, Pahit S. Narratoma, Lukman Hakim Siregar, dan Bajik Rubuh Simpei.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Untuk mengangkat sastra(wan) Kalimantan Tengah mengorbit ke pentas sastra nasional akhir-akhir ini Korrie Layun Rampan menawarkan partisipasi Kalteng ikut dalam Dialog Borneo-Kalimantan 2009 di Samarindra, Kalimantan Timur. Ajakan ini disambut baik oleh teman-teman sastrawan Kalimantan Tengah yang tergabung dalam Ikatan Sastawan Sastra Indonesia (ISASI) Kalimantan Tengah untuk mengikuti kegiatan itu dengan cara mengumpulkan cerpen, puisi, fragmen novel, esai, dan kritik sastra ke alamat Korrie Layun Rampan, Pemimpin Redaktur Koran Sentawar Pos, Karang Rejo RT III Kampung Sendawar 75576, Kecamatan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Selain itu, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pada akhir-akhir ini untuk menyemarakkan Tahun Bahasa 2008, juga melakukan kegiatan pemasyarakatan apresiasi sastra agar Kalteng dikenal secara nasional maupun mendunia, seperti Dialog Sastra dengan Sastrawan Danarto (Kapuas dan Palangkaraya, Maret 2008), Temu Sastra Majelis Sastera Asia Tenggara bersama sastrawan Hamsad Rangkuti (Palangkaraya, Juli 2008), Bedah Buku Kumpulan Cerpen karya Sandi Firly (Palangkaraya, Mei 2008), Seminar Apresiasi Sastra (Palangkaraya, Februari dan April 2008), Bengkel Penulisan Cerpen (Tamiang Layang dan Buntok, April dan Mei 2008), Bengkel Musikalisasi Puisi (Sampit dan Buntok, Mei dan Juli 2008), Siaran Tebaran Sastra di RRI Palangkaraya yang diasuh oleh Makmur Anwar setiap Minggu malam, Lomba Baca Puisi Guru SD se-Kalteng (Palangkaraya, Agustus 2008), Lomba Musikalisasi Puisi Siswa SLTA se-Kalteng (Palangkaraya, Agustus 2008) pemenang pertama dikirim ke tingkat nasional di Jakarta (Oktober 2008), Sayembara Cipta Cerpen Remaja Tingkat Kalimantan Tengah 2008 (sepuluh nominasi diikutsertakan ke tingkat Nasional di Jakarta), Sayembara Cerita Rakyat Kalimantan Tengah 2008, dan penulisan Ensiklopedia Sastra Indonesia dan Daerah di Kalimantan Tengah yang akan diterbitkan bersamaan dengan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta pada Oktober 2008, serta penghargaan Tokoh Sastra 2008.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sepinya aktivitas sastra di Kalimantan Tengah ada berbagai penyebab, antara lain, media massa lokal tidak memberi tempat untuk memublikasikan karya-karya mereka. Para pengusaha media massa lokal menganggap sastra tidak bernilai ekonomis, lebih baik memuat iklan, pengumuman lelang, berita kegiatan para pejabat yang sering memberi donatur pada mereka, dan kegiatan pariwara yang lain agar pengusaha media massa memperoleh keuntungan secara ekonomis. Kami tidak sampai berpikiran tentang kaya miskin, materialistis, penduduk Kalteng seperti pikiran Udo Z. Karzi dalam tulisannya di <span style="font-style: italic;">Borneonews</span> itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tidak ada hubungannya permintaan kami agar media massa berkenan membuka rubrik seni budaya dan sastra di media massa dengan kehidupan masyarakat miskin di Kalimantan Tengah. Oleh karena itu, saya mengharapkan agar media massa, cetak maupun elektronik, lokal dan nasional, sudi kiranya membuka ruangan seni budaya, khususnya sastra(wan) Kalteng dalam satu minggu sekali. Ini semata-mata untuk memajukan peradaban bangsa, mempertinggi budi pekerti bangsa agar lebih bermartabat, dan tetap bersatu dalam pertahanan budaya dan nilai-nilai luhur budaya bangsa, serta Kalimantan Tengah dikenal secara nasional dan internasional.</div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-66672470084540144462010-02-05T20:27:00.000+07:002010-02-05T20:27:33.075+07:00Upaya Pembinaan dan Pengembangan Sastra di Kalteng 2008<span style="font-size: small;"></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">TAHUN 2008 ditetapkan sebagai Tahun Bahasa karena bertepatan dengan 100 tahun (satu abad) kebangkitan nasional, 80 tahun (10 windu) Sumpah Pemuda, dan 60 tahun Pusat Bahasa berkiprah dalam bidang kebahasaan dan kesastraan untuk lebih memartabatkan bangsa melalui jalur bahasa. Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pun kini sudah berumur satu windu atau delapan tahun, mulai operasional tahun 2000 dengan nama Kantor Bahasa Palangkaraya, bersama masyarakat Kalimantan Tengah membangun bangsa yang lebih beradab dan bermartabat melalui pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra, Indonesia dan Daerah, di Provinsi Kalimantan Tengah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dalam rangka menyemarakkan Tahun Bahasa 2008, hari ulang tahun ke-63 Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (17 Agustus 1945—17 Agustus 2008), dan 51 tahun Provinsi Kalimantan Tengah, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah menggelar berbagai kegiatan kebahasaan dan kesastraan di di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah pada sepanjang tahun 2008 ini. Kegiatan kebahsaan dan kesastraan ini dinamai “Semarak Tahun Bahasa 2008: Merdeka! dan Merdeka!”.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tujuan diadakan kegiatan ini adalah untuk membangkitkan minat masyarakat Kalimantan Tengah terhadap kegiatan kebahasaan dan kesastraan, meningkatkan apresiasi dan kreativitas masyarakat Kalimantan Tengah dalam pembelajaran bahasa dan sastra, menumbuhkan-kembangkan sikap positif, bangga, dan rasa cinta dengan bahasa dan sastra milik sendiri, serta memupuk rasa solidaritas untuk semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dalam mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tema kegiatan ini adalah “Melalui pembelajaran bahasa dan sastra, Indonesia dan Daerah, kita tingkatkan minat baca masyarakat Kalimantan Tengah dalam rangka menyemarakkan Tahun Bahasa 2008 dan sekali Merdeka! tetap Merdeka!”.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sepanjang tahun 2008 Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah telah melakukan kegiatan kebahasaan dan kesastraan. Diawali tahun 2008 Balai Bahasa melaksanakan temu sastrawan Kalimantan Tengah untuk bersama-sama membicarakan tawaran Korrie Layun Rampan agar berperan serta dalam Dialog Sastarawan Kalimantan-Borneo di Samarindra tahun 2009. Para anggota Ikatan Sastrawan Kalimantan Tengah (ISASI) yang diketuai oleh Drs. Supardi akan ikut aktif dalam kegiatan tersebut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Untuk menghidupkan kegiatan Forum Bahasa Media Massa (FBMM) Kalimantan Tengah dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Kalimantan Tengeh, Balai Bahasa pun ikut berperan serta dalam kegiatan diskusi kebahasaan yang diselenggarakan di kantor Redaksi Kalteng Pos, 16 Februari 2008 dan 9 Juni 2008. Diskusi yang pertama disiarkan secara langsung oleh Radio KPFM selama dua jam. Diskusi kebahasaan yang kedua di selenggarakan di RRI Palangkaraya, Sabtu, 19 April 2008, dan sekaligus disiarkan secara langsung selama dua jam. Kegiatan lain adalah Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) terhadap 85 wartawan yang mengikuti Karya Latihan Wartawan (KLW) di Sampit, 30 Maret 2008, serta Seminar Bahasa Media Massa di Palangkaraya pada hari Senin, 9 Juni 2008, dengan mendatangkan Kepala Pusat Bahasa, Dr. Dendy Sugono, Ketua FBMM Pusat, TD Asmadi, dan Kepala Kantor Bahasa Kalimantan Timur, Drs. Pardi, M.Hum., serta pembicara dari Universitas Palangkaraya, Drs. H. Lukman Hakim Siregar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pun sangat peduli terhadap pembinaan, pengembangan, pemeliharaan, dan pelestarian bahasa Daerah. Untuk keperluan ini Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah juga telah menggelar Seminar Nasional Bahasa Dayak di Palangkaraya pada tanggal 10 Juni 2008 dengan menghadirkan pembicara Drs. Hardy Rampay, M.Si., Dr. Arnosianto M. Mage, M.A., Dr. Petrus Poerwadi, M.S., dan Drs. Yohanes Kalamper. Hasil seminar ini merekomendasikan untuk diadakan Kongres Bahasa Dayak secara internasional di Palangkaraya pada tahun 2009 atau 2010 yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Untuk meningkatkan mutu pengguna bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama bahasa persuratan dan tata dinas, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah juga telah melaksanakan penyuluhan Bahasa Indonesia kepada masyarakat Kalimantan Tengah, yang diikuti oleh guru-guru nonbahasa dan kepala tata usaha sekolah dan kepala tata usaha dinas kabupaten, di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, 27—29 Maret 2008, dan di Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, 12—14 Mei 2008. Untuk penyegaran Bahasa Indonesia para pejabat di lingkungan pemerintah provinsi dan kabupaten, dimulai dari pejabat eselon IV dan III, dan pemayarakatan Bahasa Indonesia untuk pelaku pembuat reklame, papan nama, spanduk, baliho, dan media ruang publik, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah telah merencanakan kegiatan ini dengan Biro Kesra Pemda Provinsi Kalteng yang diwakili oleh Kepala Bagian Bina Sosial Pemda Prov. Kalteng pada tanggal 16—17 Juli 2008 di Jakarta.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Selain penyuluhan Bahasa Indonesia, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2008 ini juga melaksanakan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) kepada guru, karyawan, siswa SMK di kota Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, 12 April 2008, dan di Kabupaten Sukamara, 23 Juli 2008, serta para peserta pemilihan Duta Bahasa dan Duta Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2008, pada tanggal 20 Mei 2008 di Aula Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah. Para peserta pemilihan duta bahasa dan duta pariwisata ini juga dibekali keterampilan berbahasa Indonesia, berbahasa daerah, dan juga berbahasa Inggris agar mampu mengemban tugas dan misinya memperkenalkan Kalimantan Tengah di dunia internasional.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pembinaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan nasional tidak hanya kepada masyarakat pribumi atau warga negara Republik Indonesia, tetapi juga bagi para penutur asing. Para turis manca negara dan pekerja asing pun perlu mendapatkan pembinaan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah juga menyosialisasikan dan mengembangkan Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) kepada masyarakat dan calon pengajar BIPA di Palangkaraya, 1 April 2008, dan di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, 25 Juni 2008.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dalam upaya meningkatkan mutu apresiasi siswa dan guru bahasa Indonesia SLTP dan SLTA, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah tidak tinggal diam di tempat. Bersama beberapa sastrawan Kalimantan Tengah kami bekerja sama menyelenggarakan “Bengkel Penulisan Kreatif Cerita Pendek Remaja” di Tamiang Layang, Kabupaten Barito Timur, tempat kelahiran sastrawan nasional Fridolin Ukur, pada tanggal 2—4 April 2008, dan di Buntok, Kabupaten Barito Selatan, 14—15 Mei 2008. Tidak hanya bengkel penulisan kreatif cerita pendek remaja, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah juga menyelenggarakan “Bengkel Musikalisasi Puisi” bagi siswa SLTP dan SLTA dan juga gurunya, di Buntok, Kabupaten Barito Selatan, 28—29 Juli 2008.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sementara itu, untuk meningkatkan mutu apresiasi sastra masyarakat Kalimantan Tengah, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah bekerja sama dengan MGMP Bahasa Indonesia SMK Kota Palangkaraya menyelenggarakan Seminar Apresiasi Sastra yang Menyenangkan dan Inovatif, di Palangkaraya, Sabtu, 16 Februari 2008, diikuti lebih dari 300 guru, mahasiswa, dan sastrawan, serta menyelenggarakan Dialog Sastra bersama sastrawan sufistik Danarto, di Kuala Kapuas, 19 Maret 2008 dan di Palangkaraya, 20 Maret 2008 yang diikuti lebih dari 100 orang peminat sastra.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Masih bekerja sama dengan MGMP Bahasa Indonesia SMK Kota Palangkaraya, ditambah dengan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) FKIP Universitas Palangkaryara, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah menyelenggarakan bedah buku kumpulan cerpen Perempuan yang Memburu Hujan karya sastrawan asal Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, Sandi Firly, pada tanggal 7 Mei 2008 yang dilanjutkan debat seru dengan para peserta bedah buku.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pun ikut juga memeriahkan Seminar Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Kesastraan yang diselenggarakan oleh FKIP Universitas Palangkaraya, dalam memeriahkan hari Chairil Anwar, 28 April 2008, yang diikuti peserta lebih dari 450 orang, dengan pembicara Drs. Puji Santosa, M.Hum., dan Dr. Petrus Poerwadi, M.S., serta moderator Drs. Lukman Hakim Siregar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pembinaan peningkatkan apresiasi sastra bagi masyarakat Kalimantan Tengah terus kami upayakan. Beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 14 Juli 2008, kami selenggarakan Temu Sastra Majelis Sastera Asia Tenggara bersama sastrawan nasional Hamsad Rangkuti. Dalam temu sastra ini juga kami hadirkan sastrawan karungut dari Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Kurnia Untel. Kegiatan ini diikuti lebih dari 150 orang dan diliput oleh berbagai media massa lokal dan nasional.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kegiatan lomba dan sayembara pun kami laksanakan guna meningkatkan mutu apresiasi sastra masyarakat Kalimantan Tengah pada tahun 2008 ini. Beberapa kegiatan lomba dan sayembara tersebut adalah sebagai berikut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sayembara Penulisan Cerita Rakyat Kalimantan Tengah Tahun 2008. Sayembara cerita rakyat ini bertujuan menggali potensi budaya nilai-nilai kearifan lokal (lokal genius) Kalimantan Tengah. Kegiatan ini hanya diikuti 18 peserta dengan Juri Abdul Fatah Nahan (penulis cerita rakyat), Dr. Petrus Poerwadi, M.S. (pakar cerita rakyat Kalimantan Tengah), dan Dra. Nani Setiawati, M.Si. (penulis nasional cerita rakyat Kalteng). Ketiga juri tersebut memutuskan cerita rakyat: “Anggir Sarangga” karya Janang memenangkan hadiah Harapan III, “Bawi Kambang dan Bawi Ranjau” karya Yuni Sri (SMP PGRI) memenangkan hadiah Harapan II, “Leniri” karya Nisa Noorlela (SMAN 2 Pahandut) memenangkan hadiah Harapan I, “Indu Mien” karya Mega Melita T (SMAN 1 Pahandut) memenangkan hadiah ke-3, “Liang Saragi” karya Dwi Jelita Natalya Saragi (SMP Katolik Santo Paulus) memenangkan hadiah ke-2, dan cerita rakyat “Legenda Desa Mintin” karya Tri Arfayanti, S.Pd. (MTsN 1 Model Palangkaraya) memenangkan hadiah pertama. Karya para pemenang lomba ini semua dikirimkan ke Jakarta untuk mengikuti kegiatan sejenis pada tingkat nasional.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sayembara Cipta Cerpen Remaja Se-Kalimantan Tengah tahun 2008 bertujuan menggali potensi kreatif remaja dalam menyalurkan bakat dan prestasinya dibidang kebahasaan dan kesastraan. Kegiatan ini diikuti oleh 38 peserta dengan juri Drs. Supardi, Elsy Suarni, S.Pd., dan Pahit S. Narattama, S.Hut., memutuskan sepuluh nominasi cerpen remaja terbaik se-Kalimantan Tengah. Adapun kesepuluh cerpen terbaik tingkat Kalimantan Tengah itu adalah “Bujang Si Anak Desa” karya Pratiwi Indah Surya Meida (SMAN 3 Jekanraya), “Liku-Liku Emosional Seorang Guru” karya Tri Yuni (SMAN 3 Jekanraya), “Lentera Terakhir” karya Nurul Hatimah (SMAN 3 Jekanraya), “Pertemuan Terencana” karya Rakhmawati Aulia (SMAN 3 Kuala Kapuas), “Misteri Dompet Kita” karya Ridha Mawadah (SMAN 1 Tamiang Layang), “Keputusan Terbaik” karya Bela Santa Rossi (SMAN 1 Tamiang Layang), “Gita Cinta dan Cita” karya Normantie (SMAN 1 Pahandut), “Kembar Pengantin” karya Evie Novitasari (SMAN 1 Pahandut), “Inilah Hidupku” karya Oktavina (SMAN 1 Pahandut), dan “Bunga untuk Mama” karya Sheilla Marlyana (MTsN Buntok). Kesepuluh cerpen tersebut akan diikutkan kegiatan yang sama di tingkat nasional, yakni dikirim ke Jakarta mengikuti sayembara sejenis.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kepada semua pemenang sayembara tulis-menulis tersebut saya harapkan betul-betul sebagai karya asli mereka sendiri, bukan saduran, jiplakan, atau plagiator. Dari Panitia Sayembara Penulisan Cerita Rakyat tersebut saya peroleh laporan ada peserta yang mengirimkan ceritanya bukan karya aslinya sendiri, karya orang lain yang diaku miliknya. Kebetulan jurinya membaca dan itu adalah karya dari salah satu juri, Bapak Abdul Fatah Nahan. Tentu perbuatan ini sangat tercela, tidak terpuji, dan jangan sampai terulang lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lomba Baca Puisi Guru SD diadakan di Aula Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 12—13 Agustus 2008. Pesertanya adalah guru SD se-Kalimantan Tengah, dan diikuti oleh 35 orang peserta. Dewan Juri yang diketuai oleh Drs. Makmur Anwar M.H. dengan anggota Elsy Suarni, S.Pd., dan Suyitno B.T. memutuskan Alfisyah (MIN Model Pahandut Palangkaraya) sebagai pemenang Harapan III, Mudjiasri, A.Ma. (SDN 8 Palangka) sebagai pemenang Harapan II, Suryo Sulistianto (SD Katolik Santa Don Bosco Palangkaraya) sebagai pemenang Harapan I, Ernawati, S.Ag. (MIN Model Pahandut Palangkaraya) sebagai pemenang III, Sumiatun Hartini, S.Pd. (MIN Model Pahandut Palangkaraya) sebagai pemenang II, dan Abdullah T., S.Ag. (MIN Langkai Palangkaraya) sebagai pemenang pertama. Penilaian juri meliputi penghayatan (40%), penampilan (30%), dan vokal (30%). Seluruh peserta lomba baca puisi guru SD ini juga akan dibekali pengetahuan tentang penulisan esai pengajaran bahasa dan sastra untuk mengikuti lomba di Jakarta dan penulisan puisi siswa SD oleh Kepala Balai Bahasa Kalteng.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lomba Musikalisasi Puisi Siswa SLTP dan SLTA diadakan pada tanggal 19—20 Agustus 2008. Pesertanya adalah siswa SLTP dan SLTA se-Kalimantan Tengah yang diikuti oleh 13 kelompok musikalisasi. Dewan Juri yang diketuai oleh Dafi Fajar Rahardjo, S.Sn., dengan anggota Agung Catur Prabowo, M.Hut., dan M. Alimulhuda (sastrawan dan pekerja seni teater), memutuskan kelompok musikalisasi: “Muzika” SMAN 3 Jekanraya memenangkan Harapan III, “Fana Ferias” MTs Model Palangkaraya memenangkan Harapan II, “D’Best One” SMPN 2 Pahandut memenangkan Harapan I, “Mandera” MAN Model Palangkaraya memenangkan hadiah ke-3, “Penyang” SMAN 2 Jekanraya memenangkan hadiah ke-2, dan “Zukatair” SMAN 2 Pahandut memenangkan hadiah Pertama. Pemenang Pertama Lomba Musikalisasi Tingkat Provinsi Kalimantan Tengah ini berhak menjadi duta Kalimantan Tengah dan akan dikirim ke tingkat nasional untuk mengikuti Festival Musikalisasi Puisi Tingkat Nasional pada tanggal 22—24 Oktober 2008 di Jakarta.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kepada seluruh pemenang sayembara dan lomba kami ucapkan selamat atas prestasi yang diraihnya. Pada hari Rabu dan Kamis, 27—28 Agustus 2008 seluruh pemenang diundang ke Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah untuk menerima hadiah dan tampil dihadapan para hadirin menyampaikan buah karya yang diraihnya. Kami hanya dapat memberi penghargaan berupa Piagam Penghargaan, Piala, Buku-buku terbitan Pusat Bahasa, dan uang pembinaan ala kadarnya. Kami juga mengharapkan kepada semua pemenang untuk tetap dan terus berkarya dan berkarya menunjukkan prestasinya. Jangan hanya berhenti sampai di sini. Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah hanya memacu dan mendorong kreativitas, semangat berkarya, dan berprestasi yang lebih unggul dan lebih baik lagi, syukur-syukur hingga jenjang nasional ataupun internasional.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Penghargaan Tokoh Kebahasaan dan Kesastraan diberikan oleh Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2008 ini kepada tokoh masyarakat Kalimantan Tengah yang berjasa terhadap pengembangan dan pembinaan bahasa dan sastra di Kalimantan Tengah. Penghargaan ini semata-mata diberikan kepada tokoh berdasarkan: hasil karya kebahasaan dan kesastraan, kuantitas karya, kualitas karya, konsistensi dan komitmen dalam bidangnya, aktivitasnya dalam mengembangkan bahasa dan sastra, baik sastra Indonesia maupun sastra Daerah di Kalimantan Tengah, serta kharisma yang dimiliki tokoh tersebut. Sebagai ucapan syukur dan rasa terima kasih Balai Bahasa Kalteng kepada tokoh yang turut serta membantu pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra di Kalimantan Tengah perlu diberi penghargaan ini. Tokoh penerimaan penghargaan dari Balai Bahasa Kalteng ini diminta memberikan orasi/pidato penerimaannya pada pembukaan Puncak Acara Semarak Tahun Bahasa 2008 dalam Pekan Bahasa dan Sastra 2008 yang diadakan pada tanggal 27 Agustus 2008. Kedua tokoh yang berhak menerima penghargaan dari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah ini adalah Prof. H.K.M.A.M. Usop, M.A. dan Drs. Makmur Anwar M.H.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pekan Bahasa dan Sastra 2008 adalah salah satu kegiatan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah dalam rangka menyemarakkan Tahun Bahasa 2008. Kegiatan ini dilaksanakan di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Jalan Tingang Km 3,5, Palangkaraya, pada tanggal 27—28 Agustus 2008. Dalam Pekan Bahasa dan Sastra 2008 ini ditampilkan: (1) Orasi/pidato kebahasaan/kesastraan oleh dua tokoh penerima Penghargaan Kebahasaan dan Kesastraan 2008 dari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, (2) Pembacaan Cerita Pendek Remaja hasil 10 nominasi Sayembara Cipta Cerpen Remaja 2008 Tingkat Provinsi Kalimantan Tengah, (3) Pembacaan Cerita Rakyat Kalimantan Tengah hasil pemenang Sayembara Penulisan Cerita Rakyat Kalimantan Tengah Tahun 2008, (4) Pentas Baca Puisi Guru SD hasil pemenang Lomba Baca Puisi Guru SD Tahun 2008, (5) Pentas Musikalisasi Puisi hasil pemenang Lomba Musikalisasi Puisi Siswa SLTP dan SLTA se-Kalimantan Tengah tahun 2008, dan (6) Pentas Teater dari Sanggar Teater Terapung pimpinan Saudara M. Alimul Huda dan Agung Catur Prabowo, M.Hut. Sedianya kami juga akan menyelenggarakan Parade Pidato Mahasiswa tentang “Peran Generasi Muda dalam Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra dalam Upaya Memperkokoh Kesatuan dan Persatuan Bangsa”. Pidato mahasiswa ini ditiadakan karena kegiatannya diundur pada bulan Oktober 2008.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pada bulan Oktober 2008 Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah masih menyisakan kegiatan: (1) Pidato Mahasiswa, (2) Bulan Bahasa dan Sastra di SMAN 1 Tamiang Layang, (3) Pengiriman Duta Bahasa Provinsi Kalteng ke ajang Pemilihan Duta Bahasa Tingkat Nasional, di Jakarta, (4) Pengiriman Kelompok Musikalisasi Puisi dari SMAN 1 Pahandut, Palangkaraya, ke ajang Festival Musikalisasi Puisi Tingkat Nasional, di Jakarta, (5) Pameran Kebahasaan dan Kesastraan di arena Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta, 28—1 November 2008, (6) Penulisan Ensiklopedia Sastra Kalimantan Tengah, dan beberapa penelitian dan penyusunan kebehasaan dan kesastraan Kalimantan Tengah.</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Itulah beberapa upaya yang dilakukan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah bersama-sama masyarakat membangun bangsa yang lebih beradab dan bermartabat melalui pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra, Indonesia dan Daerah, di Kalimantan Tengah. </span></div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-61846804327584657912010-02-04T07:00:00.000+07:002010-02-04T07:01:37.867+07:00Ranggawarsita dan Proses Kreatif<span style="font-size: small;"></span><br />
<div style="text-align: justify;"><meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPUJISA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPUJISA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPUJISA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:"Trebuchet MS";
panose-1:2 11 6 3 2 2 2 2 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
font-size:10.0pt;
mso-ansi-font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Proses kreatif penulisan karya-karya Ranggawarsita dimungkinkan oleh lingkungan, asal-usul keturunan, dan pengalaman hidupnya. Ranggawarsita berasal dari keluarga bangsawan Keraton Surakarta. Dari garis </span><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">keturunan </span><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">ayah, dia adalah keturunan ke-10 dari Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), pendiri kerajaan Pajang. Dari garis keturunan ibu, dia adalah keturunan ke-13 Sultan Trenggana, raja Demak ketiga. </span><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Dari Sultan Trenggana ini menurunkan Pangeran Karang Gayam, pujangga kerajaan Pajang, yang telah menulis <i>Serat Niti Sruti, </i>yakni sebuah buku sastra yang berisi ajaran tentang etika kehidupan.<o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Ranggawarsita terlahir dengan nama Bagoes Boerhan adalah putra Pangeran Pajangswara, seorang juru tulis kerajaan Surakarta</span><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">, yang biasa disebut dengan Yasadipura III</span><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">. Kakek</span><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Bagoes Boerhan adalah</span><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Raden Tumengung Sastranegara atau </span><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">biasa disebut </span><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Yasadipura II adalah seorang pujangga kerajaan yang banyak menulis karya sastra Jawa klasik, seperti <i>Sasana Sunu</i> dan <i>Wicara Keras</i>. Sementara itu, kakek buyutnya adalah Raden Tumenggung Yasadipura I, seorang pujangga besar kerajaan Surakarta yang menghasilkan karya sastra Jawa klasik, antara lain, <i>Babad Giyanti, Dew</i></span><i><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">a</span></i><i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Ruci, Panitisastra, Serat Rama</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">, dan <i>Baratayuda</i>.</span><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Dua karya terakhir disadur dalam versi Jawa dari kisah klasik <i>Ramayana</i> dan <i>Mahabharata</i>.<o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Kakek dari pihak ibu, Soedirodihardjo, adalah seorang ahli <i>tembang</i> (seni suara) dan <i>gending</i> (musik gamelan Jawa). Kakek dari pihak ibu ini adalah pemaian vokal yang ulung di zamannya dan dikenal dengan sebutan “Soedirodihardjo Gantang”. Pada waktu-waktu tertentu Pak Gantang duduk di dalam sebuah kurungan dan ditarik ke atas pohon besar di dekat bangsal istana. Dari atas pohon itulah Pak Gantang melagukan tembang-tembang yang menggema ke seluruh istana. Mereka yang mendengarkannya selalu berdecak kagum atas suara merdu mendayu Pak Gantang. Atas keahlian yang dimilikinya itu Pak Gantang mampu menghasilkan lagu khas gending Jawa yang disebut dengan <i>cengkok Palaran</i> (gaya Palaran). Nama Palaran ini diambil dari nama desa tempat Pak Gantang tinggal, yaitu Desa Palar, sekitar 30 Km arah barat daya kota Surakarta.<o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Dari garis keturunan atau asal-usul jelas tidak mengherankan apabila Bagoes Boerhan tertarik dan menekuni minatnya di dunia seni sastra. Menjelang awal abad XIX di Jawa menjadi masa-masa puncak berkembangnya genre sastra Jawa Klasik yang disebut dengan sastra Islam Kejawen. Istilah ini mengacu pada sebuah tradisi tulis yang mencoba memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam tradisi warisan Hindu-Budha yang telah dibudaya Jawa-kan. Akar tradisi Islam Kejawen, atau <i>Jawi Selam</i>, sudah ada sejak zaman kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu kerajaan Demak. Melalui jasa para wali (Wali Sanga) penyebaran agama Islam di Jawa diadaptasikan dengan kultur budaya setempat seperti dengan istrumen tembang, wayang, dan gamelan Jawa.<o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> </span><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Sejak usia 2 hingga 12 tahun</span><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Bagoes Boerhan diasuh oleh kakeknya, Tumenggung Jasadipura II, sehingga sejak usia dini sudah diperkenalkan dengan dunia tulis-menulis atau sastra. Hal ini ditunjang oleh lingkungan tempat tinggal Bagoes Boerhan yang sedang giat-giatnya mengembangkan dunia sastra. Bagoes Boerhan berada di sekitar para tokoh sastra Jawa Klasik yang menjadi pilar kesusastraan Jawa sehingga mudah mencerna dan mengembangkannya. Di bawah asuhan kakeknya, tentu secara khusus, Bagoes Boerhan dididik tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia sastra, tembang, wayang, dan kebudayaan Jawa umumnya untuk dipersiapkan menjadi tokoh sastra masa depan.<o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Pengalaman sehari-hari Ranggawarsita dalam menempuh perjalanan hidupnya banyak yang dituangkan dalam karya sastra yang ditulisnya, antara lain, <i>Serat Jayengbaya, Kalatidha</i>, dan <i>Jaka Lodhang</i>. <i>Serat Jayengbaya</i>, misalnya, adalah sebuah puisi panjang yang terdiri atas 250 bait. Dalam puisi naratif ini Ranggawarsita berkisah tentang seseorang yang sedang mencari jatidiri. Tokoh cerita ini merasa kedudukannya sekarang dalam kesusahan, yang merefleksikan atas hidupnya sendiri, dan membayangkan profesi lain yang menurutnya lebih enak, mulai dari pedagang kuda, penari, pemusik, prajurit, raja, bahkan menjadi Tuhan sekalipun. Namun, setiap kedudukannya itu, selain menawarkan kesenangan dan kenikmatan, juga mengandung resiko yang tampaknya tidak akan mampu ditanggungnya. Akhirnya, setelah direnungkan secara dalam, si tokoh memutuskan yang terbaik adalah menjadi diri sendiri.<o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Tidak hanya pengalaman hidupnya sehari-hari yang dituangkan dalam karya sastra yang ditulis Ranggawarsita, tetapi juga pesanan raja sebagai pujangga istana. Dalam hal ini Ranggawarsita menulis, antara lain, <i>Serat Paramayoga, Serat Pustaka Raja Purwa</i>, dan <i>Serat Cemporet</i>. Sastra yang ditulis itu berusaha mengangkat derajat negara dan raja melalui kisah simbolik dalam dunia wayang. <i>Serat Paramayoga</i> mengisahkan perjalanan Nabi Adam beserta kisah kehidupan para dewa, sampai kemudian tanah Jawa mulai dihuni menusia dengan kedatangan Aji Saka, dari Himalaya, India, ke tanah Jawa.<o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Buku sastra <i>Pustaka Raja Purwa</i>, merupakan kelanjutan kisah yang ada dalam <i>Serat Paramayoga</i>. Raja Aji Saka yang telah mampu menakhlukan raja Medangkamulan, Prabu Dewatacengkar hingga tenggelam di samudra selatan menjadi buaya putih, menurunkan raja-raja di tanah Jawa hingga sekarang kita kenal dalam sejarah. Dalam buku itu juga dikisahkan tentang muncul dan tenggelamnya berbagai kerajaan yang ada di Jawa. Dalam kisah raja-raja di Jawa itu juga banyak bertaburan legenda-legenda yang terjadi di tanah Jawa. Tentu saja kedua buku seperti itu dimaksudkan untuk melegitimasi kekuasaan raja-raja di Jawa dengan menciptakan mitos sebagai keturunan Nabi Adam dan para dewa, seperti kaisar Jepang sebagai keturunan Dewa Matahari (<i>Amaterasu Omikami</i>).<o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> <i>Serat Cemporet</i> ditulis Ranggawarsita atas permintaan Raja Paku Buwana IX. Dalam <i>Serat Cemporet</i> ini Ranggawarsita mengisahkan petualangan tiga orang putra raja yang tengah lari dari istana dan berguru di padepokan milik Ki Buyut Cemporet. Tentu saja kisah ini dipersembahkan kepada raja agar anak-anak raja tidak hanya tinggal bertopang dagu di istana, tetapi ke luar istana untuk berguru ilmu kanuragan atau ilmu kabatinan lainnya. Hal ini secara tersirat dilukiskan dalam petualangan ketiga anak raja yang sakti dan mampu menaklukan berbagai rintangan. Akhirnya, ketiga anak raja itu kembali ke istana memimpin negara dengan penuh kearifan.<o:p></o:p></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Ranggawarsita menulis ramalan tentang negara dan bangsa Indonesia melalui karya sastranya <i>Serat Jaka Lodhang</i>. Ramalan yang terkenal dengan istilah “Jangka Ranggawarsitan” ini mengisahkan keadaan negara yang serba kacau balau, karut marut, banyak bencana terjadi, dan penderitaan yang berkepanjangan. Suatu saat akan datang kemenangan bangsa bumi putra atas penjajahan asing, tahun yang diperkirakan adalah 1877 Saka atau awal tahun 1946 Masehi. Kenyataannya bangsa Indonesia dapat bebas, merdeka, dari penjajahan pada 17 Agustus 1945, hanya terpaut beberapa bulan dari apa yang diramalkan Ranggawarsita.</span></span></div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-39903187817684180572010-01-29T06:21:00.000+07:002010-01-29T06:21:37.496+07:00Anak Bajang Menggiring Angin<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;"></span><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Anak Bajang Menggiring Angin adalah sebuah novel yang ditulis oleh Sindhunata pada awal tahun 1980-an. Mula-mula kisah ini merupakan serial Ramayana yang dimuat setiap hari Minggu sepanjang tahun 1981 pada harian Kompas. Dengan beberapa perbaikan dan tambahan subbab, serial Ramayana ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Oktober 1983, dengan perubahan judul menjadi Anak Bajang Menggiring Angin. Penerbitkan menjadi buku ini didukung oleh Rahardjo S. sebagai lay-out, Hajar Satoto sebagai ilustrasi isi, dan Ipong Purnama Sidhi sebagai perancang gambar sampul. Sampai bulan Februari 2007 novel Anak Bajang Menggiring Angin telah memasuki cetakan kedelapan, rata-rata setiap cetakan 3.000 eksemplar.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Buku novel wayang yang ditulis Sindhunata ini terdiri atas delapan bab atau delapan episode. Setiap episode cukup ditandai dengan penulisan nama angka, dari “satu” hingga “delapan”. Tidak ada judul lain dalam setiap episode novel wayang Ramayana ini. Sebelum memasuki episode-episode itu, di dalam pendahuluan novel ini disertakan puisi sepanjang 2 halaman (9 bait), tanpa judul, dan diakhir penulisan terdapat tanda tanggal “15 Juni 1982, Sindhu, Kampung Hendrik-Batu”. Puisi panjang yang dimulai dengan kalimat “Anak bajang/menggiring angin/naik kuda sapi liar” ini dimaksudkan pengarang sebagai pengantar cerita atau prolognya.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Delapan episode yang terdapat dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin ini berkisah tentang Rama dan Dewi Sinta yang bersumber pada kisah Ramayana versi pewayangan Jawa. Kisah Anak Bajang ini dimulai dari negeri Lokapala yang semula Prabu Danareja hendak mengikuti sayembara alap-alapan Dewi Sukesi dari negeri Alengka. Numun, Begawan Wisrawa, ayahanda Prabu Danareja, mencegahnya dan dia sendirilah yang mewakili anaknya melamar Dewi Sukesi dengan mengikuti sayembara itu di Alengka. Begawan Wisrawa dapat memenangkan sayembara itu dengan membuka rahasia sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu sesuai permintaan Dewi Sukesi. Atas terbabarnya rahasia sastra jendra itu Dewi Sukesi jatuh cinta pada Begawan Wisrawa dan terjadilah hubungan suami istri. Arya Jambumangli, Paman Dewi Sukesi, marah dan melabrak Begawan Wisrawa. Namun, Arya Jambumangli dapat dikalahkan dengan mudah oleh Begawan Wisrawa hinggar terkapar di tanah dan tidak bangun lagi. Prabu Danareja di Lokapala kecewa atas perbuatan ayahnya yang merebut calon istrinya itu hingga keluar kutukannya suatu hari nanti akan bertempur dengan salah satu adik tirinya untuk melampiaskan kekecewaannya. Tidak lama kemudian lahirlah Rahwana dan adik-adiknya (Kumbakarna, Gunawan Wibisana, dan Sarpakenaka) dari rahim Dewi Sukesi yang berupa raksasa. Begawan Wisrawa menyarankan anak-anaknya, terutama Rahwana dan Kumbakarna, untuk bertapa meruwat diri memohon kasih para dewata.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Memasuki episode “Dua” dapat kita temukan kisah Resi Gotama dengan anak-anaknya Retna Anjani, Guwarsa, Guwarsi, dan istrinya, Dewi Windradi. Ketiga anak Resi Gotama rebutan cupumanik astagina yang menjadi asal-usul terjadinya para kera. Setelah Resi Gotama mengutuk istrinya, Dewi Windradi, menjadi tugu batu dan melemparkannya hingga jatuh di negeri Alengka, saat itu pula dilemparkannya cupumanik astagina ke udara yang menjadi rebutan ketiga anaknya. Di udara, cupumanik terpisah dari tutupnya. Tutup cumanik kemudian jatuh ke negeri Ayodya dan berubah menjadi telaga Nirmala. Sementara itu, cupumanik yang berisi air kehidupan jatuh di tengah hutan belantara dan berubah menjadi telaga Sumala. Guwarsa dan Guwarsi mengejar cupumanik itu dan langsung mencebur ke telaga Sumala. Seketika itu pula keduanya berubah menjadi kera dan diberi nama Sabali dan Sugriwa. Tidak lama kemudian Anjani pun datang di telaga itu lalu mengambil air telaga untuk mencuci mukanya. Seketika itu pula wajah Anjani berubah menjadi wajah kera.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Setelah mengalami peristiwa aneh itu, ketiganya segera menghadap Resi Gotama. Oleh Resi Gotama, Subali disarankan agar bertapa ngalong (seperti seekor kelelawar) di puncak gunung Suryapringga; Sugriwa juga disarankan untuk bertapa ngidang (seperti seekor menjangan) di hutan Suryapringga pula; dan Retna Anjani harus menjalani tapa nyantuka (bertapa seperti katak) di telaga Sumala. Akhirnya, Retna Anjani melahirkan Anoman, si kera putih nan sakti, dari Batara Guru. Para dewa yang lainnya pun mempunyai anak-anak kera, seperti Barata Narada mempunyai anak kera bernama Anila. Ketika di kahyangan terjadi huru-hara, Subali dan Sugriwa dapat mengalahkan Mahesasura dan Lembusura dari kerajaan Gua Kiskenda serta mendapatkan hadiah Dewi Tara dari dewa. Karena terjadi kesalah pahaman antara Subali dan Sugriwa, terjadilah perkelahian antara keduanya. Subali tampil sebagai pemenang dan segera merebut Dewi Tara serta bertahta di negeri Gua Kiskenda dengan kera-kera sebagai rakyatnya. Subali dan Dewi Tara melahirkan kera merah bernama Anggada. Sugriwa yang kalah dari Subali harus bertapa di gunung Maliawan sambil berharap datangnya keadilan.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Membuka lembaran episode “Tiga” kita jumpai cerita tentang kutukan kekek tua kepada Raja Dasarata yang telah tega memanah anak si kakek ketika sedang mencari air di sungai hingga mati. Tidak lama kemudian kelahiran putra-putra raja negeri Ayodya, Rama, Laksmana, Bharata, dan Satrugna membuat Raja Dasarata bahagia. Setelah dewasa Rama dapat memenangkan sayembara negeri Mantili dengan memboyong Dewi Sinta ke Ayodya. Di tengah perjalan dari Mantili ke Ayodya, Rama bertemu dengan Ramabargawa. Ksatria pendeta haus darah ini pun dapat ditaklukan oleh Rama dengan mematahkan gendewanya. Dengan tertaklukannya Ramabargawa itu rombongan Rama dan Sinta dapat melanjutkan perjalanan kembali ke Ayodya.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sesampainya rombongan pengantin di Ayodya, pesta perkawinan Rama dan Dewi Sinta dirayakan dengan secara meriah. Pada suatu hari ketika Rama akan dinobatkan menjadi Raja Ayodya, Dewi Kekayi tidak setuju karena Raja Dasarata pernah berjanji kalau anak yang terlahir dari rahimnyalah yang akan menjadi Raja Ayodya menggantikannya. Akhirnya, untuk memenuhi janji Raja Dasarta itu Rama dan Sinta, diikuti juga oleh Laksmana, dibuang ke hutan Dandaka selama empat belas tahun. Begitu Raja Dasarata wafat, karena sakit-sakitan setelah ditinggal Rama ke hutan Dandaka, Bharata anak Dewi Kekayi dinobatkan menjadi Raja Ayodya sebagai pengganti Rama.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Episode “Empat” mengisahkan Rama yang diikuti Laksmana dan Dewi Sita berada di hutan Dandaka. Berbagai rintangan dan cobaan, terutama datang dari raksasa-raksasa Alengka, silih berganti mengganggu ketenteraman Rama dan Sinta. Suatu hari, Sarpakenaka menggoda Laksmana yang sedang sendirian di hutan. Laksmana yang digoda dan dirayu itu marah dengan memangkas hitung Sarpakenaka. Raksasa perempuan itu menjerit kesakitan dan segera lari terbang mengadu ke suaminya, Karadursana dan Trimurda. Setelah mendapat aduan dari istrinya, dua raksasa pemarah itu segera melabrak Laksmana di hutan Dandaka. Dengan garangnya kedua raksasa itu menyerang Laksmana. Namun, dengan tangkas dan sigapnya Laksmana dapat melawan kedua raksasa itu hingga akhirnya Karadursana dan Trimurda tersungkur ke tanah mati diterjang anak panah yang dilepaskan oleh Laksmana.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sarpakenaka yang telah dipermalukan oleh Laksmana itu pun segera terbang ke Alengka mengadu kepada kakaknya, Rahwana. Setelah mendengar aduan dan cerita Sarpakenaka, Rahwana tertarik untuk menculik istri Rama, Dewi Sinta, dari hutan Dandaka. Kalamarica, sahabat baik Rahwana, disuruhnya menjauhkan Sinta dari Rama dengan cara berubah menjadi Kijang Kencana. Benar, Sinta tertarik akan kijang kencana yang dilihatnya itu dan dimintanya Rama menangkap kijang kencana. Ketika kijang kencana itu dipanah Rama, seketika berubah kembali menjadi Kalamarica yang menjerit meminta bantuan Laksmana. Sinta mengira bahwa jeritan itu adalah suara Rama yang mendapat celaka sehingga Sinta memaksa Laksmana menyusul ke tempat Rama. Begitu Laksmana pergi menyusul Rama, Rahwana yang berubah wujud sebagai pertapa tua, mendekati dan merayu Sinta yang sendirian. Sinta menolak rayuan si pertapa. Namun, segera disaut oleh Rahwana yang kembali berubah menjadi raksasa dan diterbangkan ke angkasa. Jatayu, burung raksasa sahabat Raja Darata, mendengar jeritan Sinta dan segera datang merebut dari gendongan Rahwana. Jatayu kalah sakti dari Rahwana hingga jatuh kembali di hutan Dandaka. Dengan segera Rahwana menerbangkan Sinta ke negeri Alengka.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ketika Rama dan Laksmana kembali ke tempat peristirahatannya, dijumpainya Sinta sudah tidak ada di tempat. Mereka berdua segera mencari ke berbagai tempat di hutan Dandaka itu dan tidak ditemukan Sinta. Di tengah pencariannya itu Rama dan Laksmana bertemu dengan Jatayu yang sekarat dan hampir menghembuskan napasnya yang terakhir. Dari cerita Jatayu dapat diketahui bahwa Sinta diculik oleh Rahwana dan diterbangkan ke Alengka. Setelah Jatayu berpulang ke alam baka, Rama dan Laksmana melanjutkan pencariannya. Di tengah usaha pencariannya itu, mereka bertemu dengan raksasa Kala Dirgabahu dan terjadilah perang di antara mereka. Ketika panah Laksmana menembus dada raksasa Kala Dirgabahu, saat itu juga raksasa berubah menjadi Dewa Kangka. Atas petunjuk Dewa Kangka, Rama dan Laksmana pergi ke bukit Reksamuka menemui raja kera Sugriwa.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sesampainya di bukit Reksamuka, Rama dan Laksmana beristirahat di bawah pohon nangka. Mereka berdua terbangun dari tidurnya ketika mendengar rintihan seekor kera yang terjepit di antara dua dahan yang kuat. Ternyata kera yang terjepit pohon nangka itu adalah Sugriwa yang sedang bermasalah dengan kakaknya, Subali. Rama segera menolong dengan memanah pohon yang menjepit tubuh Sugriwa hingga pohon patah tumbang dan Sugriwa lepas dari jepitan. Sugriwa segera bercerita kepada Rama dan meminta bantuannya untuk mengalahkan kakaknya, Subali, dan kemudian dapat merebut tahta Kiskenda serta permaisuri Dewi Tara. Rama bersedia membantu Sugriwa apabila kelak setelah menang, Sugriwa dan bala tentara wanara berkenan membantu mencari Sinta. Setelah mereka sepakat, Sugriwa pergi melabrak ke Kiskenda menantang perang tanding dengan Subali. Sewaktu keduanya bertarung, Rama kesulitan membedakan keduanya karena Sugriwa dan Subali sebagai kera kembar. Untuk membedakan keduanya, Sugriwa yang terlempar jauh dihadapan Rama segera dikenakan ikat janur kuning di kepalanya. Kembali Sugriwa bertarung melawan Subali. Sewaktu Sugriwa mulai terdesak kalah karena Subali memilki Aji Pancasona, tiba-tiba panah Guwawijaya dilepaskan Rama hingga menembus dada Subali. Seketika itu pula Subali terjungkal hingga menghembuskan napas yang terakhir. Seluruh bala wanara bersorak sorai menandai kemenangan Sugriwa. Pesta kemenagan pun diadakan oleh seluruh bala wanara dan Sugriwa naik tahta di istana Kiskenda. Setelah Sugriwa mengucapkan terima kasih, Rama dan Laksmana pergi meninggalkan Kiskenda untuk pergi ke Gunung Maliawan. Kedua ksatria itu menunggu Sugriwa dan bala tentara wanara di Gunung Maliawan untuk bersama-sama pergi ke Alengka melabrak perang dan memboyong Sinta kembali ke Ayodya.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dalam episode “Lima” dikisahkan bahwa Sugriwa yang dimabuk kemenangan hampir lupa memenuhi janjinya kepada Rama. Kapi Jembawan tidak bosan-bosanya mengingatkan rajanya untuk segera menemui Rama di Gunung Maliawan. Atas desakan itu akhirnya Sugriwa dan bala tentara wanara bersedia datang ke Gunung Maliawan. Benar, Rama dan Laksmana hampir jenuh menunggu kedatangan Sugriwa dan bala tentara wanara di Gunung Maliawan. Setelah mereka bertemu, kemudian diadakan musyawarah dan diputuskanlah Anoman, si kera putih, sebagai duta Rama mencari Sinta ke Alengka dengan membawa sebuah cincin Rama. Dalam perjalanannya ke Alengka, noman bertemu dengan Sayempraba yang membuat matanya menjadi buta. Atas pertolongan burung Sempati, adik raja burung Jatayu, Anoman pulih kembali dapat melihat dan meneruskan perjalananan ke Alengka.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ketika Anoman sudah sampai di tepi pantai, mau tidak mau harus melesat terbang menyebarangi lautan untuk menuju ke Alengka. Di tengah angkasa Anoman ditarik turun ke lautan oleh saudara tunggal bayunya, Gunung Maenaka. Atas petunjuk saudara tunggal bayunya, Gunung Maenaka, Anoman dapat masuk negeri Alengka dengan mudah. Setelah berputar-putar di kota Alengka, Anoman dapat menemukan Dewi Sinta di Taman Argasoka yang sedang ditemani oleh Trijata, anak perempuan Gunawan Wibisana. Setelah bertemu dengan Dewi Sinta dan menyampaikan maksudnya, Anoman segera kembali ke Maliawan. Namun, sebelum kembali ke Maliawan, Anoman merusak dulu kota Alengka. Para raksasa yang menyaksikan perbuatan Anoman itu segera menangkap dan membawanya ke hadapan Rahwana. Atas perintah Rahwana, Anoman yang telah diikat itu dibakar tengah di alun-alun. Anoman tidak mempan dibakar, api yang berkobar di tubuhnya dapat menyulut kebakaran di mana-mana karena Anoman terbang dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Tinggal rumah Togog Tejamantri yang disisakan tanpa dibakar. Setelah puas bermain-main api di Alengka, dengan kecepatan yang luar biasa, Anoman terbang pulang ke Maliawan.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Rama senang mendengar laporan Anoman. Untuk dapat menyeberangi lautan pergi ke Alengka itu bala tentara wanara harus dapat membangun tambak, semacam jembatan. Gunawan Wibisana, adik Rahwana, saat itu juga bergabung dengan Rama untuk memerangi kakaknya yang angkara murka. Setelah mereka bermusyawarah, kemudian dikerahkan semua bala tentara wanara membangun tambak dengan disangga oleh Gajah Situbanda, saudara bayu Anoman. Melalui Anoman, Hyang Baruna, dewa laut, memberi petunjuk agar Gunung Sandyawela dihancurkan untuk membangun tambak. Dengan semangat yang bergelora dan kerja keras semua bala tentara wanara, akhirnya tambak itu jadi dan dapat dilewati untuk menyeberangi sampai ke Alengka.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sesampainya di daratan Alengka, mereka membangun pesanggrahan dan perkemahan di Gunung Suwela untuk mengatur siasat. Mula-mula Anggada diutus Rama untuk menyampakan perdamaian kepada Rahwana. Raja Raksasa itu menolak ajakan damai Rama dan menghasut Anggada untuk memerangi Rama karena ayahnya, Subali, terbunuh oleh Rama. Amarah Anggada dapat diredam oleh Sugriwa dengan dijelaskannya duduk persoalan yang benar. Akhirnya, perang besar Alengka pun terjadi. Dalam perang besar itu satu per satu saudara, anak, dan bala tentara Rahwana gugur di medan perang. Dengan terpaksa Rahwana maju ke medan perang berhadapan dengan Rama. Aji Pancasona yang dimiliki Rahwana membuat kesaktian yang luar biasa dan membuat Rahwana tidak dapat mati. Ketika panah Guwawijaya yang dilepaskan Rama dapat memisahkan tubuh dan kepala Rahwana, Anoman dan kelima saudara sekandungnya (Kilatmeja, Ramadaya, Dayapati, Garbaludira, dan Ditya Pulasio) segera mencabut Gunung Suwela untuk menimpakannya ke badan Rahwana. Mendapat perlakuan seperti itu, Rahwana yang tidak dapat mati terus menjerit karena siksaan hidupnya yang tertimpa Gunung Suwela.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Perang besar Alengka yang banyak memakan korban pun akhirnya usai. Dunia kini kembali terang benderang, tenang, tentram, damai, dan sejahtera. Gunawan Wibisana dinobatkan Rama sebagai Raja Alengka menggantikan Rahwana. Ketika Rama menjumpai Dewi Sinta yang sudah berdandan dengan indahnya, Rama curiga dan menyangsikan kesucian Sinta. Air mata Sinta berlinang dan terus menangis ketika Rama menuduhnya sudah tidak suci lagi karena sudah dijamah oleh Rahwana. Untuk membuktikan kesuciannya, Rama meminta Sinta terjun ke bara api yang tengah menyala. Amarah Rama tidak dapat dikendalikan oleh siapa pun. Sinta pun menyanggupi permintaan Rama. Setelah tumpukan kayu kering disulut, api menyala berkobar-kobar, Sinta pun terjun ke dalam kobaran api. Berkat kesuciannya, Sinta tidak mempan dibakar.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Anak Bajang Menggiring angin ditutup ungkapan: Para kera dan raksasa yang lain tidak peduli apa yang terjadi. Mereka terus bergembira ria. “Kegembiraan mereka seakan mengejek: kisah dan riwayat yang dialami orang tua mereka ternyata hanyalah mimpi yang berakhir dengan kesia-siaan belaka”.</span><br />
</div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-46498770227831269142010-01-29T06:17:00.000+07:002010-01-29T06:17:26.423+07:00Sori Gusti<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;"></span><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sori Gusti merupakan sajak-sajak terlengkap Darmanto Jatman sejak tahun 1959 hingga tahun 2002. Sajak-sajak Daramanto Jatman yang dihadirkan dalam buku Sori Gusti ini tanpa seleksi yang disunting oleh Triyono Tiwikromo. Dalam buku Sori Gusti itu sudah memuat hampir semua sajak Darmanto yang pernah diterbitkan, seperti dalam buku Sajak-sajak Putih (1965), Sajak Ungu (1965), Sang Darmanto (1975), Bangsat (1976), Ki Blakasuta Bla Bla (1980), Karto Iyo Bilang mBoten (1982), Golf untuk Rakyat (1995), Isteri (1997), dan ditambah dengan sajak-sajak baru Darmanto Jatman yang ditulis antara tahun 1997–2002. Dalam “Kata Pengantar” buku ini disampaikan bahwa ada beberapa sajak Darmanto Jatman yang tidak terdokumentasi dalam buku Sori Gusti karena beberapa hal, seperti sajak yang dirasa tidak baik sehingga ketika itu dibuang ke keranjang sampah oleh Darmanto sendiri, dan ada juga sajak yang hilang karena hanyut dalam musibah banjir. Ini semata karena musibah dan kesalahan diri yang membuat fatal dan penyesalan pada akhirnya.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sori Gusti terdiri atas tujuh banjaran, yaitu (1) Banjaran Pertama “Testimoni: Sori Gusti”, terdiri atas 35 sajak, (2) Banjaran Kedua “Main Cinta Model Kwang Wung”, terdiri atas 8 sajak, (3) Banjaran Ketiga “Plesir”, terdiri atas 34 sajak, (4) Banjaran Keempat “Medali-Medali Peradaban”, terdiri atas 9 sajak, (5) Banjaran Kelima “Laporan Kepada Rakyat”, terdiri atas 30 sajak, (6) Banjaran Keenam “Bahwa Aku Sekarang Merasa Tua”, terdiri atas 38 sajak, dan (7) Banjaran Ketujuh “Seorang Modern Menulis Puisi”, terdiri atas 10 sajak. Dengan demikian, keseluruhan sajak Darmanto yang dimuat dalam buku Sori Gusti ada sebanyak 164 sajak. Jumlah sajak lengkap yang ditulis oleh Darmanto Jatman ini sudah melebihi sajak-sajak lengkap Goenawan Mohamad (editor Ayu Utami dan Sitok Srengenge) yang hanya 134 sajak. Namun, jumlah sajak Darmanto Jatman ini pun masih berada di bawah sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo, atau Taufiq Ismail yang menulis sajak lebih dari 350 judul sajak.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dalam buku kumpulan sajak Sori Gusti ini Darmanto kembali mengenalkan istilah banjaran seperti lakon wayang kulit di Jawa. Mula-mula istilah banjaran berasal dari dunia pertanian, yang artinya ‘deretan panjang’. Dalam bahasa Indonesia kata banjaran berarti: ‘deretan’, ‘jajaran’, atau ‘barisan’. Kemudian istilah itu dioper alih dalam dunia pedalangan wayang kulit di Jawa untuk menceritakan satu lakon utuh tentang seorang tokoh, misalnya “Banjaran Bhisma”, “Banjaran Baladewa”, “Banjaran Bima”, “Banjaran Arjuna”, dan “Banjaran Adipati Karno”. Salah seorang dalang wayang kulit di Jawa yang pertama mempopulerkan lakon banjaran adalah Ki Narto Sabda dari Semarang. Selanjutnya, lakon banjaran itu diteruskan dalang-dalang lainnya, seperti Ki Manteb Soedarsono dari Karang Anyar, dan Ki Anom Suroto dari Surakarta.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dalam dunia kesusastraan, istilah banjaran diperkenalkan oleh Darmanto Jatman melalui buku kumpulan sajaknya Isteri (Grasindo, 1997). “Kata Pengantar” buku Isteri itu Darmanto menyatakan “Isteri yang sekarang ini memuat banjaran sajak-sajak saya sejak 1960 sampai 1996, eh 1997 ini. ‘Selected Poems’ tentu saja.” Kemudian dalam buku kumpulan sajak Darmanto Jatman yang baru, Sori Gusti (LIMPAD, 2002), istilah banjaran lebih diekspos. Sebab, istilah banjaran itu dipakai oleh penyunting buku (Triyono Tiwikromo) sebagai tanda bab atau pengelompokan ataupun kategori sajak-sajak Darmanto (terdiri atas tujuh banjaran, lihat pula esai penyunting dalam buku itu), dan dipergunakan sebagai judul esai seorang pengamat, “Banjaran Darmanto Jatman”, oleh Adriani S. Soemantri dalam buku itu juga.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Judul buku Sori Gusti diangkat dari salah satu judul sajak yang ditulis oleh Darmanto pada tahun 2001. Judul itu secara tersurat sudah menunjukkan pemakaian campur kode dan alih kode bahasa. Kata sori merupakan serapan dari bahasa Inggris sorry (lema sori belum masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi kata ‘sedih’, ‘maaf’, atau ‘sesal’. Sementara itu, kata Gusti merupakan serapan dari bahasa Jawa (lema gusti sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang artinya ‘sebutan untuk orang bangsawan atau Tuhan (atau yang dianggap Tuhan)’. Jadi, dalam buku itu Darmanto Jatman berdiri di antara dua bahasa, yaitu Inggris sebagai simbol “peradaban mendunia” dan Jawa sebagai simbol “peradaban primodial”, dalam ke-Indonesia-annya sambil mengungkapkan perasaan sedih dan sesalnya atas perbuatan yang pernah dilakoninya selama ini kepada Tuhannya. “Mohon maaf Tuhan”, “Maafkan saya Tuhan”, atau “Ampun Tuhan”. Begitu kiranya isi buku itu sebagai pengakuan dosa menilik dari makna judulnya. </span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Terlintas buku Sori Gusti bernada religius atas kesadaran iman seorang Jawa tulen yang menganut agama Kristen/Nasrani. Memang dalam banjaran pertama itu banyak diungkapkan masalah pencarian, pergulatan, permenungan, perlawanan, penemuan, kegelisahan, dan kepasrahan aku lirik terhadap yang disebutnya sebagai Gusti, yaitu Tuhan, Allah, Kristus, Jesus, Isa Almasih, ataupun Dzat yang Mahaagung “Kang Murbeng Dumadi, Jagat rat pramudita.” Di sini tampak sekali perpaduan iman seorang Jawa yang mampu menjadi wadah sinkretisme. Darmanto Jatman tidak segan-segannya menggunakan idiom keagamaan, seperti “abracadrabra, duh Betara. Betara” (sajak “Karena Bosan Dia Mati”), “O Allah!” (sajak “So Private This Loneliness”), “Insya Allah” (sajak “10 Februari 1969 Kau dan Aku”), “Sugeng rawuh Gusti. Syalom alekheim. Salamalaikum. Aum shantih shanthih shantih aum. Namo budaya. Sancai. Sancai. Sancai. Rahayu, Basuki, Slamet” (sajak “Jangan Panggil Aku Gusti”), “Amin. Gusti, nyuwun kawelasan. Halleluyah. Allahu Akbar. Salam. Syalom. Sadhu. Sancai. Rahayu. Amin” (sajak “Cucu”), dan “innalillahi wainailhi rojiuun” (sajak “Roro Blonyo”). Dengan demikian, jelas di sini Darmanto Jatman ingin menunjukkan adanya keberagaman (pluralisme atau multikultural) dalam peribadatan manusia kepada Tuhan. Meskipun beragam dalam hal beribadatan, semua itu pada hakikatnya menuju ke satu tujuan, yaitu keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia hingga akhirat.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Banjaran kedua dalam buku Sori Gusti lebih mengekspos masalah-masalah percintaan. Manusia hidup di dunia itu membutuhkan belaian kasih sayang lawan jenis. Dalam dunia percintaan tidak pandang bulu harus yang muda remaja saja yang berhak bermain cinta. Seorang kakek-kakek yang sudah menjadi begawan atau pendeta, seperti Begawan Wisrawa, tokoh pewayangan dalam kisah Ramayana, dapat tergiur asmara daun muda si Rara Dewi Sukaesi. Demikian juga si Duda Bantat, Karta Telo, pada masa tuanya justru diuji Tuhan untuk jatuh kasmaran pada istrinya sendiri. Itulah sebabnya permainan cinta mereka seperti binatang kwang wung. Kata kwang wung dalam banjaran kedua ini merujuk pada nama binatang kumbang kelapa atau hama kelapa. Biasanya binatang kwang wung hanya terbang berputar-putar di sekitar pohon kelapa sambil mengeluarkan suaranya (brengengeng). Banjaran kedua ini menunjukkan keberagam dalam hal bercinta, dari yang muda belia hingga yang kakek-kakek.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Pelesir” menjadi tanda keberagaman dalam banjaran ketiga buku kumpulan sajak Sori Gusti. Pelesir artinya pesiar, melancong, ataupun tamasya. Seseorang yang pelesir berpergian jauh, meninggalkan rumah, biasanya pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan seperti pantai, gunung, dan objek-objek wisata yang lainnya. Tujuaannya tiada lain adalah mencari hiburan dan sekaligus mencari pengalaman hidup. Demikian juga halnya dengan ke-34 sajak Darmanto yang dimuat dalam banjaran ketiga itu memotret pengalaman aku lirik ketika mengunjungi tempat-tempat wisata. Kunjungan Darmanto ke berbagai kota di luar negeri, seperti Honolulu-Hawaii, Taipei-Taiwan, Negeri Kiwi, Rotterdam-Belanda, Adelaide-Australia, dan London-Inggris, menjadi ajang kreativitas memotret perilaku dan pengalamannya di negeri orang tersebut. Demikian halnya dengan kota-kota lain di negerinya sendiri, seperti Yogya, Jepara, dan Bantul ketika terjadi perubahan peradaban, dari yang tradaisional ke dunia modernisasi menjadi ajang kreativitas yang menarik bagi Darmanto. </span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Medali-Medali Peradaban” menjadi tanda banjaran keempat dalam buku Sori Gusti itu. Darmanto kembali momotret sikap seseorang dalam menghadapi perubahan zaman, seperti tokoh Marto Klungsu dari Leiden, Ki Lurah Karangkedempel sewaktu menerima mahsiswa KKN di desanya, Karto Tukul dan Saudaranya Atmo Boten ketika menerima produk “Dagadu Djokja”, menjadi hal yang menarik untuk mendapat pengahargaan dari siapa pun. Sikap mereka ketika menerima perubahan zaman itu ada yang melawan, meronta-ronta ingin tetap mempertahankan tradisinya, dan ada pula yang hanya pasrah total mengikuti arus zaman. Mereka ada yang tidak kuasa membendung laju modernitas menerjang habis peradaban adiluhungnya. Ampun Darmanto.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tema sosial kemasyarakatan, juga masalah ekonomi dan politik, menjadi tanda banjaran kelima “Laporan Kepada Rakyat” buku kumpulan sajak Sori Gusti. Bebagai masalah sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat kita, seperti masalah transmigrasi, patriotisme kromo, pelacuran, AIDS, pemilu, demonstrasi, suksesi, kekuasaan, dan reformasi pun menjadi objek menarik dalam banjaran kelima. Ketidak-beresan dan berbagai penyelewengan yang terjadi dalam masyarakat kita itu perlu dilaporkan kepada rakyat. Rakyat perlu mengetahui dan memahami dengan benar karakter bangsanya dan semua peristiwa yang terjadi di negerinya. Atas dasar laporan itu maka perlu ditindak-lanjuti untuk segera “memayu hayuning bangsa lan negara”. Segeralah “diruwat” (dibebaskan) bangsa kita ini dari semua penderitaan dan juga azab Tuhan. Dari mana harus “diruwat” bangsa yang telah carut marut ini? Darmanto memberi solusi dari “Generasi Demi Generasi”, terutama me-“Reformasi Diri” untuk menuju “Harmoni (meskipun) Itu (baru sampai pada tataran) Sepasang Sandal Jepit”. </span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Banjaran keenam dan ketujuh dalam buku Sori Gusti ini lebih dimaksudkan sebagai keberagaman renungan dan penemuan jatidiri Darmanto ketika memasuki usia senja dan menjadi manusia modern di tengah masyarakat madani. Semakin tua usia hendaknya ia semakin tumbuh kesadaran dirinya untuk menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat dan bangsanya. Ibarat ilmu padi, semakin tua semakin berisi, ia dapat menunduk, andhap asor, dan penuh dedikasi diri pengabdian kepada bangsa, negara, masyarakat, dan tentu juga kepada Tuhan. Pada usia senjanya ini Darmanto Jatman tidak perlu lagi yak-yakan, nyleneh, menggebu-gebu ataupun meledak-ledak seperti ketika berusia muda dahulu. Emosinya pun tentu dapat diredam dan amarahnya juga dapat dikendalikan. Kini tinggallah kewaspadaan, kehati-hatian, dan santun dalam berperilaku serta bertutur kata hanya semata ia sudah “sumarah kepada Gusti”, “sumendhe ing Gusti”, “sumeleh ing Gusti”, mohon ampun Tuhan, dan sendhika menerima dhawuh Gusti (sajak “Ampun Gusti”) untuk segera menerima tugas menulis puisi dan berkarya. Hidup di dunia ini ternyata hanya sekadar mewakili tugas atau pakaryan Tuhan yang terbabar di dunia, sekadar menjadi kafilah.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
</div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-12594071128292474012010-01-29T06:12:00.000+07:002010-01-29T06:12:38.531+07:00Kastalia<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;"></span><br />
<div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"></span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPUJISA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPUJISA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPUJISA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <span style="font-size: small;"><m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:1;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-format:other;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;}
@font-face
{font-family:"Trebuchet MS";
panose-1:2 11 6 3 2 2 2 2 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
font-size:10.0pt;
mso-ansi-font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style><i>Kastalia </i>adalah buku kumpulan sajak karya Dodong Djiwapradja yang diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1997. Kumpulan sajak karya Dodong Djiwapradja ini mendapatkan hadiah dari Yayasan Buku Utama (1998) dan Hadiah dari Pusat Bahasa (2000). Buku kumpulan sajak ini diberi kata pengantar oleh W.S. Rendra. Dalam buku ini memuat 67 sajak yang ditulis Dodong Djiwapradja antara tahun 1948–1973. Sajak-sajak dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu (1) Jalan Setapak, 1948–1949; (2) Getah Malam, 1951–1959; (3) Kastalia, 1960; (4) Jari-Jemari, 1961–1963; dan (5) Penyair yang Lahir di Tanah Air, 1970–1973. Pengelompokan sajak dalam buku itu tidak didasarkan pada kesamaan tema, tetapi didasarkan pada urutan kronologis atau urutan waktu penciptaan sajak. Hal ini memudahkan pembaca untuk mengikuti sejarah perkembangan estetis pemikiran Dodong Djiwapradja tentang kehidupan yang tertuang dalam puisi selama 25 tahun masa kepenyairannya.<o:p></o:p> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Judul buku <i>Kastalia</i> diangkat dari salah satu sajak karya Dodong Djiwapradja yang ditulisnya pada tahun 1960. <i>Kastalia</i> sebagai judul sajak dan sekaligus judul buku itu mengingatkan kita pada pembagian <i>kasta </i>dalam masyarakat Hindu atau India Kuno, seperti kasta brahmana, kasta ksatria, kasta waisya, kasta sudra, dan kasta paria. Kata <i>kasta</i> itu sebenarnya berasal dari bahasa Portugis “<i>casta</i>” yang artinya ‘ras, keturunan, atau jenis kelamin’. Atau dapat juga judul <i>Kastalia</i> itu mengingatkan kita pada kata <i>kastal</i>, yang artinya ‘pohon kayu yang tumbuh di gurun atau di tanah yang kering’. Dan yang terakhir, judul <i>Kastalia </i>itu mendekati kata <i>kastanyet</i>, yang artinya.’alat musik yang terdiri atas sepasang kepingan gading atau kayu keras yang cekung dan direntet-rentetkan oleh ibu jari untuk mengiringi irama tari-tarian Spanyol’. <o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Meski ada kemungkinan tiga makna yang terdapat dalam kata <i>kastalia </i>seperti di atas dalam kumpulan sajak Dodong itu kita masih menemukan makna yang lain pula. Apabila kita telusuri lebih jauh asal mula kata <i>kastalia</i> itu ternyata diambil dari bahasa Yunani Kuno, <i>castalia</i> atau <i>castalian</i>, yang berarti puncak Gunung Parnassus yang merupakan tempat tinggal suci Dewa Apollo dalam Mitologi Yunani. Kumudian dalam sejarah Kitab Perjanjian Lama kata <i>castalia </i>itu dipahami sebagai tempat suci pertemuan Nabi Musa dengan Tuhan di puncak Gunung Tursina. Makna kata <i>kastalia </i>yang semula berasal dari bahasa Yunani Kuno itu akhirnya banyak digunakan oleh para penyair di Barat menjadi sumber inspirasi penciptaan puisi-puisi yang ditulisnya. Mereka beranggapan bahwa puisi-puisi yang terlahir dari penciptaannya bersumber dari yang maha suci guna memberi pencerahan kepada pembaca. Seperti halnya Dewa Apollo memberi pencerahan kepada rakyatnya atau Nabi Musa setelah turun dari puncak Tursina menerima “Sepuluh Perintah Tuhan” yang berguna sebagai upaya pencerahan umatnya, terutama kaum Yahudi ketika itu. Boleh juga Dodong memadankan sajak-sajak yang ditulisnya itu sebagai <i>katarsis</i>, penyucian hati bagi pembaca.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Padanan konsep pemikiran Dodong Djiwapradja seperti di atas dapat dipahami dari beberapa sajak yang ditulisnya, misalnya sajak yang berjudul “Puisi”, “Di Makam Ayah”, dan “Mengaji”. Pada baris dan bait pertama dalam sajak “Puisi” Dodong mentransformasikan secara langsung bahasa <i>Al-Quran</i>, “<i>Kun fayakun</i>”, ‘Jadilah, maka terjadilah ia’. Sesungguhnya ucapan itu merupakan kalam Allah yang ditujukan kepada sesuatu dengan kehendak untuk mewujudkan atau menjadikannya ‘tercipta’, seperti penciptaan langit dan bumi (Surat Al-Baqarah: 117; Al-An’aam: 73; Yaasiin: 81–82), membangkitkan orang mati menjadi hidup kembali atau menghidupan dan mematikan makhluknya (Surat An-Nahl: 38–40; dan Surat Al-Mukmin: 67–68), kelahiran Nabi Isa melalui Maryam yang tanpa sentuhan seorang lelaki (Surat Ali Imran: 47), dan perumpamaan penciptaan Nabi Isa yang tak ubahnya seperti penciptaan Nabi Adam (Surat Ali Imran: 59). Dalam ensiklopedi Islam dikatakan bahwa terjemahan kata “<i>kun</i>” yang paling tepat adalah <i>exist</i>, ‘nyatalah’. Sebab apa yang terkandung dalam kalam Allah itu merupakan sebuah gerakan menuju ke eksistensi atau kenyataan yang bersumber dari kehendak Allah untuk mewujudkan sesuatu hal hingga terbentuk atau terwujudlah kehendak-Nya itu. <o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Kembali kepada sajak Dodong Djiwapradja yang berjudul “Puisi”, dengan ucapan “Kun fayakun” dapat dianalogikan bahwa penciptaan puisi oleh manusia itu prosesnya tak ubahnya seperti Tuhan menciptakan alam semesta seisinya. Hanya bedanya, Tuhan berkehendak menciptakan sesuatu hanya dengan ucapan “kun fayakun”, maka seketika terjadilah kehendak-Nya mewujudkan apa saja Adapun manusia ketika menciptakan sesuatu hal, termasuk puisi, melalui proses yang panjang dan tidak seketika jadi seperti apa yang diinginkannya. Manusia menciptakan sesuatu hal memerlukan waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan atau bertahun-tahun, untuk menjadikan keiinginnaya terwujud. Karena manusia memiliki keterbatasan, maka hasil ciptaannya tidak sesempurna ciptaan Tuhan. Keterbatasan itu menyebabkan ada keinginan manusia yang hanya tinggal keinginan atau tidak dapat mewujudkan keinginannya tersebut.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Larik pertama bait kedua dalam sajak “Puisi” Dodong mengatakan bahwa “Saat penciptaan kedua adalah puisi”. Kalimat Dodong ini dipahami bahwa ada penciptaan pertama, sebelum ada penciptaan kedua, yaitu Allah menciptakan alam semesta seisinya. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. Demikian dikatakan dalam berbagai kitab suci hingga seterusnya terjadilah semesta alam seisinya ini. Manusia tidak dapat menciptakan langit dan bumi, tetapi manusia selaku pencipta yang kedua hanya mampu meneladan, meniru, mencontoh ciptaan Tuhan yang sudah ada. Paham ini dikenal dikenal dengan <i>memesis</i>. Oleh karena itu, penciptaan yang dilakukan oleh manusia “tertimba dari kehidupan (semesta alam) yang ditangisi/ bumi yang didiami, laut yang dilayari/ udara yang dihirupi, air yang diteguki/ kebun yang ditanami, bukit yang digunduli/ gubuk yang diratapi, gedung yang ditinggali/ sawah yang dibajak/ manisan yang terbuat dari butir-butir kepahitan” dan dari “gedung yang megah yang terbuat dari butir-butir hati yang gelisah”. Paham kesemestaan.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Penciptaan puisi yang didasarkan pada pengalaman hidup seperti di atas ditangkap oleh W.S. Rendra dalam kata “Pengantar” buku <i>Kastalia </i>itu sebagai gambaran frustrasi dan rasa tidak bahagia penyairnya. Selain itu, Rendra juga menangkap fenomena yang terjadi pada diri Dodong adalah kesadaran akan situasi tragik dan kefanaan dalam hidup ini sehingga hadirlah sikapnya yang penuh waspada, hati-hati, dan tekun melindungi kemurnian hati nurani. Memang pandangan tentang tragedi mulai populer sejak kemunculan drama trilogi Yunani karya Sophokles, yaitu “Oedipus Rex”, “Oedipus di Kolonus”, dan “Antigone” yang mengalami bencana karena ulah tokoh utamanya. Bencana dan keberuntungan adalah anugerah Tuhan yang perlu disyukuri sebagai bentuk oposisi biner. Tidak selamanya manusia selalu berada dalam keberuntungan, dan tidak juga selamanya manusia berada dalam situasi tragedi. Demikian pula kefanaan dan keabadian menjadi oposisi biner yang membuat hidup manusia selalu optimis dan dinamis memandang masa depan.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Berdasarkan <i>Kamus Besar Bahasa Indonesia</i> (1988: 959) lema <i>tragedi</i> memiliki dua arti, yaitu (1) sandiwara atau cerita sedih yang pelaku utamanya menderita kesengsaraan lahir dan batin yang luar biasa bahkan sampai meninggal, dan (2) peristiwa-peristiwa yang menyedihkan atau yang membuat kematian. Atas dasar pengerti dalam kamus itu berarti <i>tragedi </i>identik dengan peristiwa yang menyedihkan, kejadian yang membuat kesengsaraan hidup, dan timbulnya berbagai bencana atau malapetaka yang membuat penderitaan manusia, seperti bencana alam, wabah penyakit, dan peristiwa pembantaian. Adanya tragedi seperti itu membuat manusia semakain akrab dengan penderitaan, kemalangan, dan kesengsaraan hidup. Dalam karya Dodong Djiwapradja hal itu tentu tersirat dan tersurat dalam sajak-sajaknya, seperti sajak “Garut”, “Puisi”, “Kastalia”, dan “Jari-Jemari”.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Sajak “Jalan Setapak” dan “Perjalanan” jelas memperlihatkan keakraban penyair dengan suasana pedesaan yang mempunyai ikatan dengan dunia pertanian. Dodong melihat suasana pedesaan yang sederhana dan penuh kedamaian. Ayahnya adalah ahli membajak sawah dan anaknya berusaha menjadi ahli pembuat sajak merupakan suatu gambaran perjalanan hidup yang kontras. Orang hidup di dunia ini memiliki pilihan masing-masing jalan mana yang hendak di tempuh. Jalan itu tidak ada batas, meskipun hanya jalan setapak. Oleh karena itu, dalam menempuh perjalan hidup di dunia ini tiada batas anak mengikuti jejak orang tuanya. Hanya kematian yang memberi batas akhir dari perjalanan hidup di dunia, seperti yang terungkap dalam sajak “Di Makam Ayah”. Kematian bagai peristiwa perpisahan di stasiun, di atas tangga kereta. Meski demikian, tetap yang tinggal hanya nisan.<o:p></o:p></span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Sebelum perjalanan hidup di dunia ini berakhir pada kematian, manusia perlu terlebih dahulu mengaji, membaca dan memahami isi kitab suci dengan benar. Demikian kiranya pesan utama Dodong Djiwapradja melalui sajaknya “Mengaji”. Kitab suci, seperti <i>Al-Quran,</i> memberi tuntunan hidup di dunia hingga akhirat dengan benar dan nyata. Memang bahasa kitab suci itu tidak menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Sunda, tetapi melalui terjemahan dan tafsir-tafsir yang ada sangat membantu memahami isi kitab suici tersebut. Inti dari isi kitab suci itu adalah ajaran cinta kasih kepada sesama makhluk. Meskipun mereka itu pelacur, penjahat, penjudi, tentara, dan polisi sekalipun, semua orang disayangi. Sifat yang keji, iri, dan dengki, seperti tenung dan sihir, itulah yang mesti dijauhi.</span><br />
</div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-65810631664012057642010-01-29T06:08:00.000+07:002010-01-29T06:08:19.254+07:00Angkatan Sastra<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;"></span><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Angkatan adalah penamaan suatu kelompok sastrawan sezaman yang karyanya menunjukkan ciri yang sama, sepaham mengadakan kegiatan sastra atau kebudayaan, atau sekolompok sastrawan yang mempunyai cita-cita yang sama, baik secara sadar atau tidak, dalam suatu zaman yang sama dan bertindak dalam satu kesatuan yang berpengaruh pada suatu masa tertentu. Dalam bahasa Inggris dan Perancis disebut generation atau dalam bahasa Belanda generatie. Istilah lain dalam bahasa Indonesia adalah generasi.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Secara umum penamaan suatu kelompok sastrawan yang sepahaman menjadi angkatan didasarkan pada prinsip yang sama mendasari karya-karya para sastrawan sezaman, misalnya para sastrawan yang menulis pada tahun 1920-an dan karya-karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka dengan tema persoalan adat maka dinamakan Angkatan Balai Pustaka, para sastrawan yang menulis pada tahun 1930-an yang mengadakan gerakan semangat kebangsaan dan kemajuan kebudayaan yang terwadahi dalam majalah Pujangga Baru maka dinamakan Angkatan Pujangga Baru, dan sekelompok sastrawan yang mulai aktif menulis di seputar meletusnya revolusi fisik Indonesia tahun 1945-an dan menyatukan sikap dan pikirannya ke dalam lembaran “Gelanggang” majalah Siasat maka dinamakan Angkatan 45 atau Angkatan Gelanggang.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dalam catatan sejarah sastra Indonesia modern terdapat dua ragam penamaan angkatan, yaitu (1) penamaan angkatan atas dasar tahun penerbitan karya sastra, misalnya Angkatan 20, Angkatan 33, Angkatan 45, Angkatan 50, Angkatan 63, Angkatan 66, Angkatan 70, Angkatan 80, dan Angkatan 2000, dan (2) penamaan angkatan atas dasar yang lainnya, misalnya nama penerbit yang aktif tahun 1920-an: “Angkatan Balai Pustaka”, judul buku karya sastra yang dianggap puncak pada zamannya: “Angkatan Siti Nurbaya”, nama majalah yang terbit tahun 1930-an: “Angkatan Pujangga Baru”, nama tokoh pelopor sastra pada zaman revolusi fisik tahun 1945: “Angkatan Chairil Anwar”, nama lembaran kebudayaan dalam majalah Siasat yang memuat karya para sastrawan zamannya: “Angkatan Gelanggang”, nama suatu zaman yang dianggap berbeda dari yang sudah ada dan karya itu terbit tahun 1950-an: “Angkatan Terbaru”, dan nama suatu peristiwa penanda tnganan Manifesto Kebudayaan pada tahun 1963: “Angkatan Manifes”. Secara umum nama angkatan dalam sastra Indonesia modern yang sering disebut-sebut, yang populer hingga kini, dalam pelajaran sekolah dan mata kuliah sejarah sastra Indonesia di perguruan tinggi adalah Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan Angkatan 2000.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Angkatan Balai Pustaka adalah nama yang diberikan kepada sejumlah sastrawan yang produktif menulis pada tahun 1920-an yang karya-karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka. Sastrawan yang berhasil menerbitkan karyanya di Balai Pustaka pada waktu itu, antara lain, Abdul Muis (Salah Asuhan, 1928), Marah Rusli (Siti Nurbaya,1922), Merari Siregar (Asab dan Sengsara, 1921), Muhammad Kasim (Pemandangan dalam Dunia Kanak-Kanak, 1928), dan Nur Sutan Iskandar (Apa Dayaku Karena Aku Perempuan, 1922; dan Salah Pilih, 1928). Menurut catatan Bakri Siregar (1964:69) dalam bukunya Sejarah Sastra Indonesia I (Jakarta: Akademi Sastra dan Bahasa Multatuli) antara tahun 1920 sampai tahun 1930 Balai Pustaka berhasil menerbitkan buku sastra sebanyak 15 judul buku. Karya sastra kelompok angkatan ini banyak melukiskan masalah adat istiadat daerah, khususnya menganhkut masalah perkawinan menurut adat. Sehubungan karya sastra yang dianggap puncak pada zaman itu adalah novel Siti Nurbaya, Angkatan Balai Pustaka disebut pula sebagai “Angkatan Siti Nurbaya”. Di luar para sastrawan yang menulis di Balai Pustaka, pada tahun 1920-an ada juga sastrawan lainnya yang menerbitkan karyanya di Fasco, majalah Jong Sumatra, dan majalah Panji Pustaka, antara lain, Muhammad Yamin (Indonesia Tumpah Darahku, 1928), Rustam Effendi (Percikan Permenungan, 1925; dan Bebasari, 1926), dan Sanusi Pane (Pancaran Cinta, 1926; Puspa Mega, 1927; dan Madah Kelana, 1930). Atas kenyataan seperti itu, Angkatan Balai Pustaka itu juga disebut sebagai “Angkatan 20”.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Angkatan Pujangga Baru adalah nama yang diberikan kepada sejumlah sastrawan yang menulis karya sastra dan terutama dimuatkan dalam majalah kebudayaan Pujangga Baru yang berciri semangat kebangsaan dan kemajuan kebudayaan. Majalah Pujangga Baru didirikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane, terbit pertama tanggal 29 Juli 1933 hingga tahun 1942 karena dilarang terbit oleh Pemerintah Fasis Jepang. Setelah vakum beberapa tahun karena zaman Jepang dan revolusi fisik Indonesia, Sutan Takdir Alisyahbana berusaha menerbitkan kembali majalah itu pada tahun 1949 hingga tahun 1953. Sastrawan yang dikelompokan dalam Angkatan Pujangga Baru, antara lain, Sutan Takdir Alisyahbana (Layar Tekermbang, 1936; Dian yang Tak Kunjung Padam, 1932; Tebaran Mega, 1936; dan Anak Perawan di Sarang Penyamun, 1941), Amir Hamzah (Nyanyi Sunyi, 1937; dan Buah Rindu, 1941), Armijn Pane (Jiwa Berjiwa, 1939; dan Belenggu, 1940), J.E. Tatengkeng (Rindu Dendam, 1934), M. Ali Hasyimi (Dewan Sajak, 1940), Rifai Ali (Kata Hati, 1941), dan Samadi (Senandung Hidup, 1941). Nama Angkatan Pujangga Baru juga diperkuat tulisan H.B. Jassin dalam bukunya Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (Jakarta: Gunung Agung, 1962) dan Puajangga Baru: Prosa dan Puisi (Jakarta: Gunung Agung, 1963). Asmara Hadi yang banyak menulis pada tahun 1930-an di majalah Panji Masyarakat, Fikiran Rakyat, Panji Pustaka, Pelopor Gerindo, Pujangga Baru, dan Tujuan Rakyat, tetapi belum menerbitkan buku kumpulan sajak, juga dikelompokan ke dalam Angkatan Pujangga Baru oleh H.B. Jassin. Sehubungan para sastrawan ini tidak hanya menulis di majalah Pujangga Baru, tetapi mulai aktif menulis pada tahun 1930-an hingga masuknya penjajahan Jepang di Indonesia 1942, mereka dinamakan pula Angkatan 30.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Angkatan 45 adalah penamaan sekelompok sastrawan yang mulai aktif menulis di seputar meletusnya revolusi fisik Indonesia tahun 1945. Pada mulanya Angkatan 45 tidak ada hubungannya dengan kehidupan sastra. Nama Angkatan 45 dalam sastra Indonesia baru diperkenalkan oleh Rosian Anwar dalam majalah Siasat, 9 Januari 1949. Setelah tulisan Rosian Anwar itu terbit, disusul tulisan Sitor Situmorang (“Angkatan 45”) dan Chairil Anwar (“Angkatan 1945”) di lembaran Gelanggang majalah Siasat, 6 November 1949. Kelompok sastrawan ini menyatukan sikap dan pikirannya dalam lembaran “Gelanggang” majalah kebudayaan Siasat. Dasar konsepsi Angkatan 45 dirumuskan H.B. Jassin berdasarkan “Surat Kepercayaan Gelanggang” (bertarikh 18 Februari 1950 dan dipublikasikan di majalah Siasat pada 22 Oktober 1950). Sastrawan yang termasuk Angkatan 45, antara lain, Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Sitor Situmorang, Usmar Ismail, Idrus, Achdiat Kartamihardja, Pramudya Ananta Toer, Harjadi S. Hartowardojo, dan Trisno Sumardjo. Pelopor Angkatan 45 adalah Chairil Anwar dengan karyanya Deru Campur Debu (1949) dan Kerikil Tajam yang Terempas dan yang Putus (1949). Hal ini diperkuat oleh H.B. Jassin dalam bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: Gunung Agung, 1956). Atas dasar kenyataan di atas, Angkatan 45 juga disebut sebagai “Angkatan Chairil Anwar” atau “Angkatan Gelanggang”.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Angkatan 66 adalah penamaan sekelompok sastrawan yang menulis pada tahun 1960-an yang diberikan oleh H.B. Jassin (“Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi”) dalam majalah Horison Nomor II Tahun I, Agustus 1966. Pernyataan H.B. Jassin ini kemudian diperkuat dengan diikuti terbitnya buku Angkatan 66: Prosa dan Puisi (Jakarta: Gunung Agung, 1966). Menurut Jassin dalam bukunya tersebut bahwa sastra Angkatan 66 disemangati oleh kehendak menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945: Konsepsi Anmgkatan 66 adalah Pancasila. Namun, Satyagraha Hoerip dalam tulisannya “Angkatan 66 dalam Kesusastraan Kita” (Horison Nomor 6 tahun I, Desember 1966) menyatakan bahwa Angkatan 66 dalam sastra Indonesia lebih tepat belandaskan pada Manifes Kebudayaan yang dicetuskan dan ditandatangani oleh para sastrawan pada tahun 1963. Para sastrawan yang termasuk Angkatan 66, antara lain, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Mansur Samin, Hartojo Andangdjaja, Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra, Slamet Sukirnanto, B. Soelarto, Ajip Rosidi, dan Bur Rasuanto</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Angkatan 2000 adalah penamaan sekelompok sastrawan yang menulis seputar tahun 1990-an hingga awal tahun 2000 yang diberikan oleh Koorie Layun Rampan dalam bukunya Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2000). Wawasan estetik Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia diwakili oleh penulis Afrisal Malna (puisi), Seno Gumira Ajidarma (cerpen), dan Ayu Utami (novel). Menurut Korrie, sajak-sajak Afrisal melansir estetika interaksi massal, cerpen-cerpen Seno mengembangkan estetika narasi komikal, dan novel Ayu Utami menampakkan pola kolase yang meninggalkan berbagai warna, tokoh, peristiwa, dan menonjolkan kekuatan literer. Selain mereka bertiga yang mewakili wawasan estetik Angkatan 2000, para sastrawan yang masuk dalam Angkatan 2000 sastra indonesia, antara lain, Abidah El Khalieqy, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Nurullah, Ahmadun Yosi Herfanda, Arief B. Ptasetyo, A.s. Laksana, Bre Redana, Cecep Syamsul Hari, Dorothea Rosa Herliany, Gus Tf., Helvy Tiana Rosa, Jamal D. Rahman, Joko Pinurbo, Joni Atiadinata, Kriapur, Moh. Wan anwar, Nenden Lilis A., Oka Rusmini, Radar Panca Dahana, Soni Farid Maulana, Taufik Ikram Jamil, Triyanto Triwikromo, Wiji Thukul, Wowok Hesti Prabowo, Yanusa Nugroho, dan Yusrizal K.W.</span><br />
</div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-85525949755602231302010-01-23T08:39:00.000+07:002010-01-23T08:39:32.228+07:00Postkolonial<span style="font-size: small;"></span><br />
<div style="text-align: justify;"><meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPUJISA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPUJISA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPUJISA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:1;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-format:other;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;}
@font-face
{font-family:"Trebuchet MS";
panose-1:2 11 6 3 2 2 2 2 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
p.MsoFooter, li.MsoFooter, div.MsoFooter
{mso-style-unhide:no;
mso-style-link:"Footer Char";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
tab-stops:center 3.0in right 6.0in;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
span.FooterChar
{mso-style-name:"Footer Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:Footer;
mso-ansi-font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
font-size:10.0pt;
mso-ansi-font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Tonggak kelahiran teori postkolonial ditandai dengan terbitnya buku Edward W. Said (1978) <i>Orientalism</i>. Tesis utama buku karya Said tersebut menggunakan pendekatan hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Sebagaimana dihantarkan oleh Michael Foucault dalam bukunya <i>The Archeology of Knowledge</i> (1972) dan <i>Discipline and Punish: The Birth of the Prison</i> (1977) bahwa kaum orientalis berpendapat masalah studi-studi ilmiah Barat mengenai Timur tidaklah semata-mata didorong oleh kepentingan pengetahuan, tetapi juga kepentingan kolonialisme itu sendiri. Pengetahuan bagi kaum Orientalis adalah untuk mempertahankan kekuasaanya, yakni pengetahuan yang dipenuhi dengan visi dan misi politis ideologis. Studi-studi tersebut juga semata-mata merupakan bentuk lain atau kelanjutan dari kolonialisme. Bangsa Timur dikontruksikan sebagai bangsa yang identik dengan irasionalitas, berakhlak bejat, kekanak-kanakan, dan “berbeda” dengan Barat yang rasional, bijaksana, dewasa, dan “normal”.<o:p></o:p></span></span><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"></span></span></m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Pandangan Edward W. Said tersebut seolah-olah menyuarakan secara eksplisit apa yang terpendam dalam kesadaran banyak orang, terutama orang-orang di negara bekas jajahan Barat, yang kini disebut sebagai “dunia ketiga”, untuk bangkit berjuang menemukan kesadaran dengan menuntut keadilan dan kesetaraan. Gugatan yang menekankan kebebasan dan penolakan atas segala pemikiran atau kekuasaan hibridasi ini, misalnya, menemukan formulasinya yang paling mantap dalam pemikiran filsuf seperti Jacques Derrida dan Michael Foucault yang merupakan sumber inspirasi Edward W. Said. Tidaklah kebetulan apabila Gayatri C. Spivak, tokoh yang terkenal karena kontribusinya yang besar dalam membangun kajian postkolonial secara terus-menerus, menulis pengantar yang demikian panjang untuk buku Jacques Derrida (1982), <i>Of Grammatology</i>. Dalam pengantar buku tersebut pada dasarnya Gayatri C. Spivak menolak atas segala kekuasaan yang menghambat dan membatasi sekaligus mengungkapkan pengutamaannya atas kebebasan. Masyarakat yang tertekan dan terjajah, <i>subaltern</i>, harus berbicara, harus mengambil inisiatif, dan menggelar aksi atas suara mereka yang terbungkam.<o:p></o:p></span></span><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"></span></span><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Kritik postkolonial lahir dan dibidani oleh Edward W. Said, Homi Babha, dan Gayatri Chakrovorty Spivak. Kritik postkolonial yang dikembangkan Spivak meliputi pemikiran poststruktualisme pada kritik sastra, filsafat kontinental, psikoanalisis, teori feminis, Marxisme, dan postMarxisme. Namun, apakah maksud sebenarnya postkolonial itu? Secara umum postkolonial dipahami sebagai teori, wacana, dan istilah yang digunakan untuk memahami masyarakat bekas jajahan, terutama sesudah berakhirnya imperium kolonialisme modern. Pengertian yang lebih luas, postkolonial juga mengacu pada objek sebelum dan pada saat terjadinya kolonialisme. Oleh sebab itu, Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya <i>Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra</i> (Yogykarta: Pustaka Pelajar, 2008:81—82) mengemukakan ada lima pokok pengertian tentang postkolonial, yaitu (1) menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial, (2) memiliki kaitan erat dengan nasionalisme, (3) memperjuangkan narasi kecil, menggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa depan, (4) membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan juga psikis, dan (5) bukan semata-mata teori, melainkan kesadaran bahwa banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan, seperti memerangi imperalisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya.<o:p></o:p></span></span><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"></span></span><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Dalam kaitannya dengan kritik sastra, postkolonial dipahami sebagai suatu kajian tentang bagaimana sastra mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial, yaitu konfrontasi antarras, antarbangsa, dan antarbudaya dalam kondisi hubungan kekuasaan tidak setara, yang telah membentuk sebagian yang signifikan dari pengalaman manusia sejak awal zaman imperialisme Eropa (Day dan Foulcher, 2008:2—3). Jadi, menurut Day dan Foulcher bahwa postkolonial adalah strategi membaca sastra yang mempertimbangkan kolonialisme dan dampaknya dalam teks-teks sastra, serta posisi atau suara pengamat berkaitan dengan isu-isu tersebut.<o:p></o:p></span></span><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> </span></span><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Apabila ditelusuri dengan cermat, tentu banyak karya sastra Indonesia modern yang merekam jejak kolonialisme bangsa Barat dan Asia Timur Raya sepanjang sejarahnya. Atas dasar kenyataan sejarah bahwa Indonesia pernah menjadi bagian dari kolonialisme atau bangsa yang terjajah hingga ratusan tahun, dan banyaknya karya sastra yang merekam jejak penjajahan, tentu sastra Indonesia modern menjadi gudangnya penelaahan postkolinialisme. Beberapa novel yang merekam jejak kolonialisme di Indonesia dapat sebagai contoh telaah postkolonialisme dan telah dilakukan oleh Nyoman Kutha Ratna (2008) dalam bukunya <i>Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra</i>. Ratna mencoba menelaah sebanyak 13 novel yang merekam jejak kolonialisme, yaitu <i>Cerita Nyai Dasima</i> (G. Francis, 1896), <i>Cerita Nyai Paina</i> (H. Kommer, 1900), <i>Max Havelar</i> (Multatuli, 1860), <i>Manusia Bebas</i> (Suwarsih Djojopuspita, 1940), <i>Sitti Nurbaya</i> (Marah Rusli, 1922), <i>Salah Asuhan</i> (Abdoel Moeis, 1928), <i>Layar Terkembang</i> (Sutan Takdir Alisyahbana, 1937), <i>Belenggu</i> (Armijn Pane, 1940), <i>Atheis</i> (Achdiat Kartamihardja, 1949), <i>Pulang</i> (Toha Mohtar, 1958), <i>Bumi Manusia</i> (Pramoedya Ananta Toer, 1981), <i>Burung-Burung Manyar</i> (Y.B. Mangunwijaya, 1981), dan <i>Para Priyayi</i> (Umar Kayam, 1992). Dalam ketiga belas karya sastra itulah terekam secara jelas jejak-jejak kolonial bangsa Barat terhadap bangsa Indonesia, terutama masalah identitas bangsa.<o:p></o:p></span></span><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> </span></span><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> Selain itu, Keith Foulcher dan Tony Day (2008) mengumpulkan beberapa artikel atau kertas kerja tentang kritik sastra postkolonial dalam buku <i>Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial</i> (terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Koesalah Soebagiyo Toer dan Monique Soesman, diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004). Beberapa karya sastra Indonesia yang dibicarakan dalam buku tersebut dan dianggap memilki kaitan dengan poskolonial adalah <i>Sitti Noerbaja</i> karya Marah Roesli, <i>Salah Asoehan</i> karya Abdoel Moeis, dan <i>Durga Umayi</i> karya J.B. Mangunwijaya. Menurut mereka berdua, Keith Foulcher dan Tony Day (2008:5), ada dua topik utama pembicaraan tentang kritik postkolonial dalam sastra Indonesia, yaitu masalah “bahasa” dan “identitas”. Masalah bahasa berkaitan dengan pengaruh-pengaruh bahasa kolonial terhadap bahasa terjajah, cara-cara pengungkapan postkolonilitas dalam teks-teks sastra Indonesia, dan cara-cara yang digunakan oleh para penulis bekas jajahan dalam “mendekolonisasi” (kesadaran kebangsaan) bahasa-bahasa penjajahan besar. Sementara itu, masalah identitas berkaitan dengan masalah hibriditas, yakni masalah jatidiri bangsa yang berubah karena adanya pengaruh budaya dari bangsa kolonial, termasuk mimikri (tindakan meniru) budaya kolonial oleh bangsa terjajah dan <i>subaltern</i> (kaum yang terpinggirkan atau orang yang terjajah).<o:p></o:p></span></span><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-61240398061386873702010-01-23T08:35:00.000+07:002010-01-23T08:35:24.460+07:00Puisi Kongkret<span style="font-size: small;"></span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;"></span><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Puisi konkret adalah penamaan ragam puisi untuk tontonan mata (poem for the eye). Keberadaan ragam puisi ini dimulai pada abad ke-17 dengan ulah penyairnya menyusun-nyusun kata (word shapes) ke dalam silhouettes silang, altar, tiang-tiang, dan piramida, seperti pada puisi “Easter Wings” karya George Herbert (1593—1633), “Grasshopper” karya E.E. Cummings (1894—1962), dan “Skeleton Key” karya John Hollander (1929). Dalam puisi tersebut penyair memanfaatkan kata dan larik-larik yang diatur sedemikian rupa sehingga membentuk lukisan atau gambar tertentu, seperti gambar kunci, gambar menara Eiffel, dan gambar belalang sesuai dengan tema dan amanat yang disampaikan oleh penyairnya. Ragam puisi konkret ini disebut pula sebagai puisi berpola.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Dalam sejarah perpuisian di Indonesia, ragam puisi konkret menjadi isu yang besar tatkala muncul “Pameran Puisi Konkret” pertama kali (dan terakhir) dalam kesempatan penyelenggaraan PUISI ASEAN I, 1978, di Galeri Baru, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pameran itu melibatkan beberapa penyair Indonesia, Malaysia, dan Thailand, antara lain, Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Putu Wijaya, Abdul Hadi W.M., Ibrahim Sattah, Slamet Sukirnanto, Ikranagara, Akhudiat, Jeihan, Hamid Jabbar, Sides Sudyarto DS., Adri Darmadji Woko, Latiff Mohidin, dan Angkarn Kalayanpongs. Puisi konkret yang dipamerkan cukup beragam sesuai dengan kreativitas setiap penyair, khususnya masalah “kata” dan “kertas”. Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, dalam kesempatan itu memamerkan puisinya berjudul “Luka”. Dalam puisi itu Sutardji menghadirkan satu kilogram daging segar di atas kanvas putih, posisi daging menggantung pada tiang, darah segar tampak mengucur di atas tulisan berbunyi “ha ha”. Abdul Hadi W.M. memamerkan puisi poster “Sapi” yang menampilkan gambaran silhuet seekor sapi dan pengendaranya. Wujud silhoutte pengendara sapi ditulis grafis: “k sapi p/ jak sapi per/ ajak sapi pera/ jak sapi per/ ak sapi p/ sapi perah/ sapi perah/ sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ ....” dan setrusnya. Silhuet sapi ditempeli guntingan berita surat kabar dan guntingan judul berita yang ada foto-fotonya.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Pameran puisi konkret itu diiringi dengan musik yang meraung dan mendesing tidak berkeputusan. Setiap puisi konkret yang dipamerkan oleh para penyair ASEAN itu menyatu dengan ruang, waktu, dan suasana sehingga pemahaman makna dan amanatnya seketika itu juga. Unsur-unsur nonkata berwujud rupa, gambar, daging, cat warna, kanvas, kertas, guntingan koran, bunyi, musik, tata letak, ruang, grafis, kata, larik, bahkan tari dan gerak pun mewarnai pemahaman dan penikmatan ragam puisi konkret. </span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Sebagai ragam puisi untuk tontonan mata, puisi konkret perlu seperangkat alat bantu lain untuk dapat memahami makna dan amanatnya. Puisi berjudul “Kata” karya Danarto yang ikut dipamerkan dalam kegiatan tersebut hanya berupa lukisan atau gambar kotak yang terbagi 9 bidang sama sisi, dan tidak ada unsur kata kecuali judul puisi. Puisi “Kata” itu baru “memunculkan” makna dan dapat sempurna untuk dinikmati ketika karya itu “dibacakan” (dipentaskan oleh penarsi Sardono W. Kusumo) dalam acara penutupan Pertemuan Sastrawan Indonesia 1974 di Teater Tertutup TIM Jakarta. Mula-mula tampil ke pentas adalah bunyi musik instrumental dan lampu menyiapkan pentas, lalu muncul sebuah kotak karton putih yang tampak menari-nari mengikuti irama musik dengan pose-pose tertentu di atas pentas. Kotak tersebut pada puncaknya berhenti di tengah pentas, dua tangan keluar dari dalam kotak mengeluarkan isi perut kotak, bertuliskan “Kata kata kata kata ....” Dalam irama musik tangan tersebut tidak henti-hentinya menyeret keluar kertas bertuliskan “kata” yang tidak habis-habisnya dari dalam kotak. Sampai pada akhirnya, tangan itu terkulai, lemas, dan mati tanpa berhasil menguras isi perut kotak “Kata”.</span><br />
</div><div style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Demikian halnya terhadap puisi Sutardji Cakzoum Bachri yang berjudul “Q” yang terdiri atas lambang-lambang “tanda seru [!]” (sebanyak 17 yang diatur bertebaran), “a”, “lif”, “l”, “la”, “lam”, “i” (sebanyak 13 huruf), dan “m” (sebanyak 66 huruf, yang diatur 30 sebelum “i” dan 36 huruf setelah “i”. Lambang-lambang ini secara konvensional tidak dapat disebut kata, tetapi apabila disusun akan berbunyi “alim lam mim”. Secara visual-auditif puisi konkret “Q” karya Sutardji tersebut susah untuk dapat dipahami dan dinikmati makna dan amanatnya. Ketika Sutardji “membacakan” puisi konkretnya “Q” itu di TIM, Juli 1973, di atas pentas Sutardji mulai dengan konsentrasi. Lalu, dia bergerak mengitari arena dalam berlari-lari kecil sambil tidak henti-hentinya mengucapkan satu per satu bunyi puisinya itu, makin lama makin intens, dan akhirnya berhenti pada klimaks menghempaskan bunyi-bunyi terakhir sajaknya “l-la-lam-mmiiiimmmm” sambil mampus menumbangkan tubuhnya ke belakang laksana pohon tua yang tumbang.</span><br />
</div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-69297202376875019512010-01-23T08:12:00.001+07:002010-01-23T08:32:02.233+07:00Puisi mBeling<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPUJISA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPUJISA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPUJISA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:1;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-format:other;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;}
@font-face
{font-family:"Trebuchet MS";
panose-1:2 11 6 3 2 2 2 2 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
font-size:10.0pt;
mso-ansi-font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Puisi mbeling adalah penamaan pada sajak-sajak yang bersifat main-main, ringan, dan bertujuan membebaskan rasa tertekan, gelisah, dan tegang, serta mendobrak kemapanan yang ada. Kata <i>mbeling</i> berasal dari bahasa Jawa yang kurang lebih berarti: <i>nakal, kurang ajar, sukar diatur</i>, dan <i>suka memberontak</i> terhadap kemapanan dengan cara-cara yang menarik perhatian. Hal ini berbeda dengan kata <i>urakan</i>, yang dalam bahasa Jawa lebih dekat dengan sikap <i>kurang ajar</i> dan asal beda, kata <i>mbeling</i> mengandung unsur kecerdasan serta tanggung jawab pribadi.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Pada awalnya puisi mbeling merupakan bagian gerakan yang dicetuskan oleh Remy Sylado dengan dimaksudkan untuk mendobrak sikap Orde Baru yang dianggap feodal dan munafik. Benih gerakan ini mulai disemikan oleh Remy Sylado pada tahun 1971, yaitu ketika Remy mementaskan dramanya berjudul “Messiah II” di Bandung. Namun, pada waktu itu istilah <i>mbeling</i> belum diperkenalkan oleh Remy. Istilah <i>mbeling</i> baru diperkenalkan oleh Remy Sylado pada awal tahun 1972 dalam “undangan pementasan teater <i>mbeling”</i> yang mementaskan dramanya dengan judul “Genesis II”.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Setelah pementasan teater <i>mbeling</i> “Genesis II” di Bandung itu, Remy Sylado dan Sunento Juliman dipercaya mengasuh rubrik “Puisi Mbeling” pada majalah <i>Aktuil</i> (terbit di Bandung) selama dua tahun 1972—1973. Selama rubrik “Puisi Mbeling” itu diselenggarakan, setiap bulannya redaksi menerima kurang lebih 300 amplop surat yang berisi puisi <i>mbeling</i> dari kaum muda. Dalam salah satu pengantarnya di rubrik “Puisi Mbeling” itu Remy mengungkapkan bahwa “puisi adalah pernyataan akan apa adanya. Jika puisi adalah apa adanya, maka dengan begitu terjemahan mentalnya, hendaklah diartikan bahwa tanggung jawab moral seorang seniman ialah bagaimana dia memandang semua kehidupan dalam diri dan luar lingkungannya secara menyeluruh, lugu, dan apa adanya…. Tapi tanggung jawab (penyair) yang pertama dan utama adalah bahwa sebagai seniman dia harus memiliki gagasan”.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Ciri utama puisi mbeling adalah berkelakar dan melontarkan kritik sosial. Dalam berkelakar puisi mbeling mempermainkan kata-kata, arti, bunyi, dan tipografi untuk mencapai efek kelakar tersebut. Tidak ada satu pun objek yang diharamkan menjadi bahan kelakaran puisi <i>mbeling</i>. Ejekan terhadap sikap sungguh-sungguh penyair umumnya menjadi suasana yang cair dan menarik. Sambil berkelakar kepada siapa pun, puisi <i>mbeling</i> melontarkan kritik sosial terhadap berbagai kemapanan yang ada, terutama pada zaman Orde Baru.</span><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif"; font-size: 12pt;"> </span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif"; font-size: 12pt;">Menurut Sapardi Djoko Damono dalam artikelnya “Puisi mBeling Suatu Usaha Pembebasan” (<i>Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan</i>, Jakarta: Gramedia, 1983) keberadaan puisi <i>mbeling</i> tidak hanya dimuat dalam majalah <i>Aktuil</i>, tetapi juga dimuat dalam <i>Astaga, Gadis, Midi, Top</i>, dan <i>Suara Karya</i>. Beberapa penyair yang telah menulis puisi <i>mbeling</i>, antara lain, Remy Sylado, Mahawan, Hardo Waluyo, Gumilar Suparyo, Jeihan, Dede S. Dukat, dan Huda Vanzgoef. Menurut Remy Sylado dari hasil wawancara KPG, 19 Mei 2004, puisi <i>mbeling</i> didukung oleh Seno Gumira Ajidarma, Abdul Hadi W.M., tiga bersaudara Massardi (Noorca, Yudhistira, dan Adi), Efix Mulyadi, Kurniawan Junaedi, dan Edy Herwanto. Penelitian terhadap puisi <i>mbeling</i> telah dilakukan tahun 1977 oleh Soedjarwo, Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Yudiono K.S., dari Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra-Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang, dan hasilnya diterbitkan menjadi buku <i>Puisi Mbeling: Kitsch atau Sastra Sepintas</i> (Magelang: Indonesia Tera, 2001). Untuk mengabadikan tonggak puisi <i>mbeling</i> yang ditulisnya, Remy Sylado telah mengumpulkan puisi-puisi mbelingnya (1971—2002), sebanyak 143 puisi, dan kemudian diterbitkan menjadi buku <i>Puisi Mbeling Remy Sylado</i> (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Juli 2004).</span><br />
</div><br />
OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-58359443193477544612010-01-19T22:11:00.000+07:002010-01-19T22:11:52.738+07:00Sastra Sebagai Pendidikan Jiwa<span style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: small;"></span><div style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pendidikan jiwa sebagai hak asasi manusia yang mendasar merupakan alat pemberdaya kemampuan dan sebagai jalan utama menuju masyarakat belajar sepanjang hayat melalui jalur pendidikan nonformal dan informal. Hal itu sesungguhnya merupakan langkah penting bagi pem¬bangunan kualitas sebuah bangsa yang bermartabat dan berkarakter sehingga tidak tercerabut dari akar tradisi dan budayanya. Dengan cara seperti itu lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansinya dengan kepentingan negara dan karakteristik peserta didik serta tetap memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan visi dan misinya yang berbasis kompetensi sehingga menjamin pertumbuhan keimanan dan ketakwaan umat manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pengua¬saan keterampilan hidup, akademik, seni yang dominan nilai estetikanya, pengembangan kepribadian bangsa Indonesia yang kuat, sehat, cerdas, kompetitif, bermartabat, dan berakhlak mulia.<br />
Salah satu konsep pendidikan jiwa melalui karya sastra dikemukakan oleh Sri Mangkunegara IV, sastrawan pujangga dan negarawanl bijak pada abad XIX, melalui beberapa karya yang ditulisnya, yaitu Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama. Sri Mangkunegara IV adalah seorang pujangga istana dan sekaligus juga seorang raja di Jawa yang boleh dikatakan sebagai “sabda pandita ratu”, sabda pendeta raja, artinya ucapan atau kata-kata raja itu sekaligus berisi ajaran tentang hal-hal duniawi dan sekaligus hal-hal yang bersifat surgawi. Raja berhak mengatur tata kehidupan rakyatnya yang bersifat duniawi, yakni masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan di dunia seperti pendidikan, kemasyarakatan, keprajuritan, pertanian, hukum, dan perkawinan. Sementara itu, pendeta hanya berhak mengatur tata cara kehidupan yang bersifat rohani, religiusitas, atau hal-hal yang berhubungan dengan masalah surgawi. Namun, apabila ada seorang pendeta dan sekaligus raja, maka dia berhak mengatur tata kehidupan masyarakat tentang masalah duniawi dan sekaligus surgawi. Hal inilah yang tercermin pada diri raja-raja Jawa, termasuk Sri Mangkunegara IV, sebagai seorang pandita ratu atau satria pinandita, ksatria sekaligus pendeta atau dengan idiom Islam yang digunakan sebagai kalifatullah sayidin panatagama. <br />
Tiga buah karya Sri Mangkunegara IV, yaitu Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama, sudah sangat terkenal dan mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan tata ekosistem nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa. Dalam khazanah sastra masyarakat Jawa, karya sastra ini termasuk kategori edipeni dan adiluhung yang ditulis dalam bentuk tembang atau puisi, selain dikenal teks-teks sastra yang bersifat naratif dengan bertumpu pada penceritaan seorang tokoh atau suatu kisah tertentu dalam bentuk babad atau gancaran, dikenal pula teks-teks puitik yang berisi didaktik dan moralistik atau etika. Teks-teks seperti inilah yang disebut dengan sastra piwulang atau sastra wejangan, yakni sebuah karya sastra yang berisi ajaran tentang pendidikan jiwa, tentang ilmu lahir dan batin untuk mencapai kesempurnaan hidup di dunia hingga akhirat. Ciri khas jenis sastra seperti ini diwarnai oleh diskripsi tentang tata tingkah laku pergaulan hidup sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara, beragama, dan berbudaya. Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama sebagai teks sastra piwulang atau sastra wejangan pun merupakan teks yang memberikan tuntunan ilmu keutamaan lahir dan batin, yakni ilmu pengetahuan yang berisi pendidikan jiwa untuk membangun kehidupan moral, budi pekerti luhur, berakhlak mulia, dan kesempurnaan hidup di dunia hingga akhirat dengan teladan-teladan utama dari tokoh-tokoh yang berpengaruh, baik dari dunia sejarah kehidupan manusia maupun tokoh dalam dunia pewayangan. <br />
Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama karya Mangkunegara IV sebagai sastra piwulang telah menyapa pembacanya dengan cakupan yang luas, baik dari dimensi ruang maupun dimensi waktunya. Ruangnya pun tidak terbatas meliputi seluruh tanah Jawa, dan juga Nusantara, bahkan sampai ke negeri Suriname di Amerika Latin dan negeri Belanda di daratan Eropa. Waktunya pun membentang cukup panjang dari abad XIX, diperkirakan diciptakan semasa pemerintahan Sri Mangkunegara IV antara tahun 1853--1881, hingga abad XXI sekarang ini. Dalam perjalanan ruang dan waktu yang panjang itu Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama telah mampu begitu dalam menyentuh alam estetika dan etika manusia Jawa. Keberadaannya pun telah lama diselamatkan oleh rasa cinta dan kehauasan masyarakat pemiliknya, yakni manusia Jawa, terhadap tuntunan ilmu keutamaan yang menjanjikan ajaran tentang hidup dan kehidupan untuk tingkah laku yang mulia, beradab, dan bermartabat. <br />
Sesuai dengan namanya, judul buku menyiratkan keseluruhan isi, Wedhatama berisi ilmu pengetahuan atau ajaran keutamaan tentang perilaku kehidupan manusia di dunia. Atas dasar isinya inilah Wedhatama dikategorikan sebagai sastra piwulang atau sastra wejangan tentang etika atau moral hidup. Ir. Sri Muljono (1979:57) mengkategorikan Wedhatama sebagai sastra suluk atau sastra tasawuf, karena di dalam karya itu terdapat ajaran tentang kesempurnaan hidup, mirip dengan karya-karya para sufi, seperti adanya tataran sembah raga, sembah cipta, sembah rasa, dan sembah kalbu. Bahkan karya ini telah dibuat bahan disertasi oleh Mohammad Ardani dari Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah (1995) dengan judul: Al-Quran dan Sufisme Mangkunegara IV: Sutdi Serat-Serat Piwulang (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf).<br />
Piwulang dalam Wedhatama memumpunkan ajaran tentang etika dan etiket hidup. Ajaran tentang etika, misalnya, seseorang harus berjiwa bersih, sepi ing pamrih, tidak sombong dan congkak, harus dapat tenggang rasa, suka memberi maaf kepada orang lain, rela, tawakal, sabar, jujur, dan menghormati pendapat orang lain. Sementara itu, ajaran tentang etiket, misalnya, seseorang harus dapat bersikap sopan, santun, pandai menyesuikan diri, mampu membaca pikiran orang lain agar tidak mengecewakan dalam setiap pertemuan. <br />
Selain piwulang tentang etika dan etiket, Wedhatama juga berisi ajaran tentang kesempurnaan hidup melalui jalan melakukan kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cara melakukan kebaktian kepada Tuhan itu dapat melalui empat tataran sembah, yakni sembah raga, sembah cipta, sembah rasa, dan sembah kalbu. Ir. Sri Mulyono (1979:59) memadankan keempat sembah dalam Wedhatama itu sama atau mirif dengan ajaran yang terdapat dalam tasawuf tentang syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. <br />
Wirawiyata adalah karya Mangkunegara IV yang penerbitan pertamanya bersamaan dengan Tripama, yaitu pada tahun 1927 oleh pihak Mangkunegaran sendiri. Setelah itu, Wirawiyata sering diterbitkan ulang oleh penerbit-penerbit swasta di Jawa, baik masih dalam bentuk aslinya menggunakan aksara Jawa maupun sudah ditranskripsi dalam bentuk tulisan Latin. Secara estetis Wirawiyata ditulis dalam bentuk tembang macapat yang terdiri atas 56 bait, terbagi dalam dua pupuh, yaitu (1) Sinom 42 bait, dan (2) Pangkur 14 bait. Karya tulis ini selesai pembuatannya pada hari Kamis, tanggal 1 Sakban, tahun Ehe, 1788 Jawa atau 1860 Masehi. Pembuatan Wirawiyata ini bertepatan dengan tiga tahun setelah beliau diresmikan sebagai Sri Mangkunegara IV. <br />
Sesuai dengan judul naskah ini, Wirawiyata, kata wira artinya ‘seorang lelaki perwira’ atau ‘prajurit yang pemberani’, dan kata wiyata berarti ‘piwulang’ atau ‘ajaran’. Jadi, wirawiyata artinya ‘ajaran tentang keprajuritan’ atau ‘wejangan buat para prajurit’. Sri Mangkunegara IV ingin memiliki Korps Legioen Mangkoenegaran yang ada di bawah pimpinannya harus berbeda dari sebelumnya. Oleh karena itu, dibuatlah ajaran tentang keprajuritan ini dalam bentuk tembang macapat yang dapat digunakan sebagai doktrin keprajuritan Mangkunegaran. <br />
Terekspresikan dalam dua pupuh, Sinom dan Pangkur, doktrin ajaran keprajuritan itu menyangkut: janji prajurit yang harus dipegang teguh dan kedisiplinan sebagai prajurit yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu, seorang prajurit harus memiliki rasa ketaatan kepada atasan, ketakwaan kepada Tuhan, ketidaksombongan, dan ketidaksewenangan dalam melaksanakan tugas sebagai prajurit Mangkunegaran. <br />
Seorang prajurit yang baik harus dapat menepati janji seperti yang diucapkan waktu pelantikan. Janji itu harus dipegang teguh selama dia menjadi prajurit untuk membela negara dan bangsa. Ingkar akan janji prajurit akan membawa malapetaka, baik bagi diri sendiri yang menderita lahir batin maupun bagi bangsa dan negara yang dapat menimbulkan rasa malu orang tua, kesengsaraan dan penderitaan bangsa dan negara. <br />
Kedisiplinan seorang prajurit perlu dilakukan dengan tepat dan tegas. Seorang prajurit harus dapat mentaati peraturan yang ada, harus disiplin waktu, disiplin kerja, dan disiplin dalam menjalankan tugas. Pelanggaran terhadap disiplin itu akan mengakibatkan jatuhnya sangsi terhadap prajurit, desersi, indisipliner, dan hukuman dari komandannya. Sebaliknya, apabila seorang prajurit dapat melaksanakan disiplin itu dengan baik, menyelesaikan tugas tepat waktu, tidak mbalela, seorang prajurit akan cepat naik pangkat, dan memperoleh penghargaan sesuai dengan jasanya dan pengorbannya.<br />
Ketaatan seorang prajurit kepada atasan, komandan atau panglima, merupakan bakti yang harus dilaksanakan. Atasan prajurit, dalam hal ini komandan atau panglima perang mereka, merupakan koordinator pengendali stabilitas kesatuan dan persatuan prajurit, serta pemegang komando tugas operasional lapangan. Komandan atau panglima dalam hal keprajuritan adalah wakil raja sebagai panutan dan penuntun dalam melaksanakan tugas keprajuritan. Oleh karena itu, prajurit harus taat kepada atasan dan tidak boleh bertindak sendiri-sendiri. Apabila mereka tidak taat kepada atasan, kesatuan prajurit mudah dipecah belah, mudah diadu domba, dan mudah hancur bercerai berai atau kocar-kacir. <br />
Tidak sepantasnya dan tidak pada tempatnya apabila seorang prajurit memikirkan hal kematian dalam peperangan. Tugas prajurit untuk berperang harus diartikan sebagai tugas membela negara dan bangsa,semata menjalankan perintah raja. Raja dalam hal ini dianggap sebagai kalifatullah, wakil Tuhan di dunia, sehingga perintah atau titahnya harus diartikan sebagai perintah atau titah Tuhan. Hidup dan mati seseorang itu berdasarkan ketentuan Tuhan.<br />
Sifat sombong atau takabur harus dihindari oleh seorang prajurit karena bertentangan dengan sumpah atau janji yang telah diucapkan. Sombong atau takabur merupakan sifat yang tercela, tidak terpuji, dan dapat mencemarkan nama korps dan negara. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah apabila seorang prajurit harus dapat menghindari sifat sombong, takabur, congkak, dan berbangga diri apa pun pangkat yang dimilikinya. <br />
Persoalan bunuh-membunuh dalam peperangan itu suatu perbuatan yang wajar dalam keprajuritan. Namun, sebagai seorang prajurit yang baik harus tahu diri kapan dan di mana ia harus membunuh musuhnya. Apabila seorang musuh itu telah menyerahkan diri, mengakui kesalahan dan kekalahannya, maka seorang prajurit tidak diperkenankan membunuh musuhnya yang telah menyerahkan diri. Musuh itu harus diperlakukan secara baik, tidak boleh disiksa, dan tidak boleh ditindak sewenang-wenang tanpa perikemanusiaan. <br />
Dalam pupuh Pangkur disebut tentang tata cara atau pedoman bagi seorang senapati atau panglima dalam memilih para prajurit yang baik. Seorang prajurit yang dipilih haruslah seorang pemuda, berasal dari keluarga yang bermental baik, pribumi atau penduduk asli, tidak cacat, badan sehat, tegap, dan kokoh, serta berbakat sebagai prajurit. Tentang perilakunya pun juga harus yang baik-baik dan tidak suka berfoya-foya, artinya hekmat dan bersahaja.<br />
Demikian kurang lebih konsep pendidikan jiwa yang tertuang dalam beberapa karya Sri Mangkunegara IV yang dapat kita jadikan pedoman dalam mentunkan arah kebijaksanaan hidup.</span><br />
</div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4313029490396674779.post-8575097988516842722010-01-19T22:07:00.000+07:002010-01-19T22:07:15.244+07:00Sastra Sufistik<span style="color: purple; font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;"></span><div style="color: purple; font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">SASTRA SUFISTIK<br />
Sastra sufistik adalah ragam karya sastra yang mendapat pengaruh kuat dari sastra sufi atau sastra tasawuf, termasuk sistem pencitraannya, penggunaan lambang-lambang, dan metafora-metaforanya. Sastra sufistik biasanya mengandung nilai-nilai tasawuf, berisi pengalaman-pengalaman tasawuf, mengungkapkan kerinduan sastrawan akan Tuhan, hakikat hubungan makhluk dengan khalik, dan perilaku yang tergolong dalam pengalaman religius. Jadi, sastra sufistik mempunyai pertalian yang kuat dengan tasawuf dan sastra sufi karena tasawuf dan sastra sufi sebagai salah satu sumber ilham penulisan karya-karya baru yang dilahirkannya.<br />
Abdul Hadi W.M. dalam bukunya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) menyatakan bahwa sastra sufistik dapat disebut juga sebagai sastra transendental, karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental seperti ekstase, kerinduan dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden. Pengalaman ini berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis. Sementara itu, Bani Sudardi dalam bukunya Sastra Sufistik: Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003) menyatakan bahwa sastra sufistik adalah karya sastra yang mengandung ajaran sufi. Bani mencontohkan sastra sufistik dalam sastra Indonesia sudah ada sejak kepenyairan Amir Hamzah, Chairil Anwar, hingga ke Danarto pada tahun 1970-an.<br />
Abdul Hadi W.M lebih lanjut menyatakan bahwa kecenderungan sastra sufistik di Indonesia mulai semarak pada dasawarsa 1970-an hingga tahun 1980-an. Kecenderungan sastra sufistik ini mula-mula dipelopori oleh Danarto dengan gerakan “kembali ke akar, kembali ke sumber”. Pengikut gerakan ini menjadikan para sufi, seperti Al Hallaj, Fariduddin Attar, Ibn Arabi, Jalaludin Rumi. Hafiz, Sa’di, Hamzah Fansuri, dan Muhammad Iqbal, bahkan Sunan Bonang dan Syeh Siti Jenar, sebagai salah satu sumber penulisan karya sastra di Indonesia. Selain itu, mereka juga menghubungkan diri dengan sumber-sumber agama beserta sistem kepercayaan, peribadatan, dan bentuk-bentuk spiritualitasnya. Agama tidak mesti dipahami sebagai doktrin ketuhanan dan teologi, tetapi juga sebagai sistem yang mencakupu keseluruhan aspek kehidupan.<br />
Beberapa sastrawan Indonesia modern yang menulis sastra sufistik, antara lain, Danarto, Kuntowijoyo, Abdul Hadi W.M., M. Fudoli Zaini, dan Sutardji Calzoum Bachri. Danarto melalui buku kumpulan cerpennya Godlob, Adam Makrifat, dan Berhala; Kuntowijoyo melalui karyanya Khotbah di Atas Bukit (novel), Isyarat, dan Suluk Awang Uwung (kumpulan sajak); M. Fudoli Zaini dengan karyanya Arafah; Sutardji Calzoum Bachri dengan karyanya O Amuk Kapak (1981); Motinggo Busye dengan karyanya Sanu Infinita Kembar (1985); dan Abdul Hadi W.M. dalam kumpulan sajaknya Tergantung Pada Angin (1976) dan Anak Laut Anak Angin (1984), terutama sajaknya “Tuhan, Kita Begitu Dekat”, memperlihatkan kecenderungan sufistik yang bersifat mistikal dan supralogis (transenden sekaligus imenen).<br />
Ciri-ciri yang melekat pada karya sastra sufistik, menurut Abdul Hadi W.M., antara lain, (1) suatu gambaran upaya manusia untuk dapat bertunggal dengan Tuhan, yakni suatu jalan kerohanian menuju Tuhan yang berangkat dari ajaran tauhid Islam; (2) mencerminkan perenungan yang dalam dan keleluasan berpikir serta wawasan yang jauh tentang semesta raya seisinya; (3) dalam upaya mencari kebenaran, sastra sufistik memadukan antara zikir dan pikir secara sungguh-sungguh dan maksimal; (4) syarat dengan pesan pembebasan dan pencerahan jiwa yang terbelenggu dalam kegelapan dunia, dengan adanya pesan pembebasan dan pencerahan jiwa ini membuat sastra sufistik semacam profektik (kenabian) dan apokaliptik (kewahyuan); (5) memberi gambaran jarang yang menunjukkan pesimisme atau rasa putus asa dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan, bahkan sering menyuarakan kegembiraan spiritual dan kearifan dalam menghadapi silau pesona dunia; (6) tidak pernah puas dengan aspek-aspek lahiriah dan apa yang telah dicapai oleh akal pikiran manusia, justru sastra sufistik mencari hakikat yang tersembunyi dalam rahasia alam dan kehidupan; dan (7) keindahan yang terpancar dalam sastra sufistik adalah keindahan-dalam yang transendental dan sekaligus imanen. Puncak pengalaman mistik selalu bersinggungan dengan pengalaman estetis.</span><br />
</div>OBOR SEJATIhttp://www.blogger.com/profile/07831475713789098752noreply@blogger.com0