Judul buku Kastalia diangkat dari salah satu sajak karya Dodong Djiwapradja yang ditulisnya pada tahun 1960. Kastalia sebagai judul sajak dan sekaligus judul buku itu mengingatkan kita pada pembagian kasta dalam masyarakat Hindu atau India Kuno, seperti kasta brahmana, kasta ksatria, kasta waisya, kasta sudra, dan kasta paria. Kata kasta itu sebenarnya berasal dari bahasa Portugis “casta” yang artinya ‘ras, keturunan, atau jenis kelamin’. Atau dapat juga judul Kastalia itu mengingatkan kita pada kata kastal, yang artinya ‘pohon kayu yang tumbuh di gurun atau di tanah yang kering’. Dan yang terakhir, judul Kastalia itu mendekati kata kastanyet, yang artinya.’alat musik yang terdiri atas sepasang kepingan gading atau kayu keras yang cekung dan direntet-rentetkan oleh ibu jari untuk mengiringi irama tari-tarian Spanyol’.
Meski ada kemungkinan tiga makna yang terdapat dalam kata kastalia seperti di atas dalam kumpulan sajak Dodong itu kita masih menemukan makna yang lain pula. Apabila kita telusuri lebih jauh asal mula kata kastalia itu ternyata diambil dari bahasa Yunani Kuno, castalia atau castalian, yang berarti puncak Gunung Parnassus yang merupakan tempat tinggal suci Dewa Apollo dalam Mitologi Yunani. Kumudian dalam sejarah Kitab Perjanjian Lama kata castalia itu dipahami sebagai tempat suci pertemuan Nabi Musa dengan Tuhan di puncak Gunung Tursina. Makna kata kastalia yang semula berasal dari bahasa Yunani Kuno itu akhirnya banyak digunakan oleh para penyair di Barat menjadi sumber inspirasi penciptaan puisi-puisi yang ditulisnya. Mereka beranggapan bahwa puisi-puisi yang terlahir dari penciptaannya bersumber dari yang maha suci guna memberi pencerahan kepada pembaca. Seperti halnya Dewa Apollo memberi pencerahan kepada rakyatnya atau Nabi Musa setelah turun dari puncak Tursina menerima “Sepuluh Perintah Tuhan” yang berguna sebagai upaya pencerahan umatnya, terutama kaum Yahudi ketika itu. Boleh juga Dodong memadankan sajak-sajak yang ditulisnya itu sebagai katarsis, penyucian hati bagi pembaca.
Padanan konsep pemikiran Dodong Djiwapradja seperti di atas dapat dipahami dari beberapa sajak yang ditulisnya, misalnya sajak yang berjudul “Puisi”, “Di Makam Ayah”, dan “Mengaji”. Pada baris dan bait pertama dalam sajak “Puisi” Dodong mentransformasikan secara langsung bahasa Al-Quran, “Kun fayakun”, ‘Jadilah, maka terjadilah ia’. Sesungguhnya ucapan itu merupakan kalam Allah yang ditujukan kepada sesuatu dengan kehendak untuk mewujudkan atau menjadikannya ‘tercipta’, seperti penciptaan langit dan bumi (Surat Al-Baqarah: 117; Al-An’aam: 73; Yaasiin: 81–82), membangkitkan orang mati menjadi hidup kembali atau menghidupan dan mematikan makhluknya (Surat An-Nahl: 38–40; dan Surat Al-Mukmin: 67–68), kelahiran Nabi Isa melalui Maryam yang tanpa sentuhan seorang lelaki (Surat Ali Imran: 47), dan perumpamaan penciptaan Nabi Isa yang tak ubahnya seperti penciptaan Nabi Adam (Surat Ali Imran: 59). Dalam ensiklopedi Islam dikatakan bahwa terjemahan kata “kun” yang paling tepat adalah exist, ‘nyatalah’. Sebab apa yang terkandung dalam kalam Allah itu merupakan sebuah gerakan menuju ke eksistensi atau kenyataan yang bersumber dari kehendak Allah untuk mewujudkan sesuatu hal hingga terbentuk atau terwujudlah kehendak-Nya itu.
Kembali kepada sajak Dodong Djiwapradja yang berjudul “Puisi”, dengan ucapan “Kun fayakun” dapat dianalogikan bahwa penciptaan puisi oleh manusia itu prosesnya tak ubahnya seperti Tuhan menciptakan alam semesta seisinya. Hanya bedanya, Tuhan berkehendak menciptakan sesuatu hanya dengan ucapan “kun fayakun”, maka seketika terjadilah kehendak-Nya mewujudkan apa saja Adapun manusia ketika menciptakan sesuatu hal, termasuk puisi, melalui proses yang panjang dan tidak seketika jadi seperti apa yang diinginkannya. Manusia menciptakan sesuatu hal memerlukan waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan atau bertahun-tahun, untuk menjadikan keiinginnaya terwujud. Karena manusia memiliki keterbatasan, maka hasil ciptaannya tidak sesempurna ciptaan Tuhan. Keterbatasan itu menyebabkan ada keinginan manusia yang hanya tinggal keinginan atau tidak dapat mewujudkan keinginannya tersebut.
Larik pertama bait kedua dalam sajak “Puisi” Dodong mengatakan bahwa “Saat penciptaan kedua adalah puisi”. Kalimat Dodong ini dipahami bahwa ada penciptaan pertama, sebelum ada penciptaan kedua, yaitu Allah menciptakan alam semesta seisinya. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. Demikian dikatakan dalam berbagai kitab suci hingga seterusnya terjadilah semesta alam seisinya ini. Manusia tidak dapat menciptakan langit dan bumi, tetapi manusia selaku pencipta yang kedua hanya mampu meneladan, meniru, mencontoh ciptaan Tuhan yang sudah ada. Paham ini dikenal dikenal dengan memesis. Oleh karena itu, penciptaan yang dilakukan oleh manusia “tertimba dari kehidupan (semesta alam) yang ditangisi/ bumi yang didiami, laut yang dilayari/ udara yang dihirupi, air yang diteguki/ kebun yang ditanami, bukit yang digunduli/ gubuk yang diratapi, gedung yang ditinggali/ sawah yang dibajak/ manisan yang terbuat dari butir-butir kepahitan” dan dari “gedung yang megah yang terbuat dari butir-butir hati yang gelisah”. Paham kesemestaan.
Penciptaan puisi yang didasarkan pada pengalaman hidup seperti di atas ditangkap oleh W.S. Rendra dalam kata “Pengantar” buku Kastalia itu sebagai gambaran frustrasi dan rasa tidak bahagia penyairnya. Selain itu, Rendra juga menangkap fenomena yang terjadi pada diri Dodong adalah kesadaran akan situasi tragik dan kefanaan dalam hidup ini sehingga hadirlah sikapnya yang penuh waspada, hati-hati, dan tekun melindungi kemurnian hati nurani. Memang pandangan tentang tragedi mulai populer sejak kemunculan drama trilogi Yunani karya Sophokles, yaitu “Oedipus Rex”, “Oedipus di Kolonus”, dan “Antigone” yang mengalami bencana karena ulah tokoh utamanya. Bencana dan keberuntungan adalah anugerah Tuhan yang perlu disyukuri sebagai bentuk oposisi biner. Tidak selamanya manusia selalu berada dalam keberuntungan, dan tidak juga selamanya manusia berada dalam situasi tragedi. Demikian pula kefanaan dan keabadian menjadi oposisi biner yang membuat hidup manusia selalu optimis dan dinamis memandang masa depan.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 959) lema tragedi memiliki dua arti, yaitu (1) sandiwara atau cerita sedih yang pelaku utamanya menderita kesengsaraan lahir dan batin yang luar biasa bahkan sampai meninggal, dan (2) peristiwa-peristiwa yang menyedihkan atau yang membuat kematian. Atas dasar pengerti dalam kamus itu berarti tragedi identik dengan peristiwa yang menyedihkan, kejadian yang membuat kesengsaraan hidup, dan timbulnya berbagai bencana atau malapetaka yang membuat penderitaan manusia, seperti bencana alam, wabah penyakit, dan peristiwa pembantaian. Adanya tragedi seperti itu membuat manusia semakain akrab dengan penderitaan, kemalangan, dan kesengsaraan hidup. Dalam karya Dodong Djiwapradja hal itu tentu tersirat dan tersurat dalam sajak-sajaknya, seperti sajak “Garut”, “Puisi”, “Kastalia”, dan “Jari-Jemari”.
Sajak “Jalan Setapak” dan “Perjalanan” jelas memperlihatkan keakraban penyair dengan suasana pedesaan yang mempunyai ikatan dengan dunia pertanian. Dodong melihat suasana pedesaan yang sederhana dan penuh kedamaian. Ayahnya adalah ahli membajak sawah dan anaknya berusaha menjadi ahli pembuat sajak merupakan suatu gambaran perjalanan hidup yang kontras. Orang hidup di dunia ini memiliki pilihan masing-masing jalan mana yang hendak di tempuh. Jalan itu tidak ada batas, meskipun hanya jalan setapak. Oleh karena itu, dalam menempuh perjalan hidup di dunia ini tiada batas anak mengikuti jejak orang tuanya. Hanya kematian yang memberi batas akhir dari perjalanan hidup di dunia, seperti yang terungkap dalam sajak “Di Makam Ayah”. Kematian bagai peristiwa perpisahan di stasiun, di atas tangga kereta. Meski demikian, tetap yang tinggal hanya nisan.
Sebelum perjalanan hidup di dunia ini berakhir pada kematian, manusia perlu terlebih dahulu mengaji, membaca dan memahami isi kitab suci dengan benar. Demikian kiranya pesan utama Dodong Djiwapradja melalui sajaknya “Mengaji”. Kitab suci, seperti Al-Quran, memberi tuntunan hidup di dunia hingga akhirat dengan benar dan nyata. Memang bahasa kitab suci itu tidak menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Sunda, tetapi melalui terjemahan dan tafsir-tafsir yang ada sangat membantu memahami isi kitab suici tersebut. Inti dari isi kitab suci itu adalah ajaran cinta kasih kepada sesama makhluk. Meskipun mereka itu pelacur, penjahat, penjudi, tentara, dan polisi sekalipun, semua orang disayangi. Sifat yang keji, iri, dan dengki, seperti tenung dan sihir, itulah yang mesti dijauhi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar