Proses kreatif penulisan karya-karya Ranggawarsita dimungkinkan oleh lingkungan, asal-usul keturunan, dan pengalaman hidupnya. Ranggawarsita berasal dari keluarga bangsawan Keraton Surakarta. Dari garis keturunan ayah, dia adalah keturunan ke-10 dari Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), pendiri kerajaan Pajang. Dari garis keturunan ibu, dia adalah keturunan ke-13 Sultan Trenggana, raja Demak ketiga. Dari Sultan Trenggana ini menurunkan Pangeran Karang Gayam, pujangga kerajaan Pajang, yang telah menulis Serat Niti Sruti, yakni sebuah buku sastra yang berisi ajaran tentang etika kehidupan.
Ranggawarsita terlahir dengan nama Bagoes Boerhan adalah putra Pangeran Pajangswara, seorang juru tulis kerajaan Surakarta, yang biasa disebut dengan Yasadipura III. Kakek Bagoes Boerhan adalah Raden Tumengung Sastranegara atau biasa disebut Yasadipura II adalah seorang pujangga kerajaan yang banyak menulis karya sastra Jawa klasik, seperti Sasana Sunu dan Wicara Keras. Sementara itu, kakek buyutnya adalah Raden Tumenggung Yasadipura I, seorang pujangga besar kerajaan Surakarta yang menghasilkan karya sastra Jawa klasik, antara lain, Babad Giyanti, Dewa Ruci, Panitisastra, Serat Rama, dan Baratayuda. Dua karya terakhir disadur dalam versi Jawa dari kisah klasik Ramayana dan Mahabharata.
Kakek dari pihak ibu, Soedirodihardjo, adalah seorang ahli tembang (seni suara) dan gending (musik gamelan Jawa). Kakek dari pihak ibu ini adalah pemaian vokal yang ulung di zamannya dan dikenal dengan sebutan “Soedirodihardjo Gantang”. Pada waktu-waktu tertentu Pak Gantang duduk di dalam sebuah kurungan dan ditarik ke atas pohon besar di dekat bangsal istana. Dari atas pohon itulah Pak Gantang melagukan tembang-tembang yang menggema ke seluruh istana. Mereka yang mendengarkannya selalu berdecak kagum atas suara merdu mendayu Pak Gantang. Atas keahlian yang dimilikinya itu Pak Gantang mampu menghasilkan lagu khas gending Jawa yang disebut dengan cengkok Palaran (gaya Palaran). Nama Palaran ini diambil dari nama desa tempat Pak Gantang tinggal, yaitu Desa Palar, sekitar 30 Km arah barat daya kota Surakarta.
Dari garis keturunan atau asal-usul jelas tidak mengherankan apabila Bagoes Boerhan tertarik dan menekuni minatnya di dunia seni sastra. Menjelang awal abad XIX di Jawa menjadi masa-masa puncak berkembangnya genre sastra Jawa Klasik yang disebut dengan sastra Islam Kejawen. Istilah ini mengacu pada sebuah tradisi tulis yang mencoba memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam tradisi warisan Hindu-Budha yang telah dibudaya Jawa-kan. Akar tradisi Islam Kejawen, atau Jawi Selam, sudah ada sejak zaman kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu kerajaan Demak. Melalui jasa para wali (Wali Sanga) penyebaran agama Islam di Jawa diadaptasikan dengan kultur budaya setempat seperti dengan istrumen tembang, wayang, dan gamelan Jawa.
Sejak usia 2 hingga 12 tahun Bagoes Boerhan diasuh oleh kakeknya, Tumenggung Jasadipura II, sehingga sejak usia dini sudah diperkenalkan dengan dunia tulis-menulis atau sastra. Hal ini ditunjang oleh lingkungan tempat tinggal Bagoes Boerhan yang sedang giat-giatnya mengembangkan dunia sastra. Bagoes Boerhan berada di sekitar para tokoh sastra Jawa Klasik yang menjadi pilar kesusastraan Jawa sehingga mudah mencerna dan mengembangkannya. Di bawah asuhan kakeknya, tentu secara khusus, Bagoes Boerhan dididik tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia sastra, tembang, wayang, dan kebudayaan Jawa umumnya untuk dipersiapkan menjadi tokoh sastra masa depan.
Pengalaman sehari-hari Ranggawarsita dalam menempuh perjalanan hidupnya banyak yang dituangkan dalam karya sastra yang ditulisnya, antara lain, Serat Jayengbaya, Kalatidha, dan Jaka Lodhang. Serat Jayengbaya, misalnya, adalah sebuah puisi panjang yang terdiri atas 250 bait. Dalam puisi naratif ini Ranggawarsita berkisah tentang seseorang yang sedang mencari jatidiri. Tokoh cerita ini merasa kedudukannya sekarang dalam kesusahan, yang merefleksikan atas hidupnya sendiri, dan membayangkan profesi lain yang menurutnya lebih enak, mulai dari pedagang kuda, penari, pemusik, prajurit, raja, bahkan menjadi Tuhan sekalipun. Namun, setiap kedudukannya itu, selain menawarkan kesenangan dan kenikmatan, juga mengandung resiko yang tampaknya tidak akan mampu ditanggungnya. Akhirnya, setelah direnungkan secara dalam, si tokoh memutuskan yang terbaik adalah menjadi diri sendiri.
Tidak hanya pengalaman hidupnya sehari-hari yang dituangkan dalam karya sastra yang ditulis Ranggawarsita, tetapi juga pesanan raja sebagai pujangga istana. Dalam hal ini Ranggawarsita menulis, antara lain, Serat Paramayoga, Serat Pustaka Raja Purwa, dan Serat Cemporet. Sastra yang ditulis itu berusaha mengangkat derajat negara dan raja melalui kisah simbolik dalam dunia wayang. Serat Paramayoga mengisahkan perjalanan Nabi Adam beserta kisah kehidupan para dewa, sampai kemudian tanah Jawa mulai dihuni menusia dengan kedatangan Aji Saka, dari Himalaya, India, ke tanah Jawa.
Buku sastra Pustaka Raja Purwa, merupakan kelanjutan kisah yang ada dalam Serat Paramayoga. Raja Aji Saka yang telah mampu menakhlukan raja Medangkamulan, Prabu Dewatacengkar hingga tenggelam di samudra selatan menjadi buaya putih, menurunkan raja-raja di tanah Jawa hingga sekarang kita kenal dalam sejarah. Dalam buku itu juga dikisahkan tentang muncul dan tenggelamnya berbagai kerajaan yang ada di Jawa. Dalam kisah raja-raja di Jawa itu juga banyak bertaburan legenda-legenda yang terjadi di tanah Jawa. Tentu saja kedua buku seperti itu dimaksudkan untuk melegitimasi kekuasaan raja-raja di Jawa dengan menciptakan mitos sebagai keturunan Nabi Adam dan para dewa, seperti kaisar Jepang sebagai keturunan Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
Serat Cemporet ditulis Ranggawarsita atas permintaan Raja Paku Buwana IX. Dalam Serat Cemporet ini Ranggawarsita mengisahkan petualangan tiga orang putra raja yang tengah lari dari istana dan berguru di padepokan milik Ki Buyut Cemporet. Tentu saja kisah ini dipersembahkan kepada raja agar anak-anak raja tidak hanya tinggal bertopang dagu di istana, tetapi ke luar istana untuk berguru ilmu kanuragan atau ilmu kabatinan lainnya. Hal ini secara tersirat dilukiskan dalam petualangan ketiga anak raja yang sakti dan mampu menaklukan berbagai rintangan. Akhirnya, ketiga anak raja itu kembali ke istana memimpin negara dengan penuh kearifan.
Ranggawarsita menulis ramalan tentang negara dan bangsa Indonesia melalui karya sastranya Serat Jaka Lodhang. Ramalan yang terkenal dengan istilah “Jangka Ranggawarsitan” ini mengisahkan keadaan negara yang serba kacau balau, karut marut, banyak bencana terjadi, dan penderitaan yang berkepanjangan. Suatu saat akan datang kemenangan bangsa bumi putra atas penjajahan asing, tahun yang diperkirakan adalah 1877 Saka atau awal tahun 1946 Masehi. Kenyataannya bangsa Indonesia dapat bebas, merdeka, dari penjajahan pada 17 Agustus 1945, hanya terpaut beberapa bulan dari apa yang diramalkan Ranggawarsita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar