Selamat Datang

Selamat datang Saudara-saudaraku semuanya di blog "Puja-Puji" ini. Selamat menikmati, mencermati, dan mengoreksi sajian yang saya tampilkan dalam blog ini. Sekiranya Saudara berkenan memberi kritik, saran, komentar, dan masukan apa pun terhadap tampilan blog ini tentu saya merasa senang, bangga, dan terhormat, agar terjadi komunikasi dua arah. Silakan menuliskannya di tempat yang telah disediakan. Salam kami.

Jumat, 29 Januari 2010

Anak Bajang Menggiring Angin

Anak Bajang Menggiring Angin adalah sebuah novel yang ditulis oleh Sindhunata pada awal tahun 1980-an. Mula-mula kisah ini merupakan serial Ramayana yang dimuat setiap hari Minggu sepanjang tahun 1981 pada harian Kompas. Dengan beberapa perbaikan dan tambahan subbab, serial Ramayana ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Oktober 1983, dengan perubahan judul menjadi Anak Bajang Menggiring Angin. Penerbitkan menjadi buku ini didukung oleh Rahardjo S. sebagai lay-out, Hajar Satoto sebagai ilustrasi isi, dan Ipong Purnama Sidhi sebagai perancang gambar sampul. Sampai bulan Februari 2007 novel Anak Bajang Menggiring Angin telah memasuki cetakan kedelapan, rata-rata setiap cetakan 3.000 eksemplar.

Buku novel wayang yang ditulis Sindhunata ini terdiri atas delapan bab atau delapan episode. Setiap episode cukup ditandai dengan penulisan nama angka, dari “satu” hingga “delapan”. Tidak ada judul lain dalam setiap episode novel wayang Ramayana ini. Sebelum memasuki episode-episode itu, di dalam pendahuluan novel ini disertakan puisi sepanjang 2 halaman (9 bait), tanpa judul, dan diakhir penulisan terdapat tanda tanggal “15 Juni 1982, Sindhu, Kampung Hendrik-Batu”. Puisi panjang yang dimulai dengan kalimat “Anak bajang/menggiring angin/naik kuda sapi liar” ini dimaksudkan pengarang sebagai pengantar cerita atau prolognya.

Delapan episode yang terdapat dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin ini berkisah tentang Rama dan Dewi Sinta yang bersumber pada kisah Ramayana versi pewayangan Jawa. Kisah Anak Bajang ini dimulai dari negeri Lokapala yang semula Prabu Danareja hendak mengikuti sayembara alap-alapan Dewi Sukesi dari negeri Alengka. Numun, Begawan Wisrawa, ayahanda Prabu Danareja, mencegahnya dan dia sendirilah yang mewakili anaknya melamar Dewi Sukesi dengan mengikuti sayembara itu di Alengka. Begawan Wisrawa dapat memenangkan sayembara itu dengan membuka rahasia sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu sesuai permintaan Dewi Sukesi. Atas terbabarnya rahasia sastra jendra itu Dewi Sukesi jatuh cinta pada Begawan Wisrawa dan terjadilah hubungan suami istri. Arya Jambumangli, Paman Dewi Sukesi, marah dan melabrak Begawan Wisrawa. Namun, Arya Jambumangli dapat dikalahkan dengan mudah oleh Begawan Wisrawa hinggar terkapar di tanah dan tidak bangun lagi. Prabu Danareja di Lokapala kecewa atas perbuatan ayahnya yang merebut calon istrinya itu hingga keluar kutukannya suatu hari nanti akan bertempur dengan salah satu adik tirinya untuk melampiaskan kekecewaannya. Tidak lama kemudian lahirlah Rahwana dan adik-adiknya (Kumbakarna, Gunawan Wibisana, dan Sarpakenaka) dari rahim Dewi Sukesi yang berupa raksasa. Begawan Wisrawa menyarankan anak-anaknya, terutama Rahwana dan Kumbakarna, untuk bertapa meruwat diri memohon kasih para dewata.

Memasuki episode “Dua” dapat kita temukan kisah Resi Gotama dengan anak-anaknya Retna Anjani, Guwarsa, Guwarsi, dan istrinya, Dewi Windradi. Ketiga anak Resi Gotama rebutan cupumanik astagina yang menjadi asal-usul terjadinya para kera. Setelah Resi Gotama mengutuk istrinya, Dewi Windradi, menjadi tugu batu dan melemparkannya hingga jatuh di negeri Alengka, saat itu pula dilemparkannya cupumanik astagina ke udara yang menjadi rebutan ketiga anaknya. Di udara, cupumanik terpisah dari tutupnya. Tutup cumanik kemudian jatuh ke negeri Ayodya dan berubah menjadi telaga Nirmala. Sementara itu, cupumanik yang berisi air kehidupan jatuh di tengah hutan belantara dan berubah menjadi telaga Sumala. Guwarsa dan Guwarsi mengejar cupumanik itu dan langsung mencebur ke telaga Sumala. Seketika itu pula keduanya berubah menjadi kera dan diberi nama Sabali dan Sugriwa. Tidak lama kemudian Anjani pun datang di telaga itu lalu mengambil air telaga untuk mencuci mukanya. Seketika itu pula wajah Anjani berubah menjadi wajah kera.
Setelah mengalami peristiwa aneh itu, ketiganya segera menghadap Resi Gotama. Oleh Resi Gotama, Subali disarankan agar bertapa ngalong (seperti seekor kelelawar) di puncak gunung Suryapringga; Sugriwa juga disarankan untuk bertapa ngidang (seperti seekor menjangan) di hutan Suryapringga pula; dan Retna Anjani harus menjalani tapa nyantuka (bertapa seperti katak) di telaga Sumala. Akhirnya, Retna Anjani melahirkan Anoman, si kera putih nan sakti, dari Batara Guru. Para dewa yang lainnya pun mempunyai anak-anak kera, seperti Barata Narada mempunyai anak kera bernama Anila. Ketika di kahyangan terjadi huru-hara, Subali dan Sugriwa dapat mengalahkan Mahesasura dan Lembusura dari kerajaan Gua Kiskenda serta mendapatkan hadiah Dewi Tara dari dewa. Karena terjadi kesalah pahaman antara Subali dan Sugriwa, terjadilah perkelahian antara keduanya. Subali tampil sebagai pemenang dan segera merebut Dewi Tara serta bertahta di negeri Gua Kiskenda dengan kera-kera sebagai rakyatnya. Subali dan Dewi Tara melahirkan kera merah bernama Anggada. Sugriwa yang kalah dari Subali harus bertapa di gunung Maliawan sambil berharap datangnya keadilan.

Membuka lembaran episode “Tiga” kita jumpai cerita tentang kutukan kekek tua kepada Raja Dasarata yang telah tega memanah anak si kakek ketika sedang mencari air di sungai hingga mati. Tidak lama kemudian kelahiran putra-putra raja negeri Ayodya, Rama, Laksmana, Bharata, dan Satrugna membuat Raja Dasarata bahagia. Setelah dewasa Rama dapat memenangkan sayembara negeri Mantili dengan memboyong Dewi Sinta ke Ayodya. Di tengah perjalan dari Mantili ke Ayodya, Rama bertemu dengan Ramabargawa. Ksatria pendeta haus darah ini pun dapat ditaklukan oleh Rama dengan mematahkan gendewanya. Dengan tertaklukannya Ramabargawa itu rombongan Rama dan Sinta dapat melanjutkan perjalanan kembali ke Ayodya.

Sesampainya rombongan pengantin di Ayodya, pesta perkawinan Rama dan Dewi Sinta dirayakan dengan secara meriah. Pada suatu hari ketika Rama akan dinobatkan menjadi Raja Ayodya, Dewi Kekayi tidak setuju karena Raja Dasarata pernah berjanji kalau anak yang terlahir dari rahimnyalah yang akan menjadi Raja Ayodya menggantikannya. Akhirnya, untuk memenuhi janji Raja Dasarta itu Rama dan Sinta, diikuti juga oleh Laksmana, dibuang ke hutan Dandaka selama empat belas tahun. Begitu Raja Dasarata wafat, karena sakit-sakitan setelah ditinggal Rama ke hutan Dandaka, Bharata anak Dewi Kekayi dinobatkan menjadi Raja Ayodya sebagai pengganti Rama.

Episode “Empat” mengisahkan Rama yang diikuti Laksmana dan Dewi Sita berada di hutan Dandaka. Berbagai rintangan dan cobaan, terutama datang dari raksasa-raksasa Alengka, silih berganti mengganggu ketenteraman Rama dan Sinta. Suatu hari, Sarpakenaka menggoda Laksmana yang sedang sendirian di hutan. Laksmana yang digoda dan dirayu itu marah dengan memangkas hitung Sarpakenaka. Raksasa perempuan itu menjerit kesakitan dan segera lari terbang mengadu ke suaminya, Karadursana dan Trimurda. Setelah mendapat aduan dari istrinya, dua raksasa pemarah itu segera melabrak Laksmana di hutan Dandaka. Dengan garangnya kedua raksasa itu menyerang Laksmana. Namun, dengan tangkas dan sigapnya Laksmana dapat melawan kedua raksasa itu hingga akhirnya Karadursana dan Trimurda tersungkur ke tanah mati diterjang anak panah yang dilepaskan oleh Laksmana.

Sarpakenaka yang telah dipermalukan oleh Laksmana itu pun segera terbang ke Alengka mengadu kepada kakaknya, Rahwana. Setelah mendengar aduan dan cerita Sarpakenaka, Rahwana tertarik untuk menculik istri Rama, Dewi Sinta, dari hutan Dandaka. Kalamarica, sahabat baik Rahwana, disuruhnya menjauhkan Sinta dari Rama dengan cara berubah menjadi Kijang Kencana. Benar, Sinta tertarik akan kijang kencana yang dilihatnya itu dan dimintanya Rama menangkap kijang kencana. Ketika kijang kencana itu dipanah Rama, seketika berubah kembali menjadi Kalamarica yang menjerit meminta bantuan Laksmana. Sinta mengira bahwa jeritan itu adalah suara Rama yang mendapat celaka sehingga Sinta memaksa Laksmana menyusul ke tempat Rama. Begitu Laksmana pergi menyusul Rama, Rahwana yang berubah wujud sebagai pertapa tua, mendekati dan merayu Sinta yang sendirian. Sinta menolak rayuan si pertapa. Namun, segera disaut oleh Rahwana yang kembali berubah menjadi raksasa dan diterbangkan ke angkasa. Jatayu, burung raksasa sahabat Raja Darata, mendengar jeritan Sinta dan segera datang merebut dari gendongan Rahwana. Jatayu kalah sakti dari Rahwana hingga jatuh kembali di hutan Dandaka. Dengan segera Rahwana menerbangkan Sinta ke negeri Alengka.

Ketika Rama dan Laksmana kembali ke tempat peristirahatannya, dijumpainya Sinta sudah tidak ada di tempat. Mereka berdua segera mencari ke berbagai tempat di hutan Dandaka itu dan tidak ditemukan Sinta. Di tengah pencariannya itu Rama dan Laksmana bertemu dengan Jatayu yang sekarat dan hampir menghembuskan napasnya yang terakhir. Dari cerita Jatayu dapat diketahui bahwa Sinta diculik oleh Rahwana dan diterbangkan ke Alengka. Setelah Jatayu berpulang ke alam baka, Rama dan Laksmana melanjutkan pencariannya. Di tengah usaha pencariannya itu, mereka bertemu dengan raksasa Kala Dirgabahu dan terjadilah perang di antara mereka. Ketika panah Laksmana menembus dada raksasa Kala Dirgabahu, saat itu juga raksasa berubah menjadi Dewa Kangka. Atas petunjuk Dewa Kangka, Rama dan Laksmana pergi ke bukit Reksamuka menemui raja kera Sugriwa.

Sesampainya di bukit Reksamuka, Rama dan Laksmana beristirahat di bawah pohon nangka. Mereka berdua terbangun dari tidurnya ketika mendengar rintihan seekor kera yang terjepit di antara dua dahan yang kuat. Ternyata kera yang terjepit pohon nangka itu adalah Sugriwa yang sedang bermasalah dengan kakaknya, Subali. Rama segera menolong dengan memanah pohon yang menjepit tubuh Sugriwa hingga pohon patah tumbang dan Sugriwa lepas dari jepitan. Sugriwa segera bercerita kepada Rama dan meminta bantuannya untuk mengalahkan kakaknya, Subali, dan kemudian dapat merebut tahta Kiskenda serta permaisuri Dewi Tara. Rama bersedia membantu Sugriwa apabila kelak setelah menang, Sugriwa dan bala tentara wanara berkenan membantu mencari Sinta. Setelah mereka sepakat, Sugriwa pergi melabrak ke Kiskenda menantang perang tanding dengan Subali. Sewaktu keduanya bertarung, Rama kesulitan membedakan keduanya karena Sugriwa dan Subali sebagai kera kembar. Untuk membedakan keduanya, Sugriwa yang terlempar jauh dihadapan Rama segera dikenakan ikat janur kuning di kepalanya. Kembali Sugriwa bertarung melawan Subali. Sewaktu Sugriwa mulai terdesak kalah karena Subali memilki Aji Pancasona, tiba-tiba panah Guwawijaya dilepaskan Rama hingga menembus dada Subali. Seketika itu pula Subali terjungkal hingga menghembuskan napas yang terakhir. Seluruh bala wanara bersorak sorai menandai kemenangan Sugriwa. Pesta kemenagan pun diadakan oleh seluruh bala wanara dan Sugriwa naik tahta di istana Kiskenda. Setelah Sugriwa mengucapkan terima kasih, Rama dan Laksmana pergi meninggalkan Kiskenda untuk pergi ke Gunung Maliawan. Kedua ksatria itu menunggu Sugriwa dan bala tentara wanara di Gunung Maliawan untuk bersama-sama pergi ke Alengka melabrak perang dan memboyong Sinta kembali ke Ayodya.

Dalam episode “Lima” dikisahkan bahwa Sugriwa yang dimabuk kemenangan hampir lupa memenuhi janjinya kepada Rama. Kapi Jembawan tidak bosan-bosanya mengingatkan rajanya untuk segera menemui Rama di Gunung Maliawan. Atas desakan itu akhirnya Sugriwa dan bala tentara wanara bersedia datang ke Gunung Maliawan. Benar, Rama dan Laksmana hampir jenuh menunggu kedatangan Sugriwa dan bala tentara wanara di Gunung Maliawan. Setelah mereka bertemu, kemudian diadakan musyawarah dan diputuskanlah Anoman, si kera putih, sebagai duta Rama mencari Sinta ke Alengka dengan membawa sebuah cincin Rama. Dalam perjalanannya ke Alengka, noman bertemu dengan Sayempraba yang membuat matanya menjadi buta. Atas pertolongan burung Sempati, adik raja burung Jatayu, Anoman pulih kembali dapat melihat dan meneruskan perjalananan ke Alengka.

Ketika Anoman sudah sampai di tepi pantai, mau tidak mau harus melesat terbang menyebarangi lautan untuk menuju ke Alengka. Di tengah angkasa Anoman ditarik turun ke lautan oleh saudara tunggal bayunya, Gunung Maenaka. Atas petunjuk saudara tunggal bayunya, Gunung Maenaka, Anoman dapat masuk negeri Alengka dengan mudah. Setelah berputar-putar di kota Alengka, Anoman dapat menemukan Dewi Sinta di Taman Argasoka yang sedang ditemani oleh Trijata, anak perempuan Gunawan Wibisana. Setelah bertemu dengan Dewi Sinta dan menyampaikan maksudnya, Anoman segera kembali ke Maliawan. Namun, sebelum kembali ke Maliawan, Anoman merusak dulu kota Alengka. Para raksasa yang menyaksikan perbuatan Anoman itu segera menangkap dan membawanya ke hadapan Rahwana. Atas perintah Rahwana, Anoman yang telah diikat itu dibakar tengah di alun-alun. Anoman tidak mempan dibakar, api yang berkobar di tubuhnya dapat menyulut kebakaran di mana-mana karena Anoman terbang dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Tinggal rumah Togog Tejamantri yang disisakan tanpa dibakar. Setelah puas bermain-main api di Alengka, dengan kecepatan yang luar biasa, Anoman terbang pulang ke Maliawan.

Rama senang mendengar laporan Anoman. Untuk dapat menyeberangi lautan pergi ke Alengka itu bala tentara wanara harus dapat membangun tambak, semacam jembatan. Gunawan Wibisana, adik Rahwana, saat itu juga bergabung dengan Rama untuk memerangi kakaknya yang angkara murka. Setelah mereka bermusyawarah, kemudian dikerahkan semua bala tentara wanara membangun tambak dengan disangga oleh Gajah Situbanda, saudara bayu Anoman. Melalui Anoman, Hyang Baruna, dewa laut, memberi petunjuk agar Gunung Sandyawela dihancurkan untuk membangun tambak. Dengan semangat yang bergelora dan kerja keras semua bala tentara wanara, akhirnya tambak itu jadi dan dapat dilewati untuk menyeberangi sampai ke Alengka.

Sesampainya di daratan Alengka, mereka membangun pesanggrahan dan perkemahan di Gunung Suwela untuk mengatur siasat. Mula-mula Anggada diutus Rama untuk menyampakan perdamaian kepada Rahwana. Raja Raksasa itu menolak ajakan damai Rama dan menghasut Anggada untuk memerangi Rama karena ayahnya, Subali, terbunuh oleh Rama. Amarah Anggada dapat diredam oleh Sugriwa dengan dijelaskannya duduk persoalan yang benar. Akhirnya, perang besar Alengka pun terjadi. Dalam perang besar itu satu per satu saudara, anak, dan bala tentara Rahwana gugur di medan perang. Dengan terpaksa Rahwana maju ke medan perang berhadapan dengan Rama. Aji Pancasona yang dimiliki Rahwana membuat kesaktian yang luar biasa dan membuat Rahwana tidak dapat mati. Ketika panah Guwawijaya yang dilepaskan Rama dapat memisahkan tubuh dan kepala Rahwana, Anoman dan kelima saudara sekandungnya (Kilatmeja, Ramadaya, Dayapati, Garbaludira, dan Ditya Pulasio) segera mencabut Gunung Suwela untuk menimpakannya ke badan Rahwana. Mendapat perlakuan seperti itu, Rahwana yang tidak dapat mati terus menjerit karena siksaan hidupnya yang tertimpa Gunung Suwela.

Perang besar Alengka yang banyak memakan korban pun akhirnya usai. Dunia kini kembali terang benderang, tenang, tentram, damai, dan sejahtera. Gunawan Wibisana dinobatkan Rama sebagai Raja Alengka menggantikan Rahwana. Ketika Rama menjumpai Dewi Sinta yang sudah berdandan dengan indahnya, Rama curiga dan menyangsikan kesucian Sinta. Air mata Sinta berlinang dan terus menangis ketika Rama menuduhnya sudah tidak suci lagi karena sudah dijamah oleh Rahwana. Untuk membuktikan kesuciannya, Rama meminta Sinta terjun ke bara api yang tengah menyala. Amarah Rama tidak dapat dikendalikan oleh siapa pun. Sinta pun menyanggupi permintaan Rama. Setelah tumpukan kayu kering disulut, api menyala berkobar-kobar, Sinta pun terjun ke dalam kobaran api. Berkat kesuciannya, Sinta tidak mempan dibakar.

Anak Bajang Menggiring angin ditutup ungkapan: Para kera dan raksasa yang lain tidak peduli apa yang terjadi. Mereka terus bergembira ria. “Kegembiraan mereka seakan mengejek: kisah dan riwayat yang dialami orang tua mereka ternyata hanyalah mimpi yang berakhir dengan kesia-siaan belaka”.

Sori Gusti

Sori Gusti merupakan sajak-sajak terlengkap Darmanto Jatman sejak tahun 1959 hingga tahun 2002. Sajak-sajak Daramanto Jatman yang dihadirkan dalam buku Sori Gusti ini tanpa seleksi yang disunting oleh Triyono Tiwikromo. Dalam buku Sori Gusti itu sudah memuat hampir semua sajak Darmanto yang pernah diterbitkan, seperti dalam buku Sajak-sajak Putih (1965), Sajak Ungu (1965), Sang Darmanto (1975), Bangsat (1976), Ki Blakasuta Bla Bla (1980), Karto Iyo Bilang mBoten (1982), Golf untuk Rakyat (1995), Isteri (1997), dan ditambah dengan sajak-sajak baru Darmanto Jatman yang ditulis antara tahun 1997–2002. Dalam “Kata Pengantar” buku ini disampaikan bahwa ada beberapa sajak Darmanto Jatman yang tidak terdokumentasi dalam buku Sori Gusti karena beberapa hal, seperti sajak yang dirasa tidak baik sehingga ketika itu dibuang ke keranjang sampah oleh Darmanto sendiri, dan ada juga sajak yang hilang karena hanyut dalam musibah banjir. Ini semata karena musibah dan kesalahan diri yang membuat fatal dan penyesalan pada akhirnya.

Sori Gusti terdiri atas tujuh banjaran, yaitu (1) Banjaran Pertama “Testimoni: Sori Gusti”, terdiri atas 35 sajak, (2) Banjaran Kedua “Main Cinta Model Kwang Wung”, terdiri atas 8 sajak, (3) Banjaran Ketiga “Plesir”, terdiri atas 34 sajak, (4) Banjaran Keempat “Medali-Medali Peradaban”, terdiri atas 9 sajak, (5) Banjaran Kelima “Laporan Kepada Rakyat”, terdiri atas 30 sajak, (6) Banjaran Keenam “Bahwa Aku Sekarang Merasa Tua”, terdiri atas 38 sajak, dan (7) Banjaran Ketujuh “Seorang Modern Menulis Puisi”, terdiri atas 10 sajak. Dengan demikian, keseluruhan sajak Darmanto yang dimuat dalam buku Sori Gusti ada sebanyak 164 sajak. Jumlah sajak lengkap yang ditulis oleh Darmanto Jatman ini sudah melebihi sajak-sajak lengkap Goenawan Mohamad (editor Ayu Utami dan Sitok Srengenge) yang hanya 134 sajak. Namun, jumlah sajak Darmanto Jatman ini pun masih berada di bawah sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo, atau Taufiq Ismail yang menulis sajak lebih dari 350 judul sajak.

Dalam buku kumpulan sajak Sori Gusti ini Darmanto kembali mengenalkan istilah banjaran seperti lakon wayang kulit di Jawa. Mula-mula istilah banjaran berasal dari dunia pertanian, yang artinya ‘deretan panjang’. Dalam bahasa Indonesia kata banjaran berarti: ‘deretan’, ‘jajaran’, atau ‘barisan’. Kemudian istilah itu dioper alih dalam dunia pedalangan wayang kulit di Jawa untuk menceritakan satu lakon utuh tentang seorang tokoh, misalnya “Banjaran Bhisma”, “Banjaran Baladewa”, “Banjaran Bima”, “Banjaran Arjuna”, dan “Banjaran Adipati Karno”. Salah seorang dalang wayang kulit di Jawa yang pertama mempopulerkan lakon banjaran adalah Ki Narto Sabda dari Semarang. Selanjutnya, lakon banjaran itu diteruskan dalang-dalang lainnya, seperti Ki Manteb Soedarsono dari Karang Anyar, dan Ki Anom Suroto dari Surakarta.

Dalam dunia kesusastraan, istilah banjaran diperkenalkan oleh Darmanto Jatman melalui buku kumpulan sajaknya Isteri (Grasindo, 1997). “Kata Pengantar” buku Isteri itu Darmanto menyatakan “Isteri yang sekarang ini memuat banjaran sajak-sajak saya sejak 1960 sampai 1996, eh 1997 ini. ‘Selected Poems’ tentu saja.” Kemudian dalam buku kumpulan sajak Darmanto Jatman yang baru, Sori Gusti (LIMPAD, 2002), istilah banjaran lebih diekspos. Sebab, istilah banjaran itu dipakai oleh penyunting buku (Triyono Tiwikromo) sebagai tanda bab atau pengelompokan ataupun kategori sajak-sajak Darmanto (terdiri atas tujuh banjaran, lihat pula esai penyunting dalam buku itu), dan dipergunakan sebagai judul esai seorang pengamat, “Banjaran Darmanto Jatman”, oleh Adriani S. Soemantri dalam buku itu juga.

Judul buku Sori Gusti diangkat dari salah satu judul sajak yang ditulis oleh Darmanto pada tahun 2001. Judul itu secara tersurat sudah menunjukkan pemakaian campur kode dan alih kode bahasa. Kata sori merupakan serapan dari bahasa Inggris sorry (lema sori belum masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi kata ‘sedih’, ‘maaf’, atau ‘sesal’. Sementara itu, kata Gusti merupakan serapan dari bahasa Jawa (lema gusti sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang artinya ‘sebutan untuk orang bangsawan atau Tuhan (atau yang dianggap Tuhan)’. Jadi, dalam buku itu Darmanto Jatman berdiri di antara dua bahasa, yaitu Inggris sebagai simbol “peradaban mendunia” dan Jawa sebagai simbol “peradaban primodial”, dalam ke-Indonesia-annya sambil mengungkapkan perasaan sedih dan sesalnya atas perbuatan yang pernah dilakoninya selama ini kepada Tuhannya. “Mohon maaf Tuhan”, “Maafkan saya Tuhan”, atau “Ampun Tuhan”. Begitu kiranya isi buku itu sebagai pengakuan dosa menilik dari makna judulnya.

Terlintas buku Sori Gusti bernada religius atas kesadaran iman seorang Jawa tulen yang menganut agama Kristen/Nasrani. Memang dalam banjaran pertama itu banyak diungkapkan masalah pencarian, pergulatan, permenungan, perlawanan, penemuan, kegelisahan, dan kepasrahan aku lirik terhadap yang disebutnya sebagai Gusti, yaitu Tuhan, Allah, Kristus, Jesus, Isa Almasih, ataupun Dzat yang Mahaagung “Kang Murbeng Dumadi, Jagat rat pramudita.” Di sini tampak sekali perpaduan iman seorang Jawa yang mampu menjadi wadah sinkretisme. Darmanto Jatman tidak segan-segannya menggunakan idiom keagamaan, seperti “abracadrabra, duh Betara. Betara” (sajak “Karena Bosan Dia Mati”), “O Allah!” (sajak “So Private This Loneliness”), “Insya Allah” (sajak “10 Februari 1969 Kau dan Aku”), “Sugeng rawuh Gusti. Syalom alekheim. Salamalaikum. Aum shantih shanthih shantih aum. Namo budaya. Sancai. Sancai. Sancai. Rahayu, Basuki, Slamet” (sajak “Jangan Panggil Aku Gusti”), “Amin. Gusti, nyuwun kawelasan. Halleluyah. Allahu Akbar. Salam. Syalom. Sadhu. Sancai. Rahayu. Amin” (sajak “Cucu”), dan “innalillahi wainailhi rojiuun” (sajak “Roro Blonyo”). Dengan demikian, jelas di sini Darmanto Jatman ingin menunjukkan adanya keberagaman (pluralisme atau multikultural) dalam peribadatan manusia kepada Tuhan. Meskipun beragam dalam hal beribadatan, semua itu pada hakikatnya menuju ke satu tujuan, yaitu keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia hingga akhirat.

Banjaran kedua dalam buku Sori Gusti lebih mengekspos masalah-masalah percintaan. Manusia hidup di dunia itu membutuhkan belaian kasih sayang lawan jenis. Dalam dunia percintaan tidak pandang bulu harus yang muda remaja saja yang berhak bermain cinta. Seorang kakek-kakek yang sudah menjadi begawan atau pendeta, seperti Begawan Wisrawa, tokoh pewayangan dalam kisah Ramayana, dapat tergiur asmara daun muda si Rara Dewi Sukaesi. Demikian juga si Duda Bantat, Karta Telo, pada masa tuanya justru diuji Tuhan untuk jatuh kasmaran pada istrinya sendiri. Itulah sebabnya permainan cinta mereka seperti binatang kwang wung. Kata kwang wung dalam banjaran kedua ini merujuk pada nama binatang kumbang kelapa atau hama kelapa. Biasanya binatang kwang wung hanya terbang berputar-putar di sekitar pohon kelapa sambil mengeluarkan suaranya (brengengeng). Banjaran kedua ini menunjukkan keberagam dalam hal bercinta, dari yang muda belia hingga yang kakek-kakek.

“Pelesir” menjadi tanda keberagaman dalam banjaran ketiga buku kumpulan sajak Sori Gusti. Pelesir artinya pesiar, melancong, ataupun tamasya. Seseorang yang pelesir berpergian jauh, meninggalkan rumah, biasanya pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan seperti pantai, gunung, dan objek-objek wisata yang lainnya. Tujuaannya tiada lain adalah mencari hiburan dan sekaligus mencari pengalaman hidup. Demikian juga halnya dengan ke-34 sajak Darmanto yang dimuat dalam banjaran ketiga itu memotret pengalaman aku lirik ketika mengunjungi tempat-tempat wisata. Kunjungan Darmanto ke berbagai kota di luar negeri, seperti Honolulu-Hawaii, Taipei-Taiwan, Negeri Kiwi, Rotterdam-Belanda, Adelaide-Australia, dan London-Inggris, menjadi ajang kreativitas memotret perilaku dan pengalamannya di negeri orang tersebut. Demikian halnya dengan kota-kota lain di negerinya sendiri, seperti Yogya, Jepara, dan Bantul ketika terjadi perubahan peradaban, dari yang tradaisional ke dunia modernisasi menjadi ajang kreativitas yang menarik bagi Darmanto.

“Medali-Medali Peradaban” menjadi tanda banjaran keempat dalam buku Sori Gusti itu. Darmanto kembali momotret sikap seseorang dalam menghadapi perubahan zaman, seperti tokoh Marto Klungsu dari Leiden, Ki Lurah Karangkedempel sewaktu menerima mahsiswa KKN di desanya, Karto Tukul dan Saudaranya Atmo Boten ketika menerima produk “Dagadu Djokja”, menjadi hal yang menarik untuk mendapat pengahargaan dari siapa pun. Sikap mereka ketika menerima perubahan zaman itu ada yang melawan, meronta-ronta ingin tetap mempertahankan tradisinya, dan ada pula yang hanya pasrah total mengikuti arus zaman. Mereka ada yang tidak kuasa membendung laju modernitas menerjang habis peradaban adiluhungnya. Ampun Darmanto.

Tema sosial kemasyarakatan, juga masalah ekonomi dan politik, menjadi tanda banjaran kelima “Laporan Kepada Rakyat” buku kumpulan sajak Sori Gusti. Bebagai masalah sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat kita, seperti masalah transmigrasi, patriotisme kromo, pelacuran, AIDS, pemilu, demonstrasi, suksesi, kekuasaan, dan reformasi pun menjadi objek menarik dalam banjaran kelima. Ketidak-beresan dan berbagai penyelewengan yang terjadi dalam masyarakat kita itu perlu dilaporkan kepada rakyat. Rakyat perlu mengetahui dan memahami dengan benar karakter bangsanya dan semua peristiwa yang terjadi di negerinya. Atas dasar laporan itu maka perlu ditindak-lanjuti untuk segera “memayu hayuning bangsa lan negara”. Segeralah “diruwat” (dibebaskan) bangsa kita ini dari semua penderitaan dan juga azab Tuhan. Dari mana harus “diruwat” bangsa yang telah carut marut ini? Darmanto memberi solusi dari “Generasi Demi Generasi”, terutama me-“Reformasi Diri” untuk menuju “Harmoni (meskipun) Itu (baru sampai pada tataran) Sepasang Sandal Jepit”.

Banjaran keenam dan ketujuh dalam buku Sori Gusti ini lebih dimaksudkan sebagai keberagaman renungan dan penemuan jatidiri Darmanto ketika memasuki usia senja dan menjadi manusia modern di tengah masyarakat madani. Semakin tua usia hendaknya ia semakin tumbuh kesadaran dirinya untuk menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat dan bangsanya. Ibarat ilmu padi, semakin tua semakin berisi, ia dapat menunduk, andhap asor, dan penuh dedikasi diri pengabdian kepada bangsa, negara, masyarakat, dan tentu juga kepada Tuhan. Pada usia senjanya ini Darmanto Jatman tidak perlu lagi yak-yakan, nyleneh, menggebu-gebu ataupun meledak-ledak seperti ketika berusia muda dahulu. Emosinya pun tentu dapat diredam dan amarahnya juga dapat dikendalikan. Kini tinggallah kewaspadaan, kehati-hatian, dan santun dalam berperilaku serta bertutur kata hanya semata ia sudah “sumarah kepada Gusti”, “sumendhe ing Gusti”, “sumeleh ing Gusti”, mohon ampun Tuhan, dan sendhika menerima dhawuh Gusti (sajak “Ampun Gusti”) untuk segera menerima tugas menulis puisi dan berkarya. Hidup di dunia ini ternyata hanya sekadar mewakili tugas atau pakaryan Tuhan yang terbabar di dunia, sekadar menjadi kafilah.


Kastalia



Kastalia adalah buku kumpulan sajak karya Dodong Djiwapradja yang diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1997. Kumpulan sajak karya Dodong Djiwapradja ini mendapatkan hadiah dari Yayasan Buku Utama (1998) dan Hadiah dari Pusat Bahasa (2000). Buku kumpulan sajak ini diberi kata pengantar oleh W.S. Rendra. Dalam buku ini memuat 67 sajak yang ditulis Dodong Djiwapradja antara tahun 1948–1973. Sajak-sajak dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu (1) Jalan Setapak, 1948–1949; (2) Getah Malam, 1951–1959; (3) Kastalia, 1960; (4) Jari-Jemari, 1961–1963; dan (5) Penyair yang Lahir di Tanah Air, 1970–1973. Pengelompokan sajak dalam buku itu tidak didasarkan pada kesamaan tema, tetapi didasarkan pada urutan kronologis atau urutan waktu penciptaan sajak. Hal ini memudahkan pembaca untuk mengikuti sejarah perkembangan estetis pemikiran Dodong Djiwapradja tentang kehidupan yang tertuang dalam puisi selama 25 tahun masa kepenyairannya.
          Judul buku Kastalia diangkat dari salah satu sajak karya Dodong Djiwapradja yang ditulisnya pada tahun 1960. Kastalia sebagai judul sajak dan sekaligus judul buku itu mengingatkan kita pada pembagian kasta dalam masyarakat Hindu atau India Kuno, seperti kasta brahmana, kasta ksatria, kasta waisya, kasta sudra, dan kasta paria. Kata kasta itu sebenarnya berasal dari bahasa Portugis “casta” yang artinya ‘ras, keturunan, atau jenis kelamin’. Atau dapat juga judul Kastalia itu mengingatkan kita pada kata kastal, yang artinya ‘pohon kayu yang tumbuh di gurun atau di tanah yang kering’. Dan yang terakhir, judul Kastalia itu mendekati kata kastanyet, yang artinya.’alat musik yang terdiri atas sepasang kepingan gading atau kayu keras yang cekung dan direntet-rentetkan oleh ibu jari untuk mengiringi irama tari-tarian Spanyol’.
          Meski ada kemungkinan tiga makna yang terdapat dalam kata kastalia seperti di atas dalam kumpulan sajak Dodong itu kita masih menemukan makna yang lain pula. Apabila kita telusuri lebih jauh asal mula kata kastalia itu ternyata diambil dari bahasa Yunani Kuno, castalia atau castalian, yang berarti puncak Gunung Parnassus yang merupakan tempat tinggal suci Dewa Apollo dalam Mitologi Yunani. Kumudian dalam sejarah Kitab Perjanjian Lama kata castalia itu dipahami sebagai tempat suci pertemuan Nabi Musa dengan Tuhan di puncak Gunung Tursina. Makna kata kastalia yang semula berasal dari bahasa Yunani Kuno itu akhirnya banyak digunakan oleh para penyair di Barat menjadi sumber inspirasi penciptaan puisi-puisi yang ditulisnya. Mereka beranggapan bahwa puisi-puisi yang terlahir dari penciptaannya bersumber dari yang maha suci guna memberi pencerahan kepada pembaca. Seperti halnya Dewa Apollo memberi pencerahan kepada rakyatnya atau Nabi Musa setelah turun dari puncak Tursina menerima “Sepuluh Perintah Tuhan” yang berguna sebagai upaya pencerahan umatnya, terutama kaum Yahudi ketika itu. Boleh juga Dodong memadankan sajak-sajak yang ditulisnya itu sebagai katarsis, penyucian hati bagi pembaca.
          Padanan konsep pemikiran Dodong Djiwapradja seperti di atas dapat dipahami dari beberapa sajak yang ditulisnya, misalnya sajak yang berjudul “Puisi”, “Di Makam Ayah”, dan “Mengaji”. Pada baris dan bait pertama dalam sajak “Puisi” Dodong mentransformasikan secara langsung bahasa Al-Quran, “Kun fayakun”, ‘Jadilah, maka terjadilah ia’. Sesungguhnya ucapan itu merupakan kalam Allah yang ditujukan kepada sesuatu dengan kehendak untuk mewujudkan atau menjadikannya ‘tercipta’, seperti penciptaan langit dan bumi (Surat Al-Baqarah: 117; Al-An’aam: 73; Yaasiin: 81–82), membangkitkan orang mati menjadi hidup kembali atau menghidupan dan mematikan makhluknya (Surat An-Nahl: 38–40; dan Surat Al-Mukmin: 67–68), kelahiran Nabi Isa melalui Maryam yang tanpa sentuhan seorang lelaki (Surat Ali Imran: 47), dan perumpamaan penciptaan Nabi Isa yang tak ubahnya seperti penciptaan Nabi Adam (Surat Ali Imran: 59). Dalam ensiklopedi Islam dikatakan bahwa terjemahan kata “kun” yang paling tepat adalah exist, ‘nyatalah’. Sebab apa yang terkandung dalam kalam Allah itu merupakan sebuah gerakan menuju ke eksistensi atau kenyataan yang bersumber dari kehendak Allah untuk mewujudkan sesuatu hal hingga terbentuk atau terwujudlah kehendak-Nya itu.
          Kembali kepada sajak Dodong Djiwapradja yang berjudul “Puisi”, dengan ucapan “Kun fayakun” dapat dianalogikan bahwa penciptaan puisi oleh manusia itu prosesnya tak ubahnya seperti Tuhan menciptakan alam semesta seisinya. Hanya bedanya, Tuhan berkehendak menciptakan sesuatu hanya dengan ucapan “kun fayakun”, maka seketika terjadilah kehendak-Nya mewujudkan apa saja Adapun manusia ketika menciptakan sesuatu hal, termasuk puisi, melalui proses yang panjang dan tidak seketika jadi seperti apa yang diinginkannya. Manusia menciptakan sesuatu hal memerlukan waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan atau bertahun-tahun, untuk menjadikan keiinginnaya terwujud. Karena manusia memiliki keterbatasan, maka hasil ciptaannya tidak sesempurna ciptaan Tuhan. Keterbatasan itu menyebabkan ada keinginan manusia yang hanya tinggal keinginan atau tidak dapat mewujudkan keinginannya tersebut.
          Larik pertama bait kedua dalam sajak “Puisi” Dodong mengatakan bahwa “Saat penciptaan kedua adalah puisi”. Kalimat Dodong ini dipahami bahwa ada penciptaan pertama, sebelum ada penciptaan kedua, yaitu Allah menciptakan alam semesta seisinya. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. Demikian dikatakan dalam berbagai kitab suci hingga seterusnya terjadilah semesta alam seisinya ini. Manusia tidak dapat menciptakan langit dan bumi, tetapi manusia selaku pencipta yang kedua hanya mampu meneladan, meniru, mencontoh ciptaan Tuhan yang sudah ada. Paham ini dikenal dikenal dengan memesis. Oleh karena itu, penciptaan yang dilakukan oleh manusia “tertimba dari kehidupan (semesta alam) yang ditangisi/ bumi yang didiami, laut yang dilayari/ udara yang dihirupi, air yang diteguki/ kebun yang ditanami, bukit yang digunduli/ gubuk yang diratapi, gedung yang ditinggali/ sawah yang dibajak/ manisan yang terbuat dari butir-butir kepahitan” dan dari “gedung yang megah yang terbuat dari butir-butir hati yang gelisah”. Paham kesemestaan.
          Penciptaan puisi yang didasarkan pada pengalaman hidup seperti di atas ditangkap oleh W.S. Rendra dalam kata “Pengantar” buku Kastalia itu sebagai gambaran frustrasi dan rasa tidak bahagia penyairnya. Selain itu, Rendra juga menangkap fenomena yang terjadi pada diri Dodong adalah kesadaran akan situasi tragik dan kefanaan dalam hidup ini sehingga hadirlah sikapnya yang penuh waspada, hati-hati, dan tekun melindungi kemurnian hati nurani. Memang pandangan tentang tragedi mulai populer sejak kemunculan drama trilogi Yunani karya Sophokles, yaitu “Oedipus Rex”, “Oedipus di Kolonus”, dan “Antigone” yang mengalami bencana karena ulah tokoh utamanya. Bencana dan keberuntungan adalah anugerah Tuhan yang perlu disyukuri sebagai bentuk oposisi biner. Tidak selamanya manusia selalu berada dalam keberuntungan, dan tidak juga selamanya manusia berada dalam situasi tragedi. Demikian pula kefanaan dan keabadian menjadi oposisi biner yang membuat hidup manusia selalu optimis dan dinamis memandang masa depan.
          Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 959) lema tragedi memiliki dua arti, yaitu (1) sandiwara atau cerita sedih yang pelaku utamanya menderita kesengsaraan lahir dan batin yang luar biasa bahkan sampai meninggal, dan (2) peristiwa-peristiwa yang menyedihkan atau yang membuat kematian. Atas dasar pengerti dalam kamus itu berarti tragedi identik dengan peristiwa yang menyedihkan, kejadian yang membuat kesengsaraan hidup, dan timbulnya berbagai bencana atau malapetaka yang membuat penderitaan manusia, seperti bencana alam, wabah penyakit, dan peristiwa pembantaian. Adanya tragedi seperti itu membuat manusia semakain akrab dengan penderitaan, kemalangan, dan kesengsaraan hidup. Dalam karya Dodong Djiwapradja hal itu tentu tersirat dan tersurat dalam sajak-sajaknya, seperti sajak “Garut”, “Puisi”, “Kastalia”, dan “Jari-Jemari”.
          Sajak “Jalan Setapak” dan “Perjalanan” jelas memperlihatkan keakraban penyair dengan suasana pedesaan yang mempunyai ikatan dengan dunia pertanian. Dodong melihat suasana pedesaan yang sederhana dan penuh kedamaian. Ayahnya adalah ahli membajak sawah dan anaknya berusaha menjadi ahli pembuat sajak merupakan suatu gambaran perjalanan hidup yang kontras. Orang hidup di dunia ini memiliki pilihan masing-masing jalan mana yang hendak di tempuh. Jalan itu tidak ada batas, meskipun hanya jalan setapak. Oleh karena itu, dalam menempuh perjalan hidup di dunia ini tiada batas anak mengikuti jejak orang tuanya. Hanya kematian yang memberi batas akhir dari perjalanan hidup di dunia, seperti yang terungkap dalam sajak “Di Makam Ayah”. Kematian bagai peristiwa perpisahan di stasiun, di atas tangga  kereta. Meski demikian, tetap yang tinggal hanya nisan.
          Sebelum perjalanan hidup di dunia ini berakhir pada kematian, manusia perlu terlebih dahulu mengaji, membaca dan memahami isi kitab suci dengan benar. Demikian kiranya pesan utama Dodong Djiwapradja melalui sajaknya “Mengaji”. Kitab suci, seperti Al-Quran, memberi tuntunan hidup di dunia hingga akhirat dengan benar dan nyata. Memang bahasa kitab suci itu tidak menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Sunda, tetapi melalui terjemahan dan tafsir-tafsir yang ada sangat membantu memahami isi kitab suici tersebut. Inti dari isi kitab suci itu adalah ajaran cinta kasih kepada sesama makhluk. Meskipun mereka itu pelacur, penjahat, penjudi, tentara, dan polisi sekalipun, semua orang disayangi. Sifat yang keji, iri, dan dengki, seperti tenung dan sihir, itulah yang mesti dijauhi.

Angkatan Sastra

Angkatan adalah penamaan suatu kelompok sastrawan sezaman yang karyanya menunjukkan ciri yang sama, sepaham mengadakan kegiatan sastra atau kebudayaan, atau sekolompok sastrawan yang mempunyai cita-cita yang sama, baik secara sadar atau tidak, dalam suatu zaman yang sama dan bertindak dalam satu kesatuan yang berpengaruh pada suatu masa tertentu. Dalam bahasa Inggris dan Perancis disebut generation atau dalam bahasa Belanda generatie. Istilah lain dalam bahasa Indonesia adalah generasi.

Secara umum penamaan suatu kelompok sastrawan yang sepahaman menjadi angkatan didasarkan pada prinsip yang sama mendasari karya-karya para sastrawan sezaman, misalnya para sastrawan yang menulis pada tahun 1920-an dan karya-karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka dengan tema persoalan adat maka dinamakan Angkatan Balai Pustaka, para sastrawan yang menulis pada tahun 1930-an yang mengadakan gerakan semangat kebangsaan dan kemajuan kebudayaan yang terwadahi dalam majalah Pujangga Baru maka dinamakan Angkatan Pujangga Baru, dan sekelompok sastrawan yang mulai aktif menulis di seputar meletusnya revolusi fisik Indonesia tahun 1945-an dan menyatukan sikap dan pikirannya ke dalam lembaran “Gelanggang” majalah Siasat maka dinamakan Angkatan 45 atau Angkatan Gelanggang.

Dalam catatan sejarah sastra Indonesia modern terdapat dua ragam penamaan angkatan, yaitu (1) penamaan angkatan atas dasar tahun penerbitan karya sastra, misalnya Angkatan 20, Angkatan 33, Angkatan 45, Angkatan 50, Angkatan 63, Angkatan 66, Angkatan 70, Angkatan 80, dan Angkatan 2000, dan (2) penamaan angkatan atas dasar yang lainnya, misalnya nama penerbit yang aktif tahun 1920-an: “Angkatan Balai Pustaka”, judul buku karya sastra yang dianggap puncak pada zamannya: “Angkatan Siti Nurbaya”, nama majalah yang terbit tahun 1930-an: “Angkatan Pujangga Baru”, nama tokoh pelopor sastra pada zaman revolusi fisik tahun 1945: “Angkatan Chairil Anwar”, nama lembaran kebudayaan dalam majalah Siasat yang memuat karya para sastrawan zamannya: “Angkatan Gelanggang”, nama suatu zaman yang dianggap berbeda dari yang sudah ada dan karya itu terbit tahun 1950-an: “Angkatan Terbaru”, dan nama suatu peristiwa penanda tnganan Manifesto Kebudayaan pada tahun 1963: “Angkatan Manifes”. Secara umum nama angkatan dalam sastra Indonesia modern yang sering disebut-sebut, yang populer hingga kini, dalam pelajaran sekolah dan mata kuliah sejarah sastra Indonesia di perguruan tinggi adalah Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan Angkatan 2000.

Angkatan Balai Pustaka adalah nama yang diberikan kepada sejumlah sastrawan yang produktif menulis pada tahun 1920-an yang karya-karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka. Sastrawan yang berhasil menerbitkan karyanya di Balai Pustaka pada waktu itu, antara lain, Abdul Muis (Salah Asuhan, 1928), Marah Rusli (Siti Nurbaya,1922), Merari Siregar (Asab dan Sengsara, 1921), Muhammad Kasim (Pemandangan dalam Dunia Kanak-Kanak, 1928), dan Nur Sutan Iskandar (Apa Dayaku Karena Aku Perempuan, 1922; dan Salah Pilih, 1928). Menurut catatan Bakri Siregar (1964:69) dalam bukunya Sejarah Sastra Indonesia I (Jakarta: Akademi Sastra dan Bahasa Multatuli) antara tahun 1920 sampai tahun 1930 Balai Pustaka berhasil menerbitkan buku sastra sebanyak 15 judul buku. Karya sastra kelompok angkatan ini banyak melukiskan masalah adat istiadat daerah, khususnya menganhkut masalah perkawinan menurut adat. Sehubungan karya sastra yang dianggap puncak pada zaman itu adalah novel Siti Nurbaya, Angkatan Balai Pustaka disebut pula sebagai “Angkatan Siti Nurbaya”. Di luar para sastrawan yang menulis di Balai Pustaka, pada tahun 1920-an ada juga sastrawan lainnya yang menerbitkan karyanya di Fasco, majalah Jong Sumatra, dan majalah Panji Pustaka, antara lain, Muhammad Yamin (Indonesia Tumpah Darahku, 1928), Rustam Effendi (Percikan Permenungan, 1925; dan Bebasari, 1926), dan Sanusi Pane (Pancaran Cinta, 1926; Puspa Mega, 1927; dan Madah Kelana, 1930). Atas kenyataan seperti itu, Angkatan Balai Pustaka itu juga disebut sebagai “Angkatan 20”.

Angkatan Pujangga Baru adalah nama yang diberikan kepada sejumlah sastrawan yang menulis karya sastra dan terutama dimuatkan dalam majalah kebudayaan Pujangga Baru yang berciri semangat kebangsaan dan kemajuan kebudayaan. Majalah Pujangga Baru didirikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane, terbit pertama tanggal 29 Juli 1933 hingga tahun 1942 karena dilarang terbit oleh Pemerintah Fasis Jepang. Setelah vakum beberapa tahun karena zaman Jepang dan revolusi fisik Indonesia, Sutan Takdir Alisyahbana berusaha menerbitkan kembali majalah itu pada tahun 1949 hingga tahun 1953. Sastrawan yang dikelompokan dalam Angkatan Pujangga Baru, antara lain, Sutan Takdir Alisyahbana (Layar Tekermbang, 1936; Dian yang Tak Kunjung Padam, 1932; Tebaran Mega, 1936; dan Anak Perawan di Sarang Penyamun, 1941), Amir Hamzah (Nyanyi Sunyi, 1937; dan Buah Rindu, 1941), Armijn Pane (Jiwa Berjiwa, 1939; dan Belenggu, 1940), J.E. Tatengkeng (Rindu Dendam, 1934), M. Ali Hasyimi (Dewan Sajak, 1940), Rifai Ali (Kata Hati, 1941), dan Samadi (Senandung Hidup, 1941). Nama Angkatan Pujangga Baru juga diperkuat tulisan H.B. Jassin dalam bukunya Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (Jakarta: Gunung Agung, 1962) dan Puajangga Baru: Prosa dan Puisi (Jakarta: Gunung Agung, 1963). Asmara Hadi yang banyak menulis pada tahun 1930-an di majalah Panji Masyarakat, Fikiran Rakyat, Panji Pustaka, Pelopor Gerindo, Pujangga Baru, dan Tujuan Rakyat, tetapi belum menerbitkan buku kumpulan sajak, juga dikelompokan ke dalam Angkatan Pujangga Baru oleh H.B. Jassin. Sehubungan para sastrawan ini tidak hanya menulis di majalah Pujangga Baru, tetapi mulai aktif menulis pada tahun 1930-an hingga masuknya penjajahan Jepang di Indonesia 1942, mereka dinamakan pula Angkatan 30.

Angkatan 45 adalah penamaan sekelompok sastrawan yang mulai aktif menulis di seputar meletusnya revolusi fisik Indonesia tahun 1945. Pada mulanya Angkatan 45 tidak ada hubungannya dengan kehidupan sastra. Nama Angkatan 45 dalam sastra Indonesia baru diperkenalkan oleh Rosian Anwar dalam majalah Siasat, 9 Januari 1949. Setelah tulisan Rosian Anwar itu terbit, disusul tulisan Sitor Situmorang (“Angkatan 45”) dan Chairil Anwar (“Angkatan 1945”) di lembaran Gelanggang majalah Siasat, 6 November 1949. Kelompok sastrawan ini menyatukan sikap dan pikirannya dalam lembaran “Gelanggang” majalah kebudayaan Siasat. Dasar konsepsi Angkatan 45 dirumuskan H.B. Jassin berdasarkan “Surat Kepercayaan Gelanggang” (bertarikh 18 Februari 1950 dan dipublikasikan di majalah Siasat pada 22 Oktober 1950). Sastrawan yang termasuk Angkatan 45, antara lain, Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Sitor Situmorang, Usmar Ismail, Idrus, Achdiat Kartamihardja, Pramudya Ananta Toer, Harjadi S. Hartowardojo, dan Trisno Sumardjo. Pelopor Angkatan 45 adalah Chairil Anwar dengan karyanya Deru Campur Debu (1949) dan Kerikil Tajam yang Terempas dan yang Putus (1949). Hal ini diperkuat oleh H.B. Jassin dalam bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: Gunung Agung, 1956). Atas dasar kenyataan di atas, Angkatan 45 juga disebut sebagai “Angkatan Chairil Anwar” atau “Angkatan Gelanggang”.

Angkatan 66 adalah penamaan sekelompok sastrawan yang menulis pada tahun 1960-an yang diberikan oleh H.B. Jassin (“Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi”) dalam majalah Horison Nomor II Tahun I, Agustus 1966. Pernyataan H.B. Jassin ini kemudian diperkuat dengan diikuti terbitnya buku Angkatan 66: Prosa dan Puisi (Jakarta: Gunung Agung, 1966). Menurut Jassin dalam bukunya tersebut bahwa sastra Angkatan 66 disemangati oleh kehendak menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945: Konsepsi Anmgkatan 66 adalah Pancasila. Namun, Satyagraha Hoerip dalam tulisannya “Angkatan 66 dalam Kesusastraan Kita” (Horison Nomor 6 tahun I, Desember 1966) menyatakan bahwa Angkatan 66 dalam sastra Indonesia lebih tepat belandaskan pada Manifes Kebudayaan yang dicetuskan dan ditandatangani oleh para sastrawan pada tahun 1963. Para sastrawan yang termasuk Angkatan 66, antara lain, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Mansur Samin, Hartojo Andangdjaja, Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra, Slamet Sukirnanto, B. Soelarto, Ajip Rosidi, dan Bur Rasuanto

Angkatan 2000 adalah penamaan sekelompok sastrawan yang menulis seputar tahun 1990-an hingga awal tahun 2000 yang diberikan oleh Koorie Layun Rampan dalam bukunya Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2000). Wawasan estetik Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia diwakili oleh penulis Afrisal Malna (puisi), Seno Gumira Ajidarma (cerpen), dan Ayu Utami (novel). Menurut Korrie, sajak-sajak Afrisal melansir estetika interaksi massal, cerpen-cerpen Seno mengembangkan estetika narasi komikal, dan novel Ayu Utami menampakkan pola kolase yang meninggalkan berbagai warna, tokoh, peristiwa, dan menonjolkan kekuatan literer. Selain mereka bertiga yang mewakili wawasan estetik Angkatan 2000, para sastrawan yang masuk dalam Angkatan 2000 sastra indonesia, antara lain, Abidah El Khalieqy, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Nurullah, Ahmadun Yosi Herfanda, Arief B. Ptasetyo, A.s. Laksana, Bre Redana, Cecep Syamsul Hari, Dorothea Rosa Herliany, Gus Tf., Helvy Tiana Rosa, Jamal D. Rahman, Joko Pinurbo, Joni Atiadinata, Kriapur, Moh. Wan anwar, Nenden Lilis A., Oka Rusmini, Radar Panca Dahana, Soni Farid Maulana, Taufik Ikram Jamil, Triyanto Triwikromo, Wiji Thukul, Wowok Hesti Prabowo, Yanusa Nugroho, dan Yusrizal K.W.

Sabtu, 23 Januari 2010

Postkolonial


Tonggak kelahiran teori postkolonial ditandai dengan terbitnya buku Edward W. Said (1978) Orientalism. Tesis utama buku karya Said tersebut menggunakan pendekatan hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Sebagaimana dihantarkan oleh Michael Foucault dalam bukunya The Archeology of Knowledge (1972) dan Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977) bahwa kaum orientalis berpendapat masalah studi-studi ilmiah Barat mengenai Timur tidaklah semata-mata didorong oleh kepentingan pengetahuan, tetapi juga kepentingan kolonialisme itu sendiri. Pengetahuan bagi kaum Orientalis adalah untuk mempertahankan kekuasaanya, yakni pengetahuan yang dipenuhi dengan visi dan misi politis ideologis. Studi-studi tersebut juga semata-mata merupakan bentuk lain atau kelanjutan dari kolonialisme. Bangsa Timur dikontruksikan sebagai bangsa yang identik dengan irasionalitas, berakhlak bejat, kekanak-kanakan, dan “berbeda” dengan Barat yang rasional, bijaksana, dewasa, dan “normal”.
      Pandangan Edward W. Said tersebut seolah-olah menyuarakan secara eksplisit apa yang terpendam dalam kesadaran banyak orang, terutama orang-orang di negara bekas jajahan Barat, yang kini disebut sebagai “dunia ketiga”, untuk bangkit berjuang menemukan kesadaran dengan menuntut keadilan dan kesetaraan. Gugatan yang menekankan kebebasan dan penolakan atas segala pemikiran atau kekuasaan hibridasi ini, misalnya, menemukan formulasinya yang paling mantap dalam pemikiran filsuf seperti Jacques Derrida dan Michael Foucault yang merupakan sumber inspirasi Edward W. Said. Tidaklah kebetulan apabila Gayatri C. Spivak, tokoh yang terkenal karena kontribusinya yang besar dalam membangun kajian postkolonial secara terus-menerus, menulis pengantar yang demikian panjang untuk buku Jacques Derrida (1982), Of Grammatology.  Dalam pengantar buku tersebut pada dasarnya Gayatri C. Spivak menolak atas segala kekuasaan yang menghambat dan membatasi sekaligus mengungkapkan pengutamaannya atas kebebasan. Masyarakat yang tertekan dan terjajah, subaltern, harus berbicara, harus mengambil inisiatif, dan menggelar aksi atas suara mereka yang terbungkam.
      Kritik postkolonial lahir dan dibidani oleh Edward W. Said, Homi Babha, dan Gayatri Chakrovorty Spivak. Kritik postkolonial yang dikembangkan Spivak meliputi pemikiran poststruktualisme pada kritik sastra, filsafat kontinental, psikoanalisis, teori feminis, Marxisme, dan postMarxisme. Namun, apakah maksud sebenarnya postkolonial itu? Secara umum postkolonial dipahami sebagai teori, wacana, dan istilah yang digunakan untuk memahami masyarakat bekas jajahan, terutama sesudah berakhirnya imperium kolonialisme modern. Pengertian yang lebih luas, postkolonial juga mengacu pada objek sebelum dan pada saat terjadinya kolonialisme. Oleh sebab itu, Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra (Yogykarta: Pustaka Pelajar, 2008:81—82) mengemukakan ada lima pokok pengertian tentang postkolonial, yaitu (1) menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial, (2) memiliki kaitan erat dengan nasionalisme, (3) memperjuangkan narasi kecil, menggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa depan, (4) membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan juga psikis, dan (5) bukan semata-mata teori, melainkan kesadaran bahwa banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan, seperti memerangi imperalisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya.
     Dalam kaitannya dengan kritik sastra, postkolonial dipahami sebagai suatu kajian tentang bagaimana sastra mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial, yaitu konfrontasi antarras, antarbangsa, dan antarbudaya dalam kondisi hubungan kekuasaan tidak setara, yang telah membentuk sebagian yang signifikan dari pengalaman manusia sejak awal zaman imperialisme Eropa (Day dan Foulcher, 2008:2—3). Jadi, menurut Day dan Foulcher bahwa postkolonial adalah strategi membaca sastra yang mempertimbangkan kolonialisme dan dampaknya dalam teks-teks sastra, serta posisi atau suara pengamat berkaitan dengan isu-isu tersebut. 
      Apabila ditelusuri dengan cermat, tentu banyak karya sastra Indonesia modern yang merekam jejak kolonialisme bangsa Barat dan Asia Timur Raya sepanjang sejarahnya. Atas dasar kenyataan sejarah bahwa Indonesia pernah menjadi bagian dari kolonialisme atau bangsa yang terjajah hingga ratusan tahun, dan banyaknya karya sastra yang merekam jejak penjajahan, tentu sastra Indonesia modern menjadi gudangnya penelaahan postkolinialisme. Beberapa novel yang merekam jejak kolonialisme di Indonesia dapat sebagai contoh telaah postkolonialisme dan telah dilakukan oleh Nyoman Kutha Ratna (2008) dalam bukunya Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Ratna mencoba menelaah sebanyak 13 novel yang merekam jejak kolonialisme, yaitu Cerita Nyai Dasima (G. Francis, 1896), Cerita Nyai Paina (H. Kommer, 1900), Max Havelar (Multatuli, 1860), Manusia Bebas (Suwarsih Djojopuspita, 1940), Sitti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisyahbana, 1937), Belenggu (Armijn Pane, 1940), Atheis (Achdiat Kartamihardja, 1949), Pulang (Toha Mohtar, 1958), Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer, 1981), Burung-Burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya, 1981), dan Para Priyayi (Umar Kayam, 1992). Dalam ketiga belas karya sastra itulah terekam secara jelas jejak-jejak kolonial bangsa Barat terhadap bangsa Indonesia, terutama masalah identitas bangsa. 
     Selain itu, Keith Foulcher dan Tony Day (2008) mengumpulkan beberapa artikel atau kertas kerja tentang kritik sastra postkolonial dalam buku Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial (terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Koesalah Soebagiyo Toer dan Monique Soesman, diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004). Beberapa karya sastra Indonesia yang dibicarakan dalam buku tersebut dan dianggap memilki kaitan dengan poskolonial adalah Sitti Noerbaja karya Marah Roesli, Salah Asoehan karya Abdoel Moeis, dan Durga Umayi karya J.B. Mangunwijaya. Menurut mereka berdua, Keith Foulcher dan Tony Day (2008:5), ada dua topik utama pembicaraan tentang kritik postkolonial dalam sastra Indonesia, yaitu masalah “bahasa” dan “identitas”. Masalah bahasa berkaitan dengan pengaruh-pengaruh bahasa kolonial terhadap bahasa terjajah, cara-cara pengungkapan postkolonilitas dalam teks-teks sastra Indonesia, dan cara-cara yang digunakan oleh para penulis bekas jajahan dalam “mendekolonisasi” (kesadaran kebangsaan) bahasa-bahasa penjajahan besar. Sementara itu, masalah identitas berkaitan dengan masalah hibriditas, yakni masalah jatidiri bangsa yang berubah karena adanya pengaruh budaya dari bangsa kolonial, termasuk mimikri (tindakan meniru) budaya kolonial oleh bangsa terjajah dan subaltern (kaum yang terpinggirkan atau orang yang terjajah).

Puisi Kongkret

Puisi konkret adalah penamaan ragam puisi untuk tontonan mata (poem for the eye). Keberadaan ragam puisi ini dimulai pada abad ke-17 dengan ulah penyairnya menyusun-nyusun kata (word shapes) ke dalam silhouettes silang, altar, tiang-tiang, dan piramida, seperti pada puisi “Easter Wings” karya George Herbert (1593—1633), “Grasshopper” karya E.E. Cummings (1894—1962), dan “Skeleton Key” karya John Hollander (1929). Dalam puisi tersebut penyair memanfaatkan kata dan larik-larik yang diatur sedemikian rupa sehingga membentuk lukisan atau gambar tertentu, seperti gambar kunci, gambar menara Eiffel, dan gambar belalang sesuai dengan tema dan amanat yang disampaikan oleh penyairnya. Ragam puisi konkret ini disebut pula sebagai puisi berpola.
      Dalam sejarah perpuisian di Indonesia, ragam puisi konkret menjadi isu yang besar tatkala muncul “Pameran Puisi Konkret” pertama kali (dan terakhir) dalam kesempatan penyelenggaraan PUISI ASEAN I, 1978, di Galeri Baru, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pameran itu melibatkan beberapa penyair Indonesia, Malaysia, dan Thailand, antara lain, Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Putu Wijaya, Abdul Hadi W.M., Ibrahim Sattah, Slamet Sukirnanto, Ikranagara, Akhudiat, Jeihan, Hamid Jabbar, Sides Sudyarto DS., Adri Darmadji Woko, Latiff Mohidin, dan Angkarn Kalayanpongs. Puisi konkret yang dipamerkan cukup beragam sesuai dengan kreativitas setiap penyair, khususnya masalah “kata” dan “kertas”. Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, dalam kesempatan itu memamerkan puisinya berjudul “Luka”. Dalam puisi itu Sutardji menghadirkan satu kilogram daging segar di atas kanvas putih, posisi daging menggantung pada tiang, darah segar tampak mengucur di atas tulisan berbunyi “ha ha”. Abdul Hadi W.M. memamerkan puisi poster “Sapi” yang menampilkan gambaran silhuet seekor sapi dan pengendaranya. Wujud silhoutte pengendara sapi ditulis grafis: “k sapi p/ jak sapi per/ ajak sapi pera/ jak sapi per/ ak sapi p/ sapi perah/ sapi perah/ sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ ....” dan setrusnya. Silhuet sapi ditempeli guntingan berita surat kabar dan guntingan judul berita yang ada foto-fotonya.
      Pameran puisi konkret itu diiringi dengan musik yang meraung dan mendesing tidak berkeputusan. Setiap puisi konkret yang dipamerkan oleh para penyair ASEAN itu menyatu dengan ruang, waktu, dan suasana sehingga pemahaman makna dan amanatnya seketika itu juga. Unsur-unsur nonkata berwujud rupa, gambar, daging, cat warna, kanvas, kertas, guntingan koran, bunyi, musik, tata letak, ruang, grafis, kata, larik, bahkan tari dan gerak pun mewarnai pemahaman dan penikmatan ragam puisi konkret.
      Sebagai ragam puisi untuk tontonan mata, puisi konkret perlu seperangkat alat bantu lain untuk dapat memahami makna dan amanatnya. Puisi berjudul “Kata” karya Danarto yang ikut dipamerkan dalam kegiatan tersebut hanya berupa lukisan atau gambar kotak yang terbagi 9 bidang sama sisi, dan tidak ada unsur kata kecuali judul puisi. Puisi “Kata” itu baru “memunculkan” makna dan dapat sempurna untuk dinikmati ketika karya itu “dibacakan” (dipentaskan oleh penarsi Sardono W. Kusumo) dalam acara penutupan Pertemuan Sastrawan Indonesia 1974 di Teater Tertutup TIM Jakarta. Mula-mula tampil ke pentas adalah bunyi musik instrumental dan lampu menyiapkan pentas, lalu muncul sebuah kotak karton putih yang tampak menari-nari mengikuti irama musik dengan pose-pose tertentu di atas pentas. Kotak tersebut pada puncaknya berhenti di tengah pentas, dua tangan keluar dari dalam kotak mengeluarkan isi perut kotak, bertuliskan “Kata kata kata kata ....” Dalam irama musik tangan tersebut tidak henti-hentinya menyeret keluar kertas bertuliskan “kata” yang tidak habis-habisnya dari dalam kotak. Sampai pada akhirnya, tangan itu terkulai, lemas, dan mati tanpa berhasil menguras isi perut kotak “Kata”.
     Demikian halnya terhadap puisi Sutardji Cakzoum Bachri yang berjudul “Q” yang terdiri atas lambang-lambang “tanda seru [!]” (sebanyak 17 yang diatur bertebaran), “a”, “lif”, “l”, “la”, “lam”, “i” (sebanyak 13 huruf), dan “m” (sebanyak 66 huruf, yang diatur 30 sebelum “i” dan 36 huruf setelah “i”. Lambang-lambang ini secara konvensional tidak dapat disebut kata, tetapi apabila disusun akan berbunyi “alim lam mim”. Secara visual-auditif puisi konkret “Q” karya Sutardji tersebut susah untuk dapat dipahami dan dinikmati makna dan amanatnya. Ketika Sutardji “membacakan” puisi konkretnya “Q” itu di TIM, Juli 1973, di atas pentas Sutardji mulai dengan konsentrasi. Lalu, dia bergerak mengitari arena dalam berlari-lari kecil sambil tidak henti-hentinya mengucapkan satu per satu bunyi puisinya itu, makin lama makin intens, dan akhirnya berhenti pada klimaks menghempaskan bunyi-bunyi terakhir sajaknya “l-la-lam-mmiiiimmmm” sambil mampus menumbangkan tubuhnya ke belakang laksana pohon tua yang tumbang.

Puisi mBeling


Puisi mbeling adalah penamaan pada sajak-sajak yang bersifat main-main, ringan, dan bertujuan membebaskan rasa tertekan, gelisah, dan tegang, serta mendobrak kemapanan yang ada. Kata mbeling berasal dari bahasa Jawa yang kurang lebih berarti: nakal, kurang ajar, sukar diatur, dan suka memberontak terhadap kemapanan dengan cara-cara yang menarik perhatian. Hal ini berbeda dengan kata urakan, yang dalam bahasa Jawa lebih dekat dengan sikap kurang ajar dan asal beda, kata mbeling mengandung unsur kecerdasan serta tanggung jawab pribadi.
Pada awalnya puisi mbeling merupakan bagian gerakan yang dicetuskan oleh Remy Sylado dengan dimaksudkan untuk mendobrak sikap Orde Baru yang dianggap feodal dan munafik. Benih gerakan ini mulai disemikan oleh Remy Sylado pada tahun 1971, yaitu ketika Remy mementaskan dramanya berjudul “Messiah II” di Bandung. Namun, pada waktu itu istilah mbeling belum diperkenalkan oleh Remy. Istilah mbeling baru diperkenalkan oleh Remy Sylado pada awal tahun 1972 dalam “undangan pementasan teater mbeling” yang mementaskan dramanya dengan judul “Genesis II”.
Setelah pementasan teater mbeling “Genesis II” di Bandung itu, Remy Sylado dan Sunento Juliman dipercaya mengasuh rubrik “Puisi Mbeling” pada majalah Aktuil (terbit di Bandung) selama dua tahun 1972—1973. Selama rubrik “Puisi Mbeling” itu diselenggarakan, setiap bulannya redaksi menerima kurang lebih 300 amplop surat yang berisi puisi mbeling dari kaum muda. Dalam salah satu pengantarnya di rubrik “Puisi Mbeling” itu Remy mengungkapkan bahwa “puisi adalah pernyataan akan apa adanya. Jika puisi adalah apa adanya, maka dengan begitu terjemahan mentalnya, hendaklah diartikan bahwa tanggung jawab moral seorang seniman ialah bagaimana dia memandang semua kehidupan dalam diri dan luar lingkungannya secara menyeluruh, lugu, dan apa adanya…. Tapi tanggung jawab (penyair) yang pertama dan utama adalah bahwa sebagai seniman dia harus memiliki gagasan”.
Ciri utama puisi mbeling adalah berkelakar dan melontarkan kritik sosial. Dalam berkelakar puisi mbeling mempermainkan kata-kata, arti, bunyi, dan tipografi untuk mencapai efek kelakar tersebut. Tidak ada satu pun objek yang diharamkan menjadi bahan kelakaran puisi mbeling. Ejekan terhadap sikap sungguh-sungguh penyair umumnya menjadi suasana yang cair dan menarik. Sambil berkelakar kepada siapa pun, puisi mbeling melontarkan kritik sosial terhadap berbagai kemapanan yang ada, terutama pada zaman Orde Baru. 
Menurut Sapardi Djoko Damono dalam artikelnya “Puisi mBeling Suatu Usaha Pembebasan” (Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Jakarta: Gramedia, 1983) keberadaan puisi mbeling tidak hanya dimuat dalam majalah Aktuil, tetapi juga dimuat dalam Astaga, Gadis, Midi, Top, dan Suara Karya. Beberapa penyair yang telah menulis puisi mbeling, antara lain, Remy Sylado, Mahawan, Hardo Waluyo, Gumilar Suparyo, Jeihan, Dede S. Dukat, dan Huda Vanzgoef. Menurut Remy Sylado dari hasil wawancara KPG, 19 Mei 2004, puisi mbeling didukung oleh Seno Gumira Ajidarma, Abdul Hadi W.M., tiga bersaudara Massardi (Noorca, Yudhistira, dan Adi), Efix Mulyadi, Kurniawan Junaedi, dan Edy Herwanto. Penelitian terhadap puisi mbeling telah dilakukan tahun 1977 oleh Soedjarwo, Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Yudiono K.S., dari Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra-Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang, dan hasilnya diterbitkan menjadi buku Puisi Mbeling: Kitsch atau Sastra Sepintas (Magelang: Indonesia Tera, 2001). Untuk mengabadikan tonggak puisi mbeling yang ditulisnya, Remy Sylado telah mengumpulkan puisi-puisi mbelingnya (1971—2002), sebanyak 143 puisi, dan kemudian diterbitkan menjadi buku Puisi Mbeling Remy Sylado (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Juli 2004).

Selasa, 19 Januari 2010

Sastra Sebagai Pendidikan Jiwa

Pendidikan jiwa sebagai hak asasi manusia yang mendasar merupakan alat pemberdaya kemampuan dan sebagai jalan utama menuju masyarakat belajar sepanjang hayat melalui jalur pendidikan nonformal dan informal. Hal itu sesungguhnya merupakan langkah penting bagi pem¬bangunan kualitas sebuah bangsa yang bermartabat dan berkarakter sehingga tidak tercerabut dari akar tradisi dan budayanya. Dengan cara seperti itu lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansinya dengan kepentingan negara dan karakteristik peserta didik serta tetap memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan visi dan misinya yang berbasis kompetensi sehingga menjamin pertumbuhan keimanan dan ketakwaan umat manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pengua¬saan keterampilan hidup, akademik, seni yang dominan nilai estetikanya, pengembangan kepribadian bangsa Indonesia yang kuat, sehat, cerdas, kompetitif, bermartabat, dan berakhlak mulia.
      Salah satu konsep pendidikan jiwa melalui karya sastra dikemukakan oleh Sri Mangkunegara IV, sastrawan pujangga dan negarawanl bijak pada abad XIX, melalui beberapa karya yang ditulisnya, yaitu Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama. Sri Mangkunegara IV adalah seorang pujangga istana dan sekaligus juga seorang raja di Jawa yang boleh dikatakan sebagai “sabda pandita ratu”, sabda pendeta raja, artinya ucapan atau kata-kata raja itu sekaligus berisi ajaran tentang hal-hal duniawi dan sekaligus hal-hal yang bersifat surgawi. Raja berhak mengatur tata kehidupan rakyatnya yang bersifat duniawi, yakni masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan di dunia seperti pendidikan, kemasyarakatan, keprajuritan, pertanian, hukum, dan perkawinan. Sementara itu, pendeta hanya berhak mengatur tata cara kehidupan yang bersifat rohani, religiusitas, atau hal-hal yang berhubungan dengan masalah surgawi. Namun, apabila ada seorang pendeta dan sekaligus raja, maka dia berhak mengatur tata kehidupan masyarakat tentang masalah duniawi dan sekaligus surgawi. Hal inilah yang tercermin pada diri raja-raja Jawa, termasuk Sri Mangkunegara IV, sebagai seorang pandita ratu atau satria pinandita, ksatria sekaligus pendeta atau dengan idiom Islam yang digunakan sebagai kalifatullah sayidin panatagama.
      Tiga buah karya Sri Mangkunegara IV, yaitu Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama, sudah sangat terkenal dan mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan tata ekosistem nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa. Dalam khazanah sastra masyarakat Jawa, karya sastra ini termasuk kategori edipeni dan adiluhung yang ditulis dalam bentuk tembang atau puisi, selain dikenal teks-teks sastra yang bersifat naratif dengan bertumpu pada penceritaan seorang tokoh atau suatu kisah tertentu dalam bentuk babad atau gancaran, dikenal pula teks-teks puitik yang berisi didaktik dan moralistik atau etika. Teks-teks seperti inilah yang disebut dengan sastra piwulang atau sastra wejangan, yakni sebuah karya sastra yang berisi ajaran tentang pendidikan jiwa, tentang ilmu lahir dan batin untuk mencapai kesempurnaan hidup di dunia hingga akhirat. Ciri khas jenis sastra seperti ini diwarnai oleh diskripsi tentang tata tingkah laku pergaulan hidup sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara, beragama, dan berbudaya. Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama sebagai teks sastra piwulang atau sastra wejangan pun merupakan teks yang memberikan tuntunan ilmu keutamaan lahir dan batin, yakni ilmu pengetahuan yang berisi pendidikan jiwa untuk membangun kehidupan moral, budi pekerti luhur, berakhlak mulia, dan kesempurnaan hidup di dunia hingga akhirat dengan teladan-teladan utama dari tokoh-tokoh yang berpengaruh, baik dari dunia sejarah kehidupan manusia maupun tokoh dalam dunia pewayangan.
      Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama karya Mangkunegara IV sebagai sastra piwulang telah menyapa pembacanya dengan cakupan yang luas, baik dari dimensi ruang maupun dimensi waktunya. Ruangnya pun tidak terbatas meliputi seluruh tanah Jawa, dan juga Nusantara, bahkan sampai ke negeri Suriname di Amerika Latin dan negeri Belanda di daratan Eropa. Waktunya pun membentang cukup panjang dari abad XIX, diperkirakan diciptakan semasa pemerintahan Sri Mangkunegara IV antara tahun 1853--1881, hingga abad XXI sekarang ini. Dalam perjalanan ruang dan waktu yang panjang itu Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama telah mampu begitu dalam menyentuh alam estetika dan etika manusia Jawa. Keberadaannya pun telah lama diselamatkan oleh rasa cinta dan kehauasan masyarakat pemiliknya, yakni manusia Jawa, terhadap tuntunan ilmu keutamaan yang menjanjikan ajaran tentang hidup dan kehidupan untuk tingkah laku yang mulia, beradab, dan bermartabat.
     Sesuai dengan namanya, judul buku menyiratkan keseluruhan isi, Wedhatama berisi ilmu pengetahuan atau ajaran keutamaan tentang perilaku kehidupan manusia di dunia. Atas dasar isinya inilah Wedhatama dikategorikan sebagai sastra piwulang atau sastra wejangan tentang etika atau moral hidup. Ir. Sri Muljono (1979:57) mengkategorikan Wedhatama sebagai sastra suluk atau sastra tasawuf, karena di dalam karya itu terdapat ajaran tentang kesempurnaan hidup, mirip dengan karya-karya para sufi, seperti adanya tataran sembah raga, sembah cipta, sembah rasa, dan sembah kalbu. Bahkan karya ini telah dibuat bahan disertasi oleh Mohammad Ardani dari Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah (1995) dengan judul: Al-Quran dan Sufisme Mangkunegara IV: Sutdi Serat-Serat Piwulang (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf).
      Piwulang dalam Wedhatama memumpunkan ajaran tentang etika dan etiket hidup. Ajaran tentang etika, misalnya, seseorang harus berjiwa bersih, sepi ing pamrih, tidak sombong dan congkak, harus dapat tenggang rasa, suka memberi maaf kepada orang lain, rela, tawakal, sabar, jujur, dan menghormati pendapat orang lain. Sementara itu, ajaran tentang etiket, misalnya, seseorang harus dapat bersikap sopan, santun, pandai menyesuikan diri, mampu membaca pikiran orang lain agar tidak mengecewakan dalam setiap pertemuan.
     Selain piwulang tentang etika dan etiket, Wedhatama juga berisi ajaran tentang kesempurnaan hidup melalui jalan melakukan kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cara melakukan kebaktian kepada Tuhan itu dapat melalui empat tataran sembah, yakni sembah raga, sembah cipta, sembah rasa, dan sembah kalbu. Ir. Sri Mulyono (1979:59) memadankan keempat sembah dalam Wedhatama itu sama atau mirif dengan ajaran yang terdapat dalam tasawuf tentang syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
      Wirawiyata adalah karya Mangkunegara IV yang penerbitan pertamanya bersamaan dengan Tripama, yaitu pada tahun 1927 oleh pihak Mangkunegaran sendiri. Setelah itu, Wirawiyata sering diterbitkan ulang oleh penerbit-penerbit swasta di Jawa, baik masih dalam bentuk aslinya menggunakan aksara Jawa maupun sudah ditranskripsi dalam bentuk tulisan Latin. Secara estetis Wirawiyata ditulis dalam bentuk tembang macapat yang terdiri atas 56 bait, terbagi dalam dua pupuh, yaitu (1) Sinom 42 bait, dan (2) Pangkur 14 bait. Karya tulis ini selesai pembuatannya pada hari Kamis, tanggal 1 Sakban, tahun Ehe, 1788 Jawa atau 1860 Masehi. Pembuatan Wirawiyata ini bertepatan dengan tiga tahun setelah beliau diresmikan sebagai Sri Mangkunegara IV.
      Sesuai dengan judul naskah ini, Wirawiyata, kata wira artinya ‘seorang lelaki perwira’ atau ‘prajurit yang pemberani’, dan kata wiyata berarti ‘piwulang’ atau ‘ajaran’. Jadi, wirawiyata artinya ‘ajaran tentang keprajuritan’ atau ‘wejangan buat para prajurit’. Sri Mangkunegara IV ingin memiliki Korps Legioen Mangkoenegaran yang ada di bawah pimpinannya harus berbeda dari sebelumnya. Oleh karena itu, dibuatlah ajaran tentang keprajuritan ini dalam bentuk tembang macapat yang dapat digunakan sebagai doktrin keprajuritan Mangkunegaran.
Terekspresikan dalam dua pupuh, Sinom dan Pangkur, doktrin ajaran keprajuritan itu menyangkut: janji prajurit yang harus dipegang teguh dan kedisiplinan sebagai prajurit yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu, seorang prajurit harus memiliki rasa ketaatan kepada atasan, ketakwaan kepada Tuhan, ketidaksombongan, dan ketidaksewenangan dalam melaksanakan tugas sebagai prajurit Mangkunegaran.
      Seorang prajurit yang baik harus dapat menepati janji seperti yang diucapkan waktu pelantikan. Janji itu harus dipegang teguh selama dia menjadi prajurit untuk membela negara dan bangsa. Ingkar akan janji prajurit akan membawa malapetaka, baik bagi diri sendiri yang menderita lahir batin maupun bagi bangsa dan negara yang dapat menimbulkan rasa malu orang tua, kesengsaraan dan penderitaan bangsa dan negara.
      Kedisiplinan seorang prajurit perlu dilakukan dengan tepat dan tegas. Seorang prajurit harus dapat mentaati peraturan yang ada, harus disiplin waktu, disiplin kerja, dan disiplin dalam menjalankan tugas. Pelanggaran terhadap disiplin itu akan mengakibatkan jatuhnya sangsi terhadap prajurit, desersi, indisipliner, dan hukuman dari komandannya. Sebaliknya, apabila seorang prajurit dapat melaksanakan disiplin itu dengan baik, menyelesaikan tugas tepat waktu, tidak mbalela, seorang prajurit akan cepat naik pangkat, dan memperoleh penghargaan sesuai dengan jasanya dan pengorbannya.
      Ketaatan seorang prajurit kepada atasan, komandan atau panglima, merupakan bakti yang harus dilaksanakan. Atasan prajurit, dalam hal ini komandan atau panglima perang mereka, merupakan koordinator pengendali stabilitas kesatuan dan persatuan prajurit, serta pemegang komando tugas operasional lapangan. Komandan atau panglima dalam hal keprajuritan adalah wakil raja sebagai panutan dan penuntun dalam melaksanakan tugas keprajuritan. Oleh karena itu, prajurit harus taat kepada atasan dan tidak boleh bertindak sendiri-sendiri. Apabila mereka tidak taat kepada atasan, kesatuan prajurit mudah dipecah belah, mudah diadu domba, dan mudah hancur bercerai berai atau kocar-kacir.
      Tidak sepantasnya dan tidak pada tempatnya apabila seorang prajurit memikirkan hal kematian dalam peperangan. Tugas prajurit untuk berperang harus diartikan sebagai tugas membela negara dan bangsa,semata menjalankan perintah raja. Raja dalam hal ini dianggap sebagai kalifatullah, wakil Tuhan di dunia, sehingga perintah atau titahnya harus diartikan sebagai perintah atau titah Tuhan. Hidup dan mati seseorang itu berdasarkan ketentuan Tuhan.
Sifat sombong atau takabur harus dihindari oleh seorang prajurit karena bertentangan dengan sumpah atau janji yang telah diucapkan. Sombong atau takabur merupakan sifat yang tercela, tidak terpuji, dan dapat mencemarkan nama korps dan negara. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah apabila seorang prajurit harus dapat menghindari sifat sombong, takabur, congkak, dan berbangga diri apa pun pangkat yang dimilikinya.
      Persoalan bunuh-membunuh dalam peperangan itu suatu perbuatan yang wajar dalam keprajuritan. Namun, sebagai seorang prajurit yang baik harus tahu diri kapan dan di mana ia harus membunuh musuhnya. Apabila seorang musuh itu telah menyerahkan diri, mengakui kesalahan dan kekalahannya, maka seorang prajurit tidak diperkenankan membunuh musuhnya yang telah menyerahkan diri. Musuh itu harus diperlakukan secara baik, tidak boleh disiksa, dan tidak boleh ditindak sewenang-wenang tanpa perikemanusiaan.
      Dalam pupuh Pangkur disebut tentang tata cara atau pedoman bagi seorang senapati atau panglima dalam memilih para prajurit yang baik. Seorang prajurit yang dipilih haruslah seorang pemuda, berasal dari keluarga yang bermental baik, pribumi atau penduduk asli, tidak cacat, badan sehat, tegap, dan kokoh, serta berbakat sebagai prajurit. Tentang perilakunya pun juga harus yang baik-baik dan tidak suka berfoya-foya, artinya hekmat dan bersahaja.
      Demikian kurang lebih konsep pendidikan jiwa yang tertuang dalam beberapa karya Sri Mangkunegara IV yang dapat kita jadikan pedoman dalam mentunkan arah kebijaksanaan hidup.

Sastra Sufistik

SASTRA SUFISTIK
Sastra sufistik adalah ragam karya sastra yang mendapat pengaruh kuat dari sastra sufi atau sastra tasawuf, termasuk sistem pencitraannya, penggunaan lambang-lambang, dan metafora-metaforanya. Sastra sufistik biasanya mengandung nilai-nilai tasawuf, berisi pengalaman-pengalaman tasawuf, mengungkapkan kerinduan sastrawan akan Tuhan, hakikat hubungan makhluk dengan khalik, dan perilaku yang tergolong dalam pengalaman religius. Jadi, sastra sufistik mempunyai pertalian yang kuat dengan tasawuf dan sastra sufi karena tasawuf dan sastra sufi sebagai salah satu sumber ilham penulisan karya-karya baru yang dilahirkannya.
      Abdul Hadi W.M. dalam bukunya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) menyatakan bahwa sastra sufistik dapat disebut juga sebagai sastra transendental, karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental seperti ekstase, kerinduan dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden. Pengalaman ini berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis. Sementara itu, Bani Sudardi dalam bukunya Sastra Sufistik: Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003) menyatakan bahwa sastra sufistik adalah karya sastra yang mengandung ajaran sufi. Bani mencontohkan sastra sufistik dalam sastra Indonesia sudah ada sejak kepenyairan Amir Hamzah, Chairil Anwar, hingga ke Danarto pada tahun 1970-an.
      Abdul Hadi W.M lebih lanjut menyatakan bahwa kecenderungan sastra sufistik di Indonesia mulai semarak pada dasawarsa 1970-an hingga tahun 1980-an. Kecenderungan sastra sufistik ini mula-mula dipelopori oleh Danarto dengan gerakan “kembali ke akar, kembali ke sumber”. Pengikut gerakan ini menjadikan para sufi, seperti Al Hallaj, Fariduddin Attar, Ibn Arabi, Jalaludin Rumi. Hafiz, Sa’di, Hamzah Fansuri, dan Muhammad Iqbal, bahkan Sunan Bonang dan Syeh Siti Jenar, sebagai salah satu sumber penulisan karya sastra di Indonesia. Selain itu, mereka juga menghubungkan diri dengan sumber-sumber agama beserta sistem kepercayaan, peribadatan, dan bentuk-bentuk spiritualitasnya. Agama tidak mesti dipahami sebagai doktrin ketuhanan dan teologi, tetapi juga sebagai sistem yang mencakupu keseluruhan aspek kehidupan.
      Beberapa sastrawan Indonesia modern yang menulis sastra sufistik, antara lain, Danarto, Kuntowijoyo, Abdul Hadi W.M., M. Fudoli Zaini, dan Sutardji Calzoum Bachri. Danarto melalui buku kumpulan cerpennya Godlob, Adam Makrifat, dan Berhala; Kuntowijoyo melalui karyanya Khotbah di Atas Bukit (novel), Isyarat, dan Suluk Awang Uwung (kumpulan sajak); M. Fudoli Zaini dengan karyanya Arafah; Sutardji Calzoum Bachri dengan karyanya O Amuk Kapak (1981); Motinggo Busye dengan karyanya Sanu Infinita Kembar (1985); dan Abdul Hadi W.M. dalam kumpulan sajaknya Tergantung Pada Angin (1976) dan Anak Laut Anak Angin (1984), terutama sajaknya “Tuhan, Kita Begitu Dekat”, memperlihatkan kecenderungan sufistik yang bersifat mistikal dan supralogis (transenden sekaligus imenen).
      Ciri-ciri yang melekat pada karya sastra sufistik, menurut Abdul Hadi W.M., antara lain, (1) suatu gambaran upaya manusia untuk dapat bertunggal dengan Tuhan, yakni suatu jalan kerohanian menuju Tuhan yang berangkat dari ajaran tauhid Islam; (2) mencerminkan perenungan yang dalam dan keleluasan berpikir serta wawasan yang jauh tentang semesta raya seisinya; (3) dalam upaya mencari kebenaran, sastra sufistik memadukan antara zikir dan pikir secara sungguh-sungguh dan maksimal; (4) syarat dengan pesan pembebasan dan pencerahan jiwa yang terbelenggu dalam kegelapan dunia, dengan adanya pesan pembebasan dan pencerahan jiwa ini membuat sastra sufistik semacam profektik (kenabian) dan apokaliptik (kewahyuan); (5) memberi gambaran jarang yang menunjukkan pesimisme atau rasa putus asa dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan, bahkan sering menyuarakan kegembiraan spiritual dan kearifan dalam menghadapi silau pesona dunia; (6) tidak pernah puas dengan aspek-aspek lahiriah dan apa yang telah dicapai oleh akal pikiran manusia, justru sastra sufistik mencari hakikat yang tersembunyi dalam rahasia alam dan kehidupan; dan (7) keindahan yang terpancar dalam sastra sufistik adalah keindahan-dalam yang transendental dan sekaligus imanen. Puncak pengalaman mistik selalu bersinggungan dengan pengalaman estetis.