Senantiasa Berusaha untuk Dapat Membangkitkan Semangat Berjuang Mencapai Prestasi Gemilang dengan Bertekun Setiap Hari Melaksanakan Karya, Beribadah, dan Berbakti Kepada Tuhan Yang Maha Esa
Selamat Datang
Selamat datang Saudara-saudaraku semuanya di blog "Puja-Puji" ini. Selamat menikmati, mencermati, dan mengoreksi sajian yang saya tampilkan dalam blog ini. Sekiranya Saudara berkenan memberi kritik, saran, komentar, dan masukan apa pun terhadap tampilan blog ini tentu saya merasa senang, bangga, dan terhormat, agar terjadi komunikasi dua arah. Silakan menuliskannya di tempat yang telah disediakan. Salam kami.
Persoalan pemeliharaan lingkungan hidup yang bersih dan
sehat menjadi masalah yang pelik setelah manusia mengenal perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi canggih serta gaya hidup modern. Semakin berkembang
atau bertambahnya manusia dan makhluk lain penghuni dunia, dari tahun ke tahun,
bahkan dari abad ke abad, semakin menambah persoalan pemeliharaan lingkungan
hidup yang bersih dan sehat bagi penghuni dunia, alam semesta seisinya,
termasuk Indonesia. Oleh karena itu, buku hasil penelitian ini berusaha
menganalisis makna dan pesan utama 18 puisi Indonesia modern yang ditulis oleh 8
penyair sastra Indonesia modern (Eka Budianta, Slamet Sukirnanto, Sapardi Djoko
Damono, Taufiq Ismail, Suryatati A. Manan, Dorothea Rosa Herliany, Iwan Nurdaya
Djafar, dan Ataswarin Kamariah Moewardi Bambang Sarah) sebagai salah satu upaya
untuk menyadarkan masyarakat agar senantiasa menjaga, memelihara, dan
melestarikan lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Masalah penelitian ini adalah bagaimanakah makna dan
pesan utama persoalan pemeliharaan lingkungan hidup yang bersih dan sehat dalam
puisi Indonesia modern yang ditulis oleh delapan penyair sastra Indonesia
modern di tengah masyarakat perkotaan yang padat penduduknya, terutama masalah
pengelolaan sampah dan limbah, usaha pencegahan berbagai polusi udara,
pemeliharaan aliran sungai dan drainase, pelestarian hutan demi keseimbangan
ekosistem, konteks sosial masyarakat enam kota di Indonesia dengan masalah
lingkungan hidup, tingkat keberterimaan masyarakat enam kota di Indonesia atas
makna dan pesan utama 18 puisi lingkungan hidup, serta bagaimana tanggapan, pesan, dan harapan
masyarakat enam kota di Indonesia tentang puisi dan kesadaran masyarakat akan
lingkungan hidup?
Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan dan
mendeskripsikan makna dan pesan utama yang termuat dalam 18 puisi bertema
lingkungan hidup, konteks sosial masyarakat pembaca enam kota di Indonesia
dengan masalah lingkungan hidup, tingkat keberterimaan masyarakat enam kota di
Indonesia atas makna dan pesan utama 18 puisi lingkungan hidup, serta bagaimana
tanggapan,
pesan, dan harapan masyarakat enam kota di Indonesia tentang puisi dan
kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup. Dengan masalah dan tujuan ini, hasil yang diharapkan dari penelitian adalah
agar masyarakat memiliki kesadaran untuk memelihara lingkungan hidupnya yang
bersih dan sehat, bebas dari sampah dan limbah yang berserakan, sungai dan
drainase airnya tetap jernih dan dapat lancar mengalir, berusaha mencegah
terjadinya polusi udara, dan masyarakat gemar menanam dan memelihara pepohonan
demi keseimbangan ekosistem.
Berdasarkan masalah dan tujuan tersebut penelitian ini
menggunakan metodologi pendekatan kualitatif, yaitu melalui analisis konten
terhadap 18 puisi Indonesia modern untuk menemukan makna dan pesan utamanya,
lalu menyebarluaskan makna dan pesan utama 18 puisi tersebut kepada masyarakat
dengan teknik kuesioner yang dilengkapi dengan tanya jawab atau wawancara
kepada 180 responden yang berada di Jakarta, Pekanbaru, Tanjung Pinang,
Pontianak, Mataram, dan Makassar.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa makna dan pesan utama 18 puisi
Indonesia modern yang bertema lingkungan hidup dan ditulis oleh delapan penyair
sastra Indonesia modern adalah masyarakat diharapkan untuk senantiasa dapat:
(1) mengelola sampah dan limbah agar tidak menimbulkan berbagai penyakit,
terekspresikan dalam puisi “Sampah” karya Ataswarin, “Potret Tukang Sampah”
karya Eka Budianta, dan “Air Selokan” karya Sapardi Djoko Damono, (2)
mengusahakan pencegahan polusi udara agar dapat diperkecil ambang batas
kotornya sehingga udara kembali menjadi bersih dan sehat, terekspresikan dalam
puisi “Polusi Udara” karya Ataswarin, “Pohon di Tepi Jalan” karya Sapardi Djoko
Damono, “Menengadah ke Atas, Merenungi Ozon yang Tak Tampak” karya Taufiq
Ismail, “Membaca Tanda-Tanda” karya Taufiq Ismail, dan “Lingkungan Mati” karya
Taufiq Ismail, (3) menjaga dan memelihara aliran sungai dan drainase secara
baik agar air tetap jernih dan dapat mengalir lancar, terekspresikan dalam
puisi “Perjalanan Sungai” karya Eka Budianta, “Sungai Ciliwung yang Miskin”
karya Slamet Sukirnanto, “Sungai yang Mengalirkan Air Mata dan Hujan yang
Meneteskan Pasir-Pasir” karya Dorothea Rosa Herliany, “Banjir” karya Suryatati
A. Manan, dan “Banjir” karya Ataswarin, dan (4) berusaha melestarikan hutan dan
tanaman untuk keseimbangan ekosistem, terekspresikan dalam puisi “Ada
Belantara, Pohon di Mana” karya Slamet Sukirnanto, “Gergaji” karya Slamet
Sukirnanto, “Hutan” karya Sapardi Djoko Damono, “Pokok Kayu” karya Sapardi
Djoko Damono, dan “Cerita dari Hutan Bakau” karya Iwan Nurdaya Djafar.
Pesan utama
dari 18 puisi tentang lingkungan hidup itu adalah (1) masyarakat perlu
mendapatkan informasi yang benar tentang penanganan sampah dan limbah sebab
selama ini mereka tidak diberi solusi tentang penanganan sampah dan limbah
secara benar. Oleh karena itu, perangilah sampah dan limbah walau dengan alat
sederhana dan jangan biarkan sampah dan limbah berserakan di mana-mana sehingga
menimbulkan berbagai penyakit; (2) udara di sebagian besar wilayah kita telah
tercemar oleh sisa pembakaran kendaraan bermesin, sisa pembakaran pabrik-pabrik
industri, dan asap pembakaran lahan dan hutan secara besar-besaran sehingga
udara kotor dan tidak sehat. Oleh karena itu, usahakanlah pencegahan semakin
berlarut-larutnya polusi udara dengan mengurangi pembakaran-pembakaran dan
berusahalah menanam dan memelihara pohon sebanyak-banyaknya, agar udara kembali
menjadi bersih dan nyaman kita hirup bernapas; (3) jaga dan peliharalah aliran
sungai dan drainase agar air tetap jernih dan mengalir lancar serta tidak
menimbulkan bencana banjir ketika musim penghujan datang. Oleh karena itu,
jangan membuang sampah dan limbah di sungai dan selokan, jangan tinggal di
bantaran sungai, dan berusahalah membersihkan aliran sungai dan drainase agar
tidak menimbulkan berbagai bencana dan penyakit; dan (4) lestarikan hutan dan
lahan sebagai paru-paru dunia, jagalah hutan dan lahan agar tidak dibalak dan
dibakar oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, bangkitkan kembali
gerakan penghijauan, dan fungsikan lahan dan hutan secara benar sehingga
terdapat keseimbangan ekosistem.
Konteks sosial
masyarakat pembaca enam kota di Indonesia dan tingkat keberterimaan masyarakat
tersebut terhadap makna dan pesan utama 18 puisi adalah cukup besar, berkisar
50%--95%, responden tahu, mengerti, dan paham akan
persoalan lingkungan hidup dan mereka pun tahu dan paham bagaimana cara
mengatasinya, serta dapat menerima dengan baik dan tepat atas makna dan pesan
utama kedelapan belas puisi tersebut. Masyarakat berharap agar sosialisasi atau
kampanye “sadar lingkungan”, melalui penyuluhan ataupun dengan pembacaan puisi
lingkungan hidup, tetap terus dilakukan secara berkesinambungan dan jangan
hanya sporadis. Hal ini mengingat bahwa kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup
yang bersih dan sehat dapat bangkit dan diterapkan dalam perbuatan sehari-hari
apabila sering diingatkan atau dipesankan melalui berbagai cara tersebut.
Buku Manusia,
Puisi, dan Kesadaran Lingkungan ini merupakan hasil penelitian yang
bertajuk ”Persoalan Pemeliharaan Lingkungan Hidup yang Bersih dan Sehat dalam
Puisi Indonesia Modern” dari Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti
dan Perekayasa (PKPP) Kementerian Negara Riset dan Teknologi Tahun 2011. Oleh
karena itu, atas terbitnya buku hasil penelitian ini kami tidak lupa mengucapkan
terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: (1) Menteri Negara Riset dan
Teknologi melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah menyetujui penelitian ini dilaksanakan
dengan dukungan dana riset insentif yang diberikannya; (2) Dr. Ir. Anny
Sulaswatty, M.Eng., Kepala Biro Hukum dan Humas, beserta Dr. Wisnu dari
Kementerian Negara Riset dan Teknologi, atas monitoring dan pengarahannya dalam
melaksanakan penelitian ini, (3) teman-teman dari jajaran Pusat Penelitian
Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, atas pengelolaan program insentif PKPP TA 2011, (4) Prof. Dr. Cece
Sobarna selaku Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa, Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang
telah mengusulkan dan menyetujui kegiatan penelitian ini dilakukan hingga
selesai; (5) Dr. Mu’jizah selaku Kepala Bidang Pengkajian Bahasa dan Sastra,
Badan Bahasa, dan sekaligus sebagai konsultan dan narasumber penelitian yang
telah rela meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penelitian ini
hingga mencapai hasil yang sedemikian; dan (6) Drs. Dhanu Priyo Prabowo,
M.Hum., yang berkenan meyunting hasil penelitian dan mengusahakan terbitan buku
ini. Semoga amal baik beliau-beliau mendapatkan imbalan dari Tuhan Yang Maha
Esa.
Harapan kami, buku hasil laporan penelitian yang sangat
bersahaja ini dapat memberi sumbang sih bagi usaha pelestarian dan pemeliharaan
lingkungan hidup yang bersih dan sehat kepada masyarakat di Indonesia,
khususnya dalam usaha sosialisasi atau kampanye sadar lingkungan kepada
masyarakat Indonesia, dan memberikan apresiasi puisi Indonesia modern yang
bertema masalah lingkungan hidup. Buku ini hanya sebagai salah satu sarana
untuk ikut serta mengingatkan masyarakat agar sadar lingkungan. Semoga. Amin.
Pemilik nama lengkap Mayjen TNI (Purn). Drs. H. Hendardji Soepandji,
SH., ini lahir dan besar di Semarang. Sosok yang dikenal punya jiwa
kepemimpinan (leadership), tegas, konsisten, jujur dan bersih, kompeten,
serta berintegritas tinggi ini menyelesaikan pendidikan militernya di
AKABRI Magelang pada 1974.
Beliau merupakan anak ke-4
dari 6 bersaudara dari pasangan almarhum Brigjen (Purn) dr. Soepandji
dan Roesmiati (Magelang), serta cucu dari almarhum dr. Roestamadji
(Semarang). Di militer, pria yang akrab disapa Bang Adji ini pernah
dipercaya mengemban jabatan Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat
(Dan Puspomad) pada 2006 dan Asisten Pengamanan (Aspam) KSAD pada
tahun 2008.
Sukses Bang Adji dalam karir, juga dialami
kelima saudara kandungnya. Kakak sulungnya, dr. Hendarto Soepandji,
menjadi dosen di Universitas Diponegoro Semarang. Kakak keduanya,
Hendarman Soepandji, adalah mantan Jaksa Agung RI. Lalu kakak
ketiganya, Dr. (Cand) Hendarti Permono, adalah dosen di Universitas
Yayasan Administrasi Indonesia Jakarta. Sementara adiknya Prof. Dr. Ir.
Budi Susilo Soepandji saat ini menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhanas). Adapun adik bungsunya, Ir. Bambang Tri Sasongko,
adalah pengusaha yang bergerak di berbagai bidang, antara lain batu
bara dan pelabuhan.
Menikah dengan dr. Ratna Rosita,
MPHM, saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian
Kesehatan, Bang Adji dikaruniai dua putra, yaitu Adit dan Ica.
Bang
Adji mencurahkan waktu, pikiran, dan energi untuk berikhtiar memajukan
dan menyejahterakan bangsa, khususnya Kota Jakarta. Terkait itu, Bang
Adji terbuka terhadap berbagai ide dan gagasan demi terwujudnya
kemajuan dan kesejahteraan tersebut.
Pada akhir 1997
dan awal 1998, ketika krisis moneter terjadi, sembilan bahan pokok
(sembako) hilang dari peredaran, Hendardji Soepandji yang saat itu
sebagai Dan Pomdam Jaya dapat menyelesaikan masalah penimbun sembako.
Pada
10 November 1998, ketika bentrok fisik antara PAM Swakarsa dan
masyarakat setempat di tugu proklamasi, Hendardji berdiri di antara dua
kelompok massa yang terlibat bentrok untuk melerai dan mengevakuasi
salah satu kelompok keluar dari Tugu Proklamasi.
Pada
22 November 1998, Hendardji menyelamatkan dan mengevakuasi 300 orang
kelompok suku Ambon dari Basement Gajah Mada Plaza ketika terjadi amuk
massa di jalan Ketapang, Jakarta.
Sebagai Dirut PPKK,
Hendardji akan menjadikan Kemayoran sebagai kawasan Green International
Business District (GIBD) seluas 454 ha dengan RTH 30% dan akan
membangun gedung Grand Kemayoran yang mampu menampung 25.000 penonton
untuk berbagai even, baik olahraga, kesenian & budaya, maupun
berbagai acara lainnya. Kemayoran (Jakarta ke depan) juga akan
dikembangkan sebagai Cyber City. Hendardji Soepandji juga merencanakan
untuk membangun transportasi sampai ke Kawasan kelurahan.
Saat ini Bang Adji mempersiapkan diri untuk maju menjadi bakal Calon Gubernur DKI Jakarta 2012-2017.
Begawan Wisrawa adalah seorang penuntut ilmu kesuksmaan yang merosot derajat kesiswaannya karena tergoda oleh tiga macam godaan dan melanggar Paliwara. Godaan pertama, Wisrawa terpeleset oleh godaan kasar gebyaring wentis kuning “sengsemnya asmara”, yakni tergiur oleh kecantikan dan kemolekan Dewi Sukesi, putri raja Negeri Alengka, Prabu Sumali Raja, yang sebenarnya Wisrawa hanya bertugas melamarkan untuk anaknya Prabu Danapati, Raja Negeri Lokapala.
Setelah mampu mewedarkan rahasia ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” kepada Dewi Sukesi itu Begawam Wisrawa terkena godaan kedua, godaan gawat dengan masuknya Roh Batara Kala dalam tubuh dirinya, dan Dewi Sukesi pun terkena godaan gawat dengan masuknya Roh Betari Durga yang juga masuk ke dalam dirinya. Atas godaan tersebut, keduanya tidak sadarkan diri telah melanggar Paliwara bab syahwat. Perbuatan hina keduanya mendapatkan karma dengan lahirnya Rahwana, lambang keangkamurkaan nafsu amarah yang tidak mampu dikendalikan.
Ketika Wisrawa tengah asyik memadu cinta di Taman Argo Soka Negeri Alengka bersama Dewi Sukesi, di luar Taman Sari terjadilah huru-hara kemarahan Arya Jambumangli mencacimaki dan menantang perang Begawan Wisrawa, serta menghina dina Dewi Sukesi sebagai wanita “pelanyahan” yang haus seksualitas. Merasa dirinya dihina dan diremehkan Jambumangli, Begawan Wisrawa terpeleset lagi akan godaan ketiga, godaan halus akunya (adigang adigung adiguna), bahwa dirinya lebih kuat dan perkasa, serta lebih agung dan lebih pandai dari Arya Jambumangli. Demikian halnya Dewi Sukesi pun sakit hati atas hinaan pamannya tersebut, dan meminta Wistawa untuk membereskannya. Perkelahiannya dengan Arya Jambumangli tanpa disadari pula oleh Wisrawa bahwa hal itu telah melanggar Paliwara bab “cecongkrahan” (berselisih). Arya Jambumangli gugur mengenaskan dengan tubuh termutilasi oleh panah sakti Wisrawa. Atas perbutannya ini keduanya menerima karma dengan lahirnya Kumbakarna dan Sarpakenaka, lambang nafsu Lauwamah dan Sufiah yang tidak mampu dikendalikan.
Wisrawa dan Sukesi kedatangan Resi Wasista dan Dewi Arundati, orang tua Wisrawa. Keduanya mendapatkan nasihat untuk kembali ke jalan benar, ialah jalan utama yang berakhir dalam kesejahteraan dan ketentraman abadi, yakni di hadirat Tuhan Sejati di Taman Kemuliuan Abadi. Bahwa ilmu Sastra Jendra Hayuningrat bukan hanya sekadar untuk pembicaraan, melainkan untuk dilaksanakan (menjadi laku) dengan dimulai menempuh Jalan Rahayu dan menyingkiri Paliwara, agar dapat melaksanakan panembah batin Hastha Sila dengan sempurna.
Dewi Arundati memberi nasihat kepada semua wanita, terutama kepada Dewi Sukesi, agar dapat menjadi mustikanya wanita: (1) menyadari kewajiban suci sebagai lantaran menerima dan mengandung Roh Suci, (2) kewajiban suci ini haruslah dilaksanakan dengan kesucian dan kesusilaan dengan dasar kasih sayang sejati, dan (3) rasa kasih sayang sejati itu setiap hari haruslah dipupuk dan disirami dengan (a) mong-kinemong (saling asah asih dan asuh), (b) apura-ingapura (saling memaafkan), (c) ajen-ingajenan (saling menghormati), dan (d) tansah nuju prana murih adamel suka pirena (senantiasa dapat berkenan di hati agar dapat membuat rasa bahagia).
Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi melaksanakan nasihat orang tuanya, Resi Wasista dan Dewi Arundati, dengan benar dan baik, mereka dianugerahi seorang putra yang purusatama: elok rupawan, berbudi suci, berderajat luhur dan mulia, berwatak utama, mursid (cerdas cendekia), dan senantiasa berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni Gunawan Wibisana, lambang nafsu Mutmainah yang penuh kasih kepada sesama umat dan menghormati semua agama.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut.
ZAMAN RUSAK
Raden Ngabehi Ranggawarsita
1. Sekarang derajat negara
terlihat telah suram
pelaksanaan undang-undang sudah rusak
karena tanpa teladan.
Kini, Sang Pujangga
hatinya diliputi rasa sedih, prihatin
tampak jelas kehina-dinannya
amat suram tanda-tanda kehidupan
akibat kesukaran duniawi, bertubi-tubi kebanjiran bencana.
2. Raja yang tengah berkuasa adalah raja utama
perdana menterinya pun seorang yang terpilih
para menteri juga bercita-cita menyejahterakan rakyat
pegawai aparatnya pun baik-baik,
meski demikian tidak menjadi
penolak atas zaman terkutuk ini,
malahan keadaan semakin menjadi-jadi
berbagai rintangan yang mengganggu
berbeda-beda perbuatan angkara orang seluruh negara.
3. Daripada menangis sedih, bangkitlah
wahai Sang Pujangga
meski diliputi penuh duka cita
mendapatkan rasa malu
atas berbagai fitnahan orang.
Mereka yang mendekatimu bergaul,
menghibur, seolah membuat enak hatimu,
padahal bermaksud memperoleh keuntungan,
sehingga merusak cita-cita luhur, karena tanpa kehati-hatianmu.
4. Dasarnya terbetik berbagai berita,
kabar angin yang berujar munafik
Sang Pujangga hendak diangkat menjadi pemuka,
akhirnya malahan berada di belakang.
Apabila dipikir-pikir dengan benar
berfaedah apa berada di muka?
Menanam benih-benih kesalahan
disirami oleh air kelupaan
apabila tumbuh berkembang menjadi kesukaran.
5. Menurut buku Panitisastra
memberi ajaran dan peringatan
di dalam zaman yang penuh bencana
bahwa orang berjiwa bijak justru kalah dan berada di belakang.
Demikian apabila mau memperhatikan tanda-tanda zaman.
Apakah gunanya kita percaya
pada berita-berita kosong
justru terasa semakin menyakitkan hati
lebih baik menulis cerita-cerita kuna.
6. Hal itu dapat digunakan sebagai teladan
untuk membandingkan hal buruk dan baik.
Tentunya banyak juga
lakuan-lakuan yang menjadi contoh
tentang masalah-masalah hidup
hingga akhirnya ditemukannya,
keadaan tawakal (narima),
menyadari akan ketentuan takdir Tuhan,
bagaimana pula hal ini mengalami keanehan.
7. Menghadapi zaman edan
keadaan menjadi serba sulit
turut serta edan tidak tahan
apabila tidak turut serta melakukan
tidak mendapatkan bagian
akhirnya menderita kelaparan.
Sudah kehendak Tuhan Allah
betapun bahagianya orang yang lupa
lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada.
8. Demikianlah perumpamaannya
padahal mereka menginginkan,
bukankah demikian Paman Doplang?
Benar juga yang menyangkanya,
namun di dalam batin
sesungguhnya hal itu masih jauh.
Sudah tua mau apalagi,
sebaiknya menjauhkan diri dari keramaian duniawi
supaya mendapatkan anugerah kasih Tuhan Yang Maha Esa.
9. Berbeda bagi mereka yang telah teguh sentosa jiwanya
dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa
betapapun tingkah laku perbuatannya
tidak susah untuk mendapatkan penghasilan
oleh karena dari datangnya pertolongan Tuhan
Tuhan senantiasa memberi petunjuk dan pertolongan
jalannya melalui sesama makhluk
berupa segala sesuatu yang bermanfaat.
Meskipun demikian, dia masih tetap tekun rajin berusaha.
10. Sekadar menjalani hidup
hanya semata bertindak mengenakan hati
asalkan tidak menjadi suatu masalah
dengan memperhatikan petuah orang tua
bahwa ikhtiar itu sesungguhnya
memilih jalan agar selamat
sambil terus berusaha
disertai dengan awas dan sadar
yang bertujuan agar mendapatkan kasih anugerah Tuhan.
11. Ya Allah, ya Rasulullah
yang bersifat pemurah dan pengasih
semoga berkenan melimpahkan
pertolongan yang menyelamatkan
di dunia hingga ke akhirat
tempat hidup hamba
padahal sekarang (hamba) sudah tua
pada akhirnya nanti bagaimana (terserah),
maka semoga ada pertolongan Tuhan.
12. Semoga dapat sabar sentausa
laksana mati di dalam hidup
terbebas dari segala kerusuhan,
angkara murka, tamak, loba menyingkir semua
tiada lain karena berkonsentrasi diri memohon kasih Tuhan
senantiasa melatih hatinya patuh
agar dapat mengurungkan kutukan
sehingga mendapatkan sinar terang sekadarnya
berserah diri agar dapat masuk surga yang berisi keabadian.
(Teks asli bahasa Jawa diambil dari Bratakesawa (ed). 1959. Djangka Ranggawarsitan. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Kulawarga Bratakesawa. Terjemahan bahasa Indonesia dilakukan oleh Puji Santosa).
=================================
ZAMAN EDAN: DERAJAT NEGARA SURAM
Puji Santosa
Kalatidha adalah salah satu judul karya sastra yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita seputar tahun 1861. Karya ini merupakan kritik sosial profetis yang menggambarkan akan datangnya masa sulit, suram, rusak, dan tidak menentu yang disebut sebagai zaman edan. Pada zaman itu negara demikian kacau-balau, undang-undangnya tidak dihargai, derajat negara menjadi suram, dan rakyat semakin rakus dan loba. Hal ini mengingat pada tahun 1858 raja Surakarta, Sinuhun Paku Buwana VII meninggal dan digantikan oleh adik tirinya Kusen dengan gelar Paku Buwana VIII. Raja Surakarta ini memerintah tidak lama, hanya tiga tahun, dan meninggal 1861. Sepeninggal Paku Buwana VIII kemudian Kasunanan Surakarta digantikan oleh Paku Buwana IX yang merupakan anak dari Paku Buwana VI yang ditangkap oleh Belanda, dibuang ke Ambon, dan kemudian mati dalam pengasingan.
Di bawah pemerintahan raja baru, Paku Buwana IX, kehidupan Ranggawarsita, terutama karier politiknya, mengalami berbagai hambatan. Banyak catatan yang mengatakan bahwa hubungan Ranggawarsita dengan raja yang bertahta kurang serasi. Hal ini terjadi karena beredarnya kabar bahwa penangkapan dan pembuangan raja Paku Buwana VI ke Ambon adalah karena rahasia yang dibocorkan oleh ayahanda Ranggawarsita sewaktu diinterograsi Belanda di Batavia. Atas peristiwa seperti itu Raja Paku Buwana IX tidak pernah menaikkan pangkat Ranggawarsita dari Kliwon Carik ke Tumenggung, apalagi menjadi Bupati. Bentuk kekecewaan Ranggawarsita seperti itulah yang diungkapkan dalam karyanya Kalatidha tersebut.
Selain hal itu, Kalatidha juga disebut-sebut sebagai “Jangka Ranggawarsitan” yang memuat ramalan tentang zaman edan. Menurut catatan Bratakesawa (1959:34), selain Serat Kalatidha yang terdiri atas 12 bait dalam bentuk tembang macapat sinom, ditemukan pula Serat Kaltidha Piningit yang hanya terdiri atas 11 bait dari meja redaksi majalah Sedya Tama, Yogyakarta, tahun 1930. Dalam penulisan edisi Kakilangit ini yang digunakan sebagai acuan penulisan adalah Serat Kalatidha yang terdiri atas 12 bait, tanpa ada kata piningit. Kata kalatidha itu sendiri termuat dalam bait pertama baris ketujuh. Kata kala artinya zaman atau masa, dan kata tidha berarti samar-samar, kabur, khawatir, ragu-ragu (Nardiati et al. 1993). Jadi, kalatidha artinya suatu zaman atau masa yang serba tidak jelas, rusak, penuh dengan rasa kekhawatiran dan ragu-ragu untuk bertindak. Istilah lainnya adalah kalabendu atau jaman retu.
Kata kalabendu disebut dalam Serat Kalatidha bait kedua baris keenam. Kata kala artinya waktu, zaman, atau masa, dan bendu artinya kutuk atau laknat (Nardiati et al, 1993). Jadi, kalabendu artinya zaman yang penuh laknat, suatu masa yang penuh dengan kutukan Tuhan karena manusia banyak menyandang dosa. W.S. Rendra, dalam orasi kebudayaan di Solo, 27 Februari 2001, menyebut-nyebut pula pada zaman krisis sekarang ini sebagai zaman Kalabendu. Tentu saja referensi W.S. Rendra menyebut hal itu dari Serat Kalatidha karya Ranggawarsita (Lihat Ardus M. Sawega, Kompas, 30 Maret 2001, dengan judul artikel “Zaman Kaliyuga, Kalabendu, atau Tafsir Baru...”).
Sementara itu, perkataan jaman retu disebut-sebut dalam buku Sasangka Jati, “Pembuka Tunggal Sabda” (Pangestu Pusat, 1986:66). Kata retu berarti rusak, kacau-balau, huru-hara, dan kerusuhan (Nardiati et al, 1993:203, dan Mardiwarsito et al, 1985: 269). Jadi, arti perkataan “jaman retu” adalah suatu masa atau zaman yang penuh kerusakan, kerusuhuan massal, karut-marut, banyak kekacauan, dan penuh huru-hara.
Bait ketujuh Serat Kalatidha yang ditulis dalam bentuk tembang macapat, bermatra sinom, amat terkenal karena secara ekplisit memuat perkataan amenangi jaman edan “menghadapi zaman gila”. Isi keseluruhan teks Kalatidha karya Ranggawarsita itu memuat tanda-tanda kekuasaan zaman edan atau zaman rusak yang serba kabur dan tidak jelas yang mengakibatkan suramnya derajat negara. Tanda-tanda zaman yang termuat dalam Kalatidha karya Ranggawarsita itu antara lain sebagai berikut.
1) Derajat suatu negara terlihat suram, kosong dan sepi atau suwung, yakni suatu negara tidak lagi memiliki wibawa, tidak mimiliki pengaruh sama sekali pada rakyatnya atau negara lain. Meskipun penguasanya adalah raja utama, perdana menterinya orang yang memiliki kelebihan, para menteri dan aparat pegawainya baik-baik, tetap tidak dapat menolak hadirnya zaman kutukan karena sudah sebagai karma/dosa bangsa.
2) Rusaknya pelaksanaan undang-undang, yaitu masyarakat banyak yang melanggar tata aturan, baik penguasanya sendiri maupun rakyatnya tidak lagi patuh pada aturan negara yang ada, mereka berbuat sekehendaknya atau menyimpang dari aturan hukum yang ada.
3) Tidak ada suri teladan, contoh, dari pemimpin negara, para aparatnya, dan penguasa pemerintahan, terhadap rakyatnya. Mereka sama saja perbuatannya, telah bejat moralnya, seperti melakukan korupsi, rebutan kekuasaan dan pengaruh, merasa benar sendiri, penindasan kepada rakyat, dan berbuat asusila, berderajat tercela, rendah, dan hina dina.
4) Banyak rakyat yang sedih, menderita, prihatin, sengsara, dan kelaparan sehingga banyak terjadi kesukaran hidup, terasa hidup hina dina dan amat suram, serta hidup sengsara, tanda-tanda kehidupan di masa depan suram, gelap, dan tidak menentu.
5) Banyak terjadi musibah, bencana, dan malapetaka yang datang bertubi-tubi, silih berganti tiada henti-hentinya, baik yang disebabkan oleh murkanya alam maupun oleh kelalaian manusia yang rakus dan angkara.
6) Berbeda-beda, berjenis-jenis, dan banyak ragamnya perbuatan angkara murka orang seluruh negara.
7) Banyak berita bohong, kabar angin, sulit dipercaya kebenarannya karena banyak orang yang munafik, hanya pura-pura, penuh fitnahan, dan tipu muslihat, hanya bermaksud mencari keuntungan pribadi.
8) Banyak pejabat yang menanam benih-benih kesalahan, keteledoran, dan tidak hati-hati, disebabkan oleh lupa, alpa, dan khilaf sehingga menjadi perkara hukum dan sebagainya.
9) Banyak orang yang berjiwa baik, cerdas, dan bijaksana, justru kalah dengan mereka yang culas, kerdil, dan jahat (wong ambeg jatmika kontit). Itulah sebabnya orang yang baik-baik justru tersisihkan dan berada di belakang atau tenggelam oleh hiruk-pukuk dunia yang penuh angkara murka atas silau pesona maya dunia.
10) Terjadi banyak peristiwa keanehan, ajaib, tidak masuk akal, banyak orang yang stres dan putus asa, atau tidak bernalar sehingga serba sulit untuk bertindak. Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang menjadi gila, edan, atau tidak ada yang waras. Rumah-rumah sakit jiwa dipenuhi dengan pasien yang menderita gangguan jiwanya.
Sebagai pembaca yang budiman tentunya kita bertanya-tanya: Apa yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan dalam menghadapi kekuasaan zaman edan? Banyak hal yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan ketika keadaan negara dan bangsa begitu rusaknya. Kita tidak perlu putus asa atau putus harapan, kita tidak hanya bertopang dagu sambil meratapi nasib dan keadaan, dan kita tidak hanya tinggal diam. Setiap perbuatan yang menuju ke arah kebajikan tentu dapat kita lakukan. Berdasarkan makna yang tersurat dan yang tersirat dalam Serat Kalatidha karya Ranggawarsita di atas tentu dapat kita deskripsikan tentang hal-hal yang dapat kita perbuat dalam menghadapi zaman edan sebagai berikut.
1) Mematuhi peraturan negara dengan undang-undangnya secara baik. Sebagai warga negara yang baik hendaknya kita patuh melaksanakan undang-undang dan peraturan yang ada agar tertib, hidup teratur, dan berdisiplin. Undang-undang dan peraturan negara dibuat agar negara menjadi tertib, teratur, dan disiplin sehingga negara segera dapat mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat.
2) Tidak mudah percaya pada kabar angin, kabar burung, atau pepesan kosong. Kabar-kabar burung itu banyak berisi fitnahan, hanya mengenak-enakan saja, bahkan ada juga kabar duka bagi orang lain. Oleh karena itu, kita dituntut untuk memiliki watak kehati-hatian (weweka). Artinya, kita dapat menyaring dengan benar berita itu, lalu menganalisisnya, dan kemudian baru bertindak sesuai dengan hati nurani agar kita tidak terjerumus ke jurang kehancuran.
3) Menjadi teladan perbuatan keutamaan. Di mana pun kita berada, dalam posisi apa pun, kita harus dapat menjadi teladan perbuatan keutamaan, baik di rumah, di kantor atau perusahaan tempat bekerja, maupun di tengah masyarakat. Dengan teladan baik itulah kita akan menjadi kusuma bangsa dan bukan sampah masyarakat.
4) Tekun dan rajin beikhtiar. Bekerja dalam bidang apa pun kita dituntut untuk dapat tekun dan rajin berusaha mencapai prestasi. Kita tidak boleh berputus asa menghadapi situasi apa pun, baik itu yang berupa cobaan, bencana, malapetaka, maupun rintangan lainnya. Oleh karena itu, kita dituntut untuk tetap memiliki semangat berikhtiar mencapai cita-cita menuju keberhasilan dan kebahagiaan hidup.
5) Memperhatikan petuah orang tua. Artinya, kita selalu mengindahkan nasihat, ajaran, atau wejangan orang tua dahulu yang berusaha mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dicontohkan oleh Ranggawarsita dengan cara menuliskan cerita-cerita kuno, mempelajari serat Panitisastra, dan melakukan kegiatan kreatif yang bermanfaat bagi bangsa, negara, dan masyarakat lainnya.
6) Selalu tawakal dan bersyukur dengan menyadari ketentuan takdir Tuhan. Apa pun yang terjadi di dunia ini sudah kehendak Tuhan, tidak ada sesuatu peristiwa yang kebetulan, semuanya sudah diatur oleh Tuhan. Kita harus dapat tabah dan kuat menghadapi segala cobaan hidup, ikhlas menerima apa pun yang terjadi dengan selalu memanjatkan rasa syukur. Apa pun yang sudah ada di tangan kita, dikerjakan dengan senang hati, tidak tamak, tidak rakus, tidak loba, dan tidak serakah. Kita tidak menginginkan milik orang lain, dan juga tidak iri akan keberuntungan orang lain.
7) Sabar sentosa. Sabar artinya berhati lapang, dan sentosa artinya kuat, kukuh, dan teguh. Kita harus kuat menerima pelbagai cobaan, tetapi bukan orang yang mudah putus asa, melainkan orang yang berhati teguh sentosa, berpengetahuan luas, dan tidak berbudi sempit. Orang yang sabar sentosa dapat disebut sebagai lautan pengetahuan. Ibarat lautan yang dapat memuat apa saja, tidak meluap walau mendapat tambahan air dari sungai-sungai mana pun. Caranya ialah tidak mudah emosional, tidak marah, serta menyingkiri watak picik dan berangasan.
8) Sadar dan Waspada (eling lan waspada). Kita dituntut untuk dapat selalu eling lanwaspada. Eling berarti kita senantiasa sadar untuk berbakti kepada Tuhan. Salah satu caranya adalah selalu berzikir kepada Tuhan di mana pun kita berada, baik itu sedang duduk menganggur, sedang dalam perjalanan, sedang berdiri, sedang tiduran, maupun sedang bekerja. Waktu kapan pun, baik siang maupun malam, kita dapat senantiasa sadar kepada Tuhan. Cara yang lain adalah tidak melupakan dan tidak meninggalkan sembahyang. Waspada berarti mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Kita senantiasa diberi weweka “kehati-hatian” dapat membedakan mana emas dan mana tanah liat, mana berlian dan mana batu pasir.
9) Menetapi darma masing-masing. Kita hendaknya dapat menetapi darma atau kewajiban masing-masing dengan benar, baik kita sebagai bangsa brahmana, bangsa ksatria, bangsa waisya, maupun menjadi bangsa sudra sekalipun. Kita harus sungguh-sungguh menekuni bidang pekerjaan dan kewajiban masing-masing agar dapat melaksanakan bagiannya secara cermat dan teliti sehingga dicapai hasil yang sesempurna mungkin.
10) Mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa. Banyak cara manusia untuk dapat mendekatkan diri kepada tuhan Yang Maha Esa. Dalam Serat Kalatidha di atas dicontohkan dengan cara menjauhkan diri dari dunia keramaian, selalu eling lan waspada, menyadari akan takdir Tuhan, selalu berzikir, dan melaksanakan panembah atau sembayang sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Sembahyang merupakan tali kesadaran dan kepercayaan kepada Tuhan. Wujud mendekatkan diri kepada Tuhan adalah kita selalu berusaha meningkatkan kesadaran rasa iman dan takwa, selalu berzikir dan bersembahnya, serta berbuat keutanmaan atau berbudi pekerti luhur dan mulia.
Kesepuluh hal di atas penting sekali kita laksanakan agar kita tidak ikut edan, tidak tergilas oleh arus zaman, serta tidak hanyut dalam situasi yang tidak menentu. Hanya dengan cara seperti itulah kita tidak tinggal diam menjadi penonton, tidak hanya bertopang dagu sambil meratapi nasib dan keadaan, serta tidak hanya menangis dalam kesedihan dan kedukaan. Dengan demikian kesepuluh hal di atas dapat kita jadikan pegangan dalam menghadapi kekuasaan zaman edan. Seberapa kemampuan kita melaksanakan kesepuluh hal seperti yang disarankan dalam tembang di atas, sebaiknya kita serahkan sepenuhnya kepada Tuhan yang Maha Esa agar terhindar dari kekuasaan zaman edan yang begitu dahsyat mencekam. Kita tetap mengasuransikan keselamatan jiwa raga kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dalam keadaan apa pun.***
==========================
BELAJAR DARI LINGKUNGAN, ASAL-USUL,
DAN PENGALAMAN HIDUP
Puji Santosa
Proses kreatif penulisan karya-karya Ranggawarsita dimungkinkan oleh lingkungan, asal-usul keturunan, dan pengalaman hidupnya. Ranggawarsita berasal dari keluarga bangsawan Keraton Surakarta. Dari garis keturunan ayah, dia adalah keturunan ke-10 dari Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), pendiri kerajaan Pajang. Dari garis keturunan ibu, dia adalah keturunan ke-13 Sultan Trenggana, raja Demak ketiga. Dari Sultan Trenggana ini menurunkan Pangeran Karang Gayam, pujangga kerajaan Pajang, yang telah menulis Serat Niti Sruti, yakni sebuah buku sastra yang berisi ajaran tentang etika kehidupan.
Ranggawarsita terlahir dengan nama Bagoes Boerhan adalah putra Pangeran Pajangswara, seorang juru tulis kerajaan Surakarta, yang biasa disebut dengan Yasadipura III. Kakek Bagoes Boerhan adalah Raden Tumengung Sastranegara atau biasa disebut Yasadipura II adalah seorang pujangga kerajaan yang banyak menulis karya sastra Jawa klasik, seperti Sasana Sunu dan Wicara Keras. Sementara itu, kakek buyutnya adalah Raden Tumenggung Yasadipura I, seorang pujangga besar kerajaan Surakarta yang menghasilkan karya sastra Jawa klasik, antara lain, Babad Giyanti, Dewa Ruci, Panitisastra, Serat Rama, dan Baratayuda. Dua karya terakhir disadur dalam versi Jawa dari kisah klasik Ramayana dan Mahabharata.
Kakek dari pihak ibu, Soedirodihardjo, adalah seorang ahli tembang (seni suara) dan gending (musik gamelan Jawa). Kakek dari pihak ibu ini adalah pemaian vokal yang ulung di zamannya dan dikenal dengan sebutan “Soedirodihardjo Gantang”. Pada waktu-waktu tertentu Pak Gantang duduk di dalam sebuah kurungan dan ditarik ke atas pohon besar di dekat bangsal istana. Dari atas pohon itulah Pak Gantang melagukan tembang-tembang yang menggema ke seluruh istana. Mereka yang mendengarkannya selalu berdecak kagum atas suara merdu mendayu Pak Gantang. Atas keahlian yang dimilikinya itu Pak Gantang mampu menghasilkan lagu khas gending Jawa yang disebut dengan cengkok Palaran (gaya Palaran). Nama Palaran ini diambil dari nama desa tempat Pak Gantang tinggal, yaitu Desa Palar, sekitar 30 Km arah barat daya kota Surakarta.
Dari garis keturunan atau asal-usul jelas tidak mengherankan apabila Bagoes Boerhan tertarik dan menekuni minatnya di dunia seni sastra. Menjelang awal abad XIX di Jawa menjadi masa-masa puncak berkembangnya genre sastra Jawa Klasik yang disebut dengan sastra Islam Kejawen. Istilah ini mengacu pada sebuah tradisi tulis yang mencoba memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam tradisi warisan Hindu-Budha yang telah dibudaya Jawa-kan. Akar tradisi Islam Kejawen, atau Jawi Selam, sudah ada sejak zaman kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu kerajaan Demak. Melalui jasa para wali (Wali Sanga) penyebaran agama Islam di Jawa diadaptasikan dengan kultur budaya setempat seperti dengan istrumen tembang, wayang, dan gamelan Jawa.
Sejak usia 2 hingga 12 tahun Bagoes Boerhan diasuh oleh kakeknya, Tumenggung Jasadipura II, sehingga sejak usia dini sudah diperkenalkan dengan dunia tulis-menulis atau sastra. Hal ini ditunjang oleh lingkungan tempat tinggal Bagoes Boerhan yang sedang giat-giatnya mengembangkan dunia sastra. Bagoes Boerhan berada di sekitar para tokoh sastra Jawa Klasik yang menjadi pilar kesusastraan Jawa sehingga mudah mencerna dan mengembangkannya. Di bawah asuhan kakeknya, tentu secara khusus, Bagoes Boerhan dididik tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia sastra, tembang, wayang, dan kebudayaan Jawa umumnya untuk dipersiapkan menjadi tokoh sastra masa depan.
Pengalaman sehari-hari Ranggawarsita dalam menempuh perjalanan hidupnya banyak yang dituangkan dalam karya sastra yang ditulisnya, antara lain, Serat Jayengbaya, Kalatidha, dan Jaka Lodhang. Serat Jayengbaya, misalnya, adalah sebuah puisi panjang yang terdiri atas 250 bait. Dalam puisi naratif ini Ranggawarsita berkisah tentang seseorang yang sedang mencari jatidiri. Tokoh cerita ini merasa kedudukannya sekarang dalam kesusahan, yang merefleksikan atas hidupnya sendiri, dan membayangkan profesi lain yang menurutnya lebih enak, mulai dari pedagang kuda, penari, pemusik, prajurit, raja, bahkan menjadi Tuhan sekalipun. Namun, setiap kedudukannya itu, selain menawarkan kesenangan dan kenikmatan, juga mengandung resiko yang tampaknya tidak akan mampu ditanggungnya. Akhirnya, setelah direnungkan secara dalam, si tokoh memutuskan yang terbaik adalah menjadi diri sendiri.
Tidak hanya pengalaman hidupnya sehari-hari yang dituangkan dalam karya sastra yang ditulis Ranggawarsita, tetapi juga pesanan raja sebagai pujangga istana. Dalam hal ini Ranggawarsita menulis, antara lain, Serat Paramayoga, Serat Pustaka Raja Purwa, dan Serat Cemporet. Sastra yang ditulis itu berusaha mengangkat derajat negara dan raja melalui kisah simbolik dalam dunia wayang. Serat Paramayoga mengisahkan perjalanan Nabi Adam beserta kisah kehidupan para dewa, sampai kemudian tanah Jawa mulai dihuni menusia dengan kedatangan Aji Saka, dari Himalaya, India, ke tanah Jawa.
Buku sastra Pustaka Raja Purwa, merupakan kelanjutan kisah yang ada dalam Serat Paramayoga. Raja Aji Saka yang telah mampu menakhlukan raja Medangkamulan, Prabu Dewatacengkar hingga tenggelam di samudra selatan menjadi buaya putih, menurunkan raja-raja di tanah Jawa hingga sekarang kita kenal dalam sejarah. Dalam buku itu juga dikisahkan tentang muncul dan tenggelamnya berbagai kerajaan yang ada di Jawa. Dalam kisah raja-raja di Jawa itu juga banyak bertaburan legenda-legenda yang terjadi di tanah Jawa. Tentu saja kedua buku seperti itu dimaksudkan untuk melegitimasi kekuasaan raja-raja di Jawa dengan menciptakan mitos sebagai keturunan Nabi Adam dan para dewa, seperti kaisar Jepang sebagai keturunan Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
Serat Cemporet ditulis Ranggawarsita atas permintaan Raja Paku Buwana IX. Dalam Serat Cemporet ini Ranggawarsita mengisahkan petualangan tiga orang putra raja yang tengah lari dari istana dan berguru di padepokan milik Ki Buyut Cemporet. Tentu saja kisah ini dipersembahkan kepada raja agar anak-anak raja tidak hanya tinggal bertopang dagu di istana, tetapi ke luar istana untuk berguru ilmu kanuragan atau ilmu kabatinan lainnya. Hal ini secara tersirat dilukiskan dalam petualangan ketiga anak raja yang sakti dan mampu menaklukan berbagai rintangan. Akhirnya, ketiga anak raja itu kembali ke istana memimpin negara dengan penuh kearifan.
Ranggawarsita menulis ramalan tentang negara dan bangsa Indonesia melalui karya sastranya Serat Jaka Lodhang. Ramalan yang terkenal dengan istilah “Jangka Ranggawarsitan” ini mengisahkan keadaan negara yang serba kacau balau, karut marut, banyak bencana terjadi, dan penderitaan yang berkepanjangan. Suatu saat akan datang kemenangan bangsa bumi putra atas penjajahan asing, tahun yang diperkirakan adalah 1877 Saka atau awal tahun 1946 Masehi. Kenyataannya bangsa Indonesia dapat bebas, merdeka, dari penjajahan pada 17 Agustus 1945, hanya terpaut beberapa bulan dari apa yang diramalkan Ranggawarsita.
Gubahan karya Ranggawarsita lainnya yang sangat terkenal adalah tentang mistik Islam Kejawen, seperti Wirid Hidayat Jati, Suluk Seloka Jiwa, Suluk Suksma Lelana, Suluk Supanalaya, dan Serat Sabdajati. Dalam buku-buku itu Ranggawarsita mengungkapkan pengalaman mistik religiusnya menapaki jalan kerohaniahan, seperti halnya dalam tasawuf atau sufisme menempuh jalan syariat, tarikat, hakikat, hingga makrifat. Menurut Ranggawarsita upaya untuk menapaki jalan kerohanian itu harus mampu menyingkirkan nafsu-nafsu angkara yang ada dalam diri kita, seperti nafsu Sufiah, nafsu Amarah, dan nafsu Lauamah, sehingga nafsu Mutmainah dapat berkembang secara baik menuju ke singgasana Tuhan. Tujuan akhir dari hidup manusia adalah bersatu dengan Tuhan, mencapai kematian yang sempurna. Seperti yang dilukiskan dalam Serat Sabdajati berisi ramalan Ranggawarsita tentang kematian dirinya menghadap Tuhan, ditulis delapan hari sebelum ajal tiba. Ranggawarsita memang seorang pujangga yang waskita, mampu membaca tanda-tanda zaman dari pengalaman hidupnya.***
=========================
RADEN NGABEHI RANGGAWARSITA (1802—1873)
PUJANGGA PAMUNGKAS KESUSASTRAAN JAWA KLASIK
Puji Santosa
Ranggawarsita memiliki nama lengkap Raden Ngabehi Ranggawasita atau sering disingkat R.Ng. Ranggawarsita. Dia adalah pujangga pamungkas kesusastraan Jawa klasik zaman Surakarta yang senantiasa melekat di hati masyarakat Jawa. Dia terlahir dengan nama Bagoes Boerhan pada hari Senin, 15 Maret 1802 Masehi di kampung Yasadipuran, Surakarta, dan meninggal dunia pada 24 Desember 1873 dalam usia 71 tahun, dikebumikan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sejak usia 2 tahun hingga 12 tahun, Bagoes Boerhan diasuh oleh kakeknya, R.Ng. Jasadipoera II. Kakek buyutnya, R.Ng. Jasadipoera I adalah pujangga istana yang memainkan peran utama dalam masa kebangkitan rohani dan pembaharuan kepustakaan Jawa. Dengan demikian Ranggawarsita adalah seorang keturunan pujangga kenamaan kesusastraan Jawa.
Menginjak usia 12 tahun, yaitu pada tahun 1813, Bagoes Boerhan dikirim kakeknya, Raden Tumenggung Sastranegara, pergi belajar ke Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur. Pada waktu itu Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari, diasuh oleh seorang guru agama kenamaan pada zamannya, yaitu Kiai Ageng Kasan Besari. Selain sebagai guru agama, Kiai Kasan Besari juga seorang ahli kebatinan yang masih berdarah priyayi. Konon kabarnya Kiai Kasan Besari ini adalah putra menantu Sinuhun Paku Buwana IV dan juga teman seperguruan R.T. Sastranegara. Tidaklah mengherankan apabila pesantren semacam itu di samping menghasilkan tokoh-tokoh agamawan, juga melahirkan tokoh-tokoh priyayi dan negarawan yang tersohor pada zamannya.
Pada waktu belajar di pesantren Gebang Tinatar Tegalsari itu tampaknya Ranggawarsita kurang tekun mengaji dan mempelajari bahasa Arab. Sebagai seorang priyayi, Ranggawarsita yang berada di lingkungan pesantren ini mengalami tekanan batin sehingga menimbulkan kesadaran untuk meninggalkan cara hidup kemudaannya yang penuh kenakalan dan kemudian berusaha mesu budi untuk meningkatkan kemampuan rohaninya. Hal ini nanti akan tampak dalam karya-karya sastra yang ditulisnya. Namun, suasana pesantren Tegalsari tampak berpengaruh besar bagi kepribadian dan alam pikiran Ranggawarsita. Setelah dirasakan cukup belajar mengaji di pesantren Tegalsari, Ranggawarsita kembali ke Surakarta pada tahun 1815. Sekembalinya dari pesantren ini, Ranggawrasita kembali diasuh oleh kakeknya Jasadipoera II mempelajari seni, budaya, dan kesusastraan Jawa. Selain itu, dia juga berguru kepada Gusti Pangeran Boeminata, salah seorang adik Sinuhun Paku Buwana IV, tentang ilmu kanuragan atau jaya kewijayaan. Setelah berguru cukup lama tentang ilmu kanuragan ini, pada tahun 1819 Ranggawarsita diabdikan kepada Sunan Paku Buwana IV untuk magang sebagai abdi dalem, menjadi juru tulis, karena Gusti Pangeran Boeminata ketika itu menduduki jabatan kepala administrasi pemerintahan ibukota. Satu tahun kemudian, 1820, Sinuhun Paku Buwana IV wafat dan digantikan oleh Paku Buwana V.
Semasa pemerintahan Paku Buwana V ini Gusti Pangeran Boeminata senantiasa berusaha memohon agar kedudukan Ranggawarsita dinaikkan pangkatnya menjadi Panewu Mantri Jaksa dan Mantri Emban. Akan tetapi, permohonan Pangeran Boeminata tersebut tidak dikabulkan oleh Sunan Paku Buwana V. Hal ini mengingat bahwa pejabat lama yang telah meninggal dunia masih mempunyai ahli waris. Jabatan yang telah ditinggalkan oleh pejabat lama yang meninggal harus diserahkan kepada ahli warisnya. Pada saat itu, jabatan di Kasunanan Surakarta bersifat warisan. Seseorang cukup mendapat legitimasi jabatan dari orang tuanya, pamannya, atau kakeknya yang sudah meninggal untuk digantikannya.
Memasuki usia 19 tahun, Bagoes Boerhan dinikahkan dengan Raden Ayu Gombak, putri Bupati Kediri, Cakraningrat. Pernikahan sepasang pengantin ini dilaksanakan di dalem Penembahan Boeminata pada tanggal 19 November 1821. Perayaan pernikahan ini dilaksanakan selama lima hari lima malam. Kemudian dilanjutkan lagi ke rumah kakeknya selama lima hari lima malam juga. Tiga puluh hari kemudian, barulah kedua mempelai itu diboyong ke Kediri. Di Kediri pun pesta perkawinan mereka dirayakan lebih meriah dan lebih ramai daripada yang dilakasanakan di Surakarta. Maklum juga karena perayaan ini merupakan hajatan menantu pertama Bupati Kediri Cakraningrat.
Hanya beberapa hari Bagoes Boerhan tinggal di kadipaten Kediri. Kemudian dia berpamitan kepada mertua dan istinya untuk mengembara lagi berguru ilmu dan pengalaman hidup. Dahulu selama dua tahun di pondok pesantren Gerbang Tinatar Tegalsari yang dilakukan Bagoes Boerhan adalah berkelana ke rumah warok dan jagoan-jagoan pasar untuk menimba ilmu dan pengalaman mereka. Tampaknya hal ini sangat merindukan bagi Bagoes Boerhan untuk kembali melakukan hal itu. Dengan berat hati, mertua dan istrinya mengizinkan Bagoes Boerhan untuk mengembara menuntut ilmu dan pengalaman hidup senyampang masih muda.
Pengembaraan Bagoes Boerhan diawali ke arah selatan kota Kediri, kira-kira 10 Km, di sana ada daerah yang namanya Ngadiwuluh. Di daerah ini tinggal seorang pertapa tua yang bijaksana dan tinggi ilmu pengetahuannya, bernama Ki Tunggulwulung. Kepada pertapa tua yang bijakasana itulah Bagoes Boerhan belajar ilmu dan pengalaman hidup. Banyak hal yang dapat dipelajari oleh Bagoes Boerhan dari sang pertapa tua ini. Atas kecerdasan, ketekunan, dan keterampilan mempelajari dan menguasai ilmu tersebut, selanjutnya Ki Tunggulwulung menyarankan Bagoes Boerhan untuk berguru kepada Ki Ajar Wirakanta di daerah Banyuwangi, ujung timur Pulau Jawa.
Tidak ada yang harus ditunggu lagi, segera Bagoes Boerhan berangkat ke Banyuwangi menunaikan saran Ki Tunggulwulung untuk mencari dan menemukan Ki Ajar Wirakanta. Perjalanan dia ke Banyuwangi tentu memakan waktu lama karena harus melewati bukit-bukit, jalan terjal jalur selatan, belum ada kendaraan khusus selain jalan kaki atau naik kuda, dan tentu saja memerlukan istirahat serta menginap di perjalanan. Sesampainya di tempat tujuan, ternyata Ki Ajar Wirantaka memiliki sebuah padepokan dengan murid-muridnya yang cukup banyak. Di padepokan ini pun Bagoes Boerhan tidak lama tinggal di Banyuwangi karena Ki Ajar Warakanta mengamanatkan untuk belajar lebih luas lagi kepada Ki Ajar Sidalaku yang berada di Gunung Tabanan, Bali, yang merupakan guru Ki Ajar Wirakanta sendiri.
Setelah berpamitan dengan guru dan para murid di padepokan itu Bagoes Boerhan segera berangkat menyeberangi lautan untuk menuju ke Pulau Bali. Perjalanan Bagoes Boerhan berhari-hari melewati rintangan yang berat, hingga akhirnya sampai di Gunung Tabanan dan bertemu dengan Ki Ajar Sidalaku. Di tempat orang tua ini Bagoes Boerhan lebih senang dan gembira mendapatkan ilmu sesuai yang diminati. Di tempat tinggal Ki Ajar Sidalaku ini ditemukan Bagoes Boerhan sejumlah kropak kuno yang ditulis di atas daun lontar. Kropak kuno ini segera dipelajari oleh Bagoes Boerhan dengan tekun satu demi satu dan ternyata beragam isinya, terutama kisah-kisah dan ajaran tentang agama Hindu dan Budha. Ki Ajar Sidalaku pun berkenan menghadiahkan teks-teks lontar kuno itu kepada Bagoes Boerhan untuk dibawa pulang ke Jawa.
Sesudah dirasakan cukup apa yang harus dipelajari dari Ki Ajar Sidalaku, Bagoes Boerhan pun berpamitan untuk meninggalkan Bali dan kembali kepada istrinya yang ditinggalkan di Kediri. Sesampainya di Kediri, Bagoes Boerhan disambut dengan gembira oleh istri dan mertuanya. Raden Ayu Gombak sudah tampak mengandung putranya yang pertama. Bagoes Boerhan sendiri sudah meninggalkan istrinya kurang lebih tujuh bulan lamanya. Di Kediri ini pun Bagoes Boerhan tidak lama tinggal karena sudah ada utusan dari Surakarta yang memintanya untuk segera kembali. Bagaiamana pun Bagoes Boerhan masih bertanggung jawab sebagai abdi dalem juru tulis.
Usaha Gusti Pangeran Boeminata untuk mengakat derajat Ranggawarsita tidak pernah putus asa. Pada tanggal 28 Oktober 1822 Bagoes Boerhan diizinkan menjadi Abdi Dalem Carik Kepatihan setelah melalui ujian kurungan dalam gentha selama tiga hari. Jabatan baru Ranggawarsita ini kedudukannya berada di atas demang atau jajar dalam struktur birokrasi Kasunanan Surakarta. Atas jabatan barunya itu Bagoes Boerhan mendapat gelar baru dengan nama Rangga Pujangga Nom. Tidak berapa lama dengan jabatannya ini, Paku Buwana V wafat dan digantikan oleh Paku Buwana VI, nama aslinya Supardan, dan bergelar Sinuhun Mbangun Tapa, karena sejak muda sudah berkelana ke hutan dan gunung-gunung untuk melakukan tapa brata. Pada masa pemerintahan Sinuhun Paku Buwana VI ini meletus geger perang Diponegoro (1825—1830). Semasa pemerintahan Sinuhun Paku Buwana IV ini, pada tahun 1826 Rangga Pujangga Nom dinaikkan pangkatnya menjadi Mantri Carik Kadipaten Anom dengan gelar Mas Ngabehi Surataka.
Seusai perang Diponegoro berkecamuk, Pemerintah Belanda segera menangkapi dan mengintrograsi beberapa pejabat kerajaan Surakarta yang dipandang berkhianat kepadanya. Salah satunya adalah RT Sastranegara, ayahanda Ranggawarsita, dibawa ke Batavia dan tidak kembali lagi. Menurut laporan Pemerintah Hindia Belanda bahwa RT Sastranegara tidak mau kembali ke Surakarta karena telah mendapat kedudukan yang enak di Batavia. Namun, menurut penyeledikan masyarakat Surakarta, RT Sastranegara disiksa dan dibunuh oleh serdadu Belanda dan mayatnya dibuang ke tengah lautan. Puncak ketegangan itu terjadi ketika Belanda menangkap Paku Buwana VI dan dibuang ke Ambon serta dikabarkan meninggal dunia tahun 1849. Setelah Paku Buwana VI diasingkan ke Ambon, kedudukan raja di Surakarta digantikan oleh Paku Buwana VII yang merupakan anak dari Paku Buwana IV.
Sesudah ayahnya dibawa ke Batavia oleh Belanda dan tidak kembali lagi, Ranggawarsita diangkat untuk menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai Abdi Dalem Panewu Sedasa hingga tahun 1844. Pada tahun ini pula kakeknya Jasadipoera II wafat. Atas usulan Gusti Panembahan Boeminta, Ranggawarsita disetujui menggantikan kedudukan kakeknya sebagai pujangga istana dengan pangkat Kliwon Carik pada 14 September 1845 dengan gelar tetap Raden Ngabehi Ranggawarsita. Sejak anak-anak memang Ranggawarsita telah dididik dan dibina oleh kakeknya hidup dalam kesusastraan dan kebudayaan Jawa. Pengangkatan Ranggawarsita sebagai pujangga istana berkaitan dengan wahyu kapujanggan yang didapatnya ketika dia masih berada di Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari, Ponorogo. Tulisan-tulisan R.Ng. Ranggawarsita kemudian mendapat perhatian dan pengakuan dari Sunan Paku Buwana VII sebagai pujangga pamungkas atau khatam kapujanggan bagi Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Mengawali menjadi pujangga istana tentu menghadang tantangan berat bagi Ranggawarsita. Cobaan hidup silih berganti dan seakan tiada berhenti. Pada tahun 1847 anak lelaki kesayangannya meninggal dunia dalam usia sepuluh tahun. Tidak begitu lama juga Gusti Panembahan Boeminata yang sudah dianggap orang tua bagi Ranggawarsita ikut menyusul anaknya meninggal dunia. Tahun berikutnya, 1848, istrinya Raden Ayu Gombak yang dicintai juga meninggal dunia karena sakit dalam usia 47 tahun. Pada tahun 1852 pun ibunya yang sakit-sakitan sepeninggal ayahnya ditangkap Belanda juga meninggal dunia. Ranggawarsita betul-betul merasa kehilangan atas meninggalnya beberapa orang yang dicintainya itu. Guna menghibur diri, pada tahun 1852 itu Ranggawarsita memutuskan untuk menikah lagi dengan putri Bupati Wonosobo.
Beberapa karya Ranggawarsita yang sangat termasyhur adalah (1) Serat Jayeng Baya, (2) Serat Paramayoga, (3) Serat Pustaka Raja Purwa, (4) Serat Cemporet, (5) Serat Kalatida, (6) Serat Djoko Lodang, (7) Serat Wirid Hidayat Jati, (8) Suluk Seloka Jiwa, (9) Suluk Suksma Lelana, (10) Suluk Sapanalaya, (11) Sabda Jati, (12) Serat Jitapsara, (13) Aji Pamasa, (14) Panji Jayeng Tilam, (15) Serat Kridhamaya, (16) Serat Witaradya, (17) Serat Pamoring Kawula Gusti, dan (18) SeratWedharaga. Karya-karya Ranggawarsita itu sudah banyak yang mengkaji dan mempelajarinya dari sekadar untuk penulisan artikel di surat kabar, makalah pertemuan ilmiah, hingga disertasi doktor, seperti Kamadjaja (1964) Zaman Edan (Yogyakarta: UP Indonesia), Sumidi Adisasmita (1975) Sekitar Ki Pujangga Ranggawarsita (Yogyakarta: Yayasan Sosrokartono), Anjar Any (1980) Raden Ngabegi Ranggawarsita: Apa yang Terjadi (Semarang: Aneka Ilmu), Simuh (1988) Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita (Jakarta: UI Press), dan Ahmad Norma Permana (penyunting, 1998) Zaman Edan Ranggawasita (Yogyakarta: Bentang Budaya).
[Puji Santosa adalah peneliti bidang kebahasaan dan kesusastraan pada Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, pernah menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah (2006—2008), alumnus magister humaniora dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2002), dan kini menjabat sebagai Koordinator Jabatan Fungsional di lingkungan Pusat Bahasa.]