Puisi konkret adalah penamaan ragam puisi untuk tontonan mata (poem for the eye). Keberadaan ragam puisi ini dimulai pada abad ke-17 dengan ulah penyairnya menyusun-nyusun kata (word shapes) ke dalam silhouettes silang, altar, tiang-tiang, dan piramida, seperti pada puisi “Easter Wings” karya George Herbert (1593—1633), “Grasshopper” karya E.E. Cummings (1894—1962), dan “Skeleton Key” karya John Hollander (1929). Dalam puisi tersebut penyair memanfaatkan kata dan larik-larik yang diatur sedemikian rupa sehingga membentuk lukisan atau gambar tertentu, seperti gambar kunci, gambar menara Eiffel, dan gambar belalang sesuai dengan tema dan amanat yang disampaikan oleh penyairnya. Ragam puisi konkret ini disebut pula sebagai puisi berpola.
Dalam sejarah perpuisian di Indonesia, ragam puisi konkret menjadi isu yang besar tatkala muncul “Pameran Puisi Konkret” pertama kali (dan terakhir) dalam kesempatan penyelenggaraan PUISI ASEAN I, 1978, di Galeri Baru, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pameran itu melibatkan beberapa penyair Indonesia, Malaysia, dan Thailand, antara lain, Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Putu Wijaya, Abdul Hadi W.M., Ibrahim Sattah, Slamet Sukirnanto, Ikranagara, Akhudiat, Jeihan, Hamid Jabbar, Sides Sudyarto DS., Adri Darmadji Woko, Latiff Mohidin, dan Angkarn Kalayanpongs. Puisi konkret yang dipamerkan cukup beragam sesuai dengan kreativitas setiap penyair, khususnya masalah “kata” dan “kertas”. Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, dalam kesempatan itu memamerkan puisinya berjudul “Luka”. Dalam puisi itu Sutardji menghadirkan satu kilogram daging segar di atas kanvas putih, posisi daging menggantung pada tiang, darah segar tampak mengucur di atas tulisan berbunyi “ha ha”. Abdul Hadi W.M. memamerkan puisi poster “Sapi” yang menampilkan gambaran silhuet seekor sapi dan pengendaranya. Wujud silhoutte pengendara sapi ditulis grafis: “k sapi p/ jak sapi per/ ajak sapi pera/ jak sapi per/ ak sapi p/ sapi perah/ sapi perah/ sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ ....” dan setrusnya. Silhuet sapi ditempeli guntingan berita surat kabar dan guntingan judul berita yang ada foto-fotonya.
Pameran puisi konkret itu diiringi dengan musik yang meraung dan mendesing tidak berkeputusan. Setiap puisi konkret yang dipamerkan oleh para penyair ASEAN itu menyatu dengan ruang, waktu, dan suasana sehingga pemahaman makna dan amanatnya seketika itu juga. Unsur-unsur nonkata berwujud rupa, gambar, daging, cat warna, kanvas, kertas, guntingan koran, bunyi, musik, tata letak, ruang, grafis, kata, larik, bahkan tari dan gerak pun mewarnai pemahaman dan penikmatan ragam puisi konkret.
Sebagai ragam puisi untuk tontonan mata, puisi konkret perlu seperangkat alat bantu lain untuk dapat memahami makna dan amanatnya. Puisi berjudul “Kata” karya Danarto yang ikut dipamerkan dalam kegiatan tersebut hanya berupa lukisan atau gambar kotak yang terbagi 9 bidang sama sisi, dan tidak ada unsur kata kecuali judul puisi. Puisi “Kata” itu baru “memunculkan” makna dan dapat sempurna untuk dinikmati ketika karya itu “dibacakan” (dipentaskan oleh penarsi Sardono W. Kusumo) dalam acara penutupan Pertemuan Sastrawan Indonesia 1974 di Teater Tertutup TIM Jakarta. Mula-mula tampil ke pentas adalah bunyi musik instrumental dan lampu menyiapkan pentas, lalu muncul sebuah kotak karton putih yang tampak menari-nari mengikuti irama musik dengan pose-pose tertentu di atas pentas. Kotak tersebut pada puncaknya berhenti di tengah pentas, dua tangan keluar dari dalam kotak mengeluarkan isi perut kotak, bertuliskan “Kata kata kata kata ....” Dalam irama musik tangan tersebut tidak henti-hentinya menyeret keluar kertas bertuliskan “kata” yang tidak habis-habisnya dari dalam kotak. Sampai pada akhirnya, tangan itu terkulai, lemas, dan mati tanpa berhasil menguras isi perut kotak “Kata”.
Demikian halnya terhadap puisi Sutardji Cakzoum Bachri yang berjudul “Q” yang terdiri atas lambang-lambang “tanda seru [!]” (sebanyak 17 yang diatur bertebaran), “a”, “lif”, “l”, “la”, “lam”, “i” (sebanyak 13 huruf), dan “m” (sebanyak 66 huruf, yang diatur 30 sebelum “i” dan 36 huruf setelah “i”. Lambang-lambang ini secara konvensional tidak dapat disebut kata, tetapi apabila disusun akan berbunyi “alim lam mim”. Secara visual-auditif puisi konkret “Q” karya Sutardji tersebut susah untuk dapat dipahami dan dinikmati makna dan amanatnya. Ketika Sutardji “membacakan” puisi konkretnya “Q” itu di TIM, Juli 1973, di atas pentas Sutardji mulai dengan konsentrasi. Lalu, dia bergerak mengitari arena dalam berlari-lari kecil sambil tidak henti-hentinya mengucapkan satu per satu bunyi puisinya itu, makin lama makin intens, dan akhirnya berhenti pada klimaks menghempaskan bunyi-bunyi terakhir sajaknya “l-la-lam-mmiiiimmmm” sambil mampus menumbangkan tubuhnya ke belakang laksana pohon tua yang tumbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar