Sori Gusti merupakan sajak-sajak terlengkap Darmanto Jatman sejak tahun 1959 hingga tahun 2002. Sajak-sajak Daramanto Jatman yang dihadirkan dalam buku Sori Gusti ini tanpa seleksi yang disunting oleh Triyono Tiwikromo. Dalam buku Sori Gusti itu sudah memuat hampir semua sajak Darmanto yang pernah diterbitkan, seperti dalam buku Sajak-sajak Putih (1965), Sajak Ungu (1965), Sang Darmanto (1975), Bangsat (1976), Ki Blakasuta Bla Bla (1980), Karto Iyo Bilang mBoten (1982), Golf untuk Rakyat (1995), Isteri (1997), dan ditambah dengan sajak-sajak baru Darmanto Jatman yang ditulis antara tahun 1997–2002. Dalam “Kata Pengantar” buku ini disampaikan bahwa ada beberapa sajak Darmanto Jatman yang tidak terdokumentasi dalam buku Sori Gusti karena beberapa hal, seperti sajak yang dirasa tidak baik sehingga ketika itu dibuang ke keranjang sampah oleh Darmanto sendiri, dan ada juga sajak yang hilang karena hanyut dalam musibah banjir. Ini semata karena musibah dan kesalahan diri yang membuat fatal dan penyesalan pada akhirnya.
Sori Gusti terdiri atas tujuh banjaran, yaitu (1) Banjaran Pertama “Testimoni: Sori Gusti”, terdiri atas 35 sajak, (2) Banjaran Kedua “Main Cinta Model Kwang Wung”, terdiri atas 8 sajak, (3) Banjaran Ketiga “Plesir”, terdiri atas 34 sajak, (4) Banjaran Keempat “Medali-Medali Peradaban”, terdiri atas 9 sajak, (5) Banjaran Kelima “Laporan Kepada Rakyat”, terdiri atas 30 sajak, (6) Banjaran Keenam “Bahwa Aku Sekarang Merasa Tua”, terdiri atas 38 sajak, dan (7) Banjaran Ketujuh “Seorang Modern Menulis Puisi”, terdiri atas 10 sajak. Dengan demikian, keseluruhan sajak Darmanto yang dimuat dalam buku Sori Gusti ada sebanyak 164 sajak. Jumlah sajak lengkap yang ditulis oleh Darmanto Jatman ini sudah melebihi sajak-sajak lengkap Goenawan Mohamad (editor Ayu Utami dan Sitok Srengenge) yang hanya 134 sajak. Namun, jumlah sajak Darmanto Jatman ini pun masih berada di bawah sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo, atau Taufiq Ismail yang menulis sajak lebih dari 350 judul sajak.
Dalam buku kumpulan sajak Sori Gusti ini Darmanto kembali mengenalkan istilah banjaran seperti lakon wayang kulit di Jawa. Mula-mula istilah banjaran berasal dari dunia pertanian, yang artinya ‘deretan panjang’. Dalam bahasa Indonesia kata banjaran berarti: ‘deretan’, ‘jajaran’, atau ‘barisan’. Kemudian istilah itu dioper alih dalam dunia pedalangan wayang kulit di Jawa untuk menceritakan satu lakon utuh tentang seorang tokoh, misalnya “Banjaran Bhisma”, “Banjaran Baladewa”, “Banjaran Bima”, “Banjaran Arjuna”, dan “Banjaran Adipati Karno”. Salah seorang dalang wayang kulit di Jawa yang pertama mempopulerkan lakon banjaran adalah Ki Narto Sabda dari Semarang. Selanjutnya, lakon banjaran itu diteruskan dalang-dalang lainnya, seperti Ki Manteb Soedarsono dari Karang Anyar, dan Ki Anom Suroto dari Surakarta.
Dalam dunia kesusastraan, istilah banjaran diperkenalkan oleh Darmanto Jatman melalui buku kumpulan sajaknya Isteri (Grasindo, 1997). “Kata Pengantar” buku Isteri itu Darmanto menyatakan “Isteri yang sekarang ini memuat banjaran sajak-sajak saya sejak 1960 sampai 1996, eh 1997 ini. ‘Selected Poems’ tentu saja.” Kemudian dalam buku kumpulan sajak Darmanto Jatman yang baru, Sori Gusti (LIMPAD, 2002), istilah banjaran lebih diekspos. Sebab, istilah banjaran itu dipakai oleh penyunting buku (Triyono Tiwikromo) sebagai tanda bab atau pengelompokan ataupun kategori sajak-sajak Darmanto (terdiri atas tujuh banjaran, lihat pula esai penyunting dalam buku itu), dan dipergunakan sebagai judul esai seorang pengamat, “Banjaran Darmanto Jatman”, oleh Adriani S. Soemantri dalam buku itu juga.
Judul buku Sori Gusti diangkat dari salah satu judul sajak yang ditulis oleh Darmanto pada tahun 2001. Judul itu secara tersurat sudah menunjukkan pemakaian campur kode dan alih kode bahasa. Kata sori merupakan serapan dari bahasa Inggris sorry (lema sori belum masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi kata ‘sedih’, ‘maaf’, atau ‘sesal’. Sementara itu, kata Gusti merupakan serapan dari bahasa Jawa (lema gusti sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang artinya ‘sebutan untuk orang bangsawan atau Tuhan (atau yang dianggap Tuhan)’. Jadi, dalam buku itu Darmanto Jatman berdiri di antara dua bahasa, yaitu Inggris sebagai simbol “peradaban mendunia” dan Jawa sebagai simbol “peradaban primodial”, dalam ke-Indonesia-annya sambil mengungkapkan perasaan sedih dan sesalnya atas perbuatan yang pernah dilakoninya selama ini kepada Tuhannya. “Mohon maaf Tuhan”, “Maafkan saya Tuhan”, atau “Ampun Tuhan”. Begitu kiranya isi buku itu sebagai pengakuan dosa menilik dari makna judulnya.
Terlintas buku Sori Gusti bernada religius atas kesadaran iman seorang Jawa tulen yang menganut agama Kristen/Nasrani. Memang dalam banjaran pertama itu banyak diungkapkan masalah pencarian, pergulatan, permenungan, perlawanan, penemuan, kegelisahan, dan kepasrahan aku lirik terhadap yang disebutnya sebagai Gusti, yaitu Tuhan, Allah, Kristus, Jesus, Isa Almasih, ataupun Dzat yang Mahaagung “Kang Murbeng Dumadi, Jagat rat pramudita.” Di sini tampak sekali perpaduan iman seorang Jawa yang mampu menjadi wadah sinkretisme. Darmanto Jatman tidak segan-segannya menggunakan idiom keagamaan, seperti “abracadrabra, duh Betara. Betara” (sajak “Karena Bosan Dia Mati”), “O Allah!” (sajak “So Private This Loneliness”), “Insya Allah” (sajak “10 Februari 1969 Kau dan Aku”), “Sugeng rawuh Gusti. Syalom alekheim. Salamalaikum. Aum shantih shanthih shantih aum. Namo budaya. Sancai. Sancai. Sancai. Rahayu, Basuki, Slamet” (sajak “Jangan Panggil Aku Gusti”), “Amin. Gusti, nyuwun kawelasan. Halleluyah. Allahu Akbar. Salam. Syalom. Sadhu. Sancai. Rahayu. Amin” (sajak “Cucu”), dan “innalillahi wainailhi rojiuun” (sajak “Roro Blonyo”). Dengan demikian, jelas di sini Darmanto Jatman ingin menunjukkan adanya keberagaman (pluralisme atau multikultural) dalam peribadatan manusia kepada Tuhan. Meskipun beragam dalam hal beribadatan, semua itu pada hakikatnya menuju ke satu tujuan, yaitu keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia hingga akhirat.
Banjaran kedua dalam buku Sori Gusti lebih mengekspos masalah-masalah percintaan. Manusia hidup di dunia itu membutuhkan belaian kasih sayang lawan jenis. Dalam dunia percintaan tidak pandang bulu harus yang muda remaja saja yang berhak bermain cinta. Seorang kakek-kakek yang sudah menjadi begawan atau pendeta, seperti Begawan Wisrawa, tokoh pewayangan dalam kisah Ramayana, dapat tergiur asmara daun muda si Rara Dewi Sukaesi. Demikian juga si Duda Bantat, Karta Telo, pada masa tuanya justru diuji Tuhan untuk jatuh kasmaran pada istrinya sendiri. Itulah sebabnya permainan cinta mereka seperti binatang kwang wung. Kata kwang wung dalam banjaran kedua ini merujuk pada nama binatang kumbang kelapa atau hama kelapa. Biasanya binatang kwang wung hanya terbang berputar-putar di sekitar pohon kelapa sambil mengeluarkan suaranya (brengengeng). Banjaran kedua ini menunjukkan keberagam dalam hal bercinta, dari yang muda belia hingga yang kakek-kakek.
“Pelesir” menjadi tanda keberagaman dalam banjaran ketiga buku kumpulan sajak Sori Gusti. Pelesir artinya pesiar, melancong, ataupun tamasya. Seseorang yang pelesir berpergian jauh, meninggalkan rumah, biasanya pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan seperti pantai, gunung, dan objek-objek wisata yang lainnya. Tujuaannya tiada lain adalah mencari hiburan dan sekaligus mencari pengalaman hidup. Demikian juga halnya dengan ke-34 sajak Darmanto yang dimuat dalam banjaran ketiga itu memotret pengalaman aku lirik ketika mengunjungi tempat-tempat wisata. Kunjungan Darmanto ke berbagai kota di luar negeri, seperti Honolulu-Hawaii, Taipei-Taiwan, Negeri Kiwi, Rotterdam-Belanda, Adelaide-Australia, dan London-Inggris, menjadi ajang kreativitas memotret perilaku dan pengalamannya di negeri orang tersebut. Demikian halnya dengan kota-kota lain di negerinya sendiri, seperti Yogya, Jepara, dan Bantul ketika terjadi perubahan peradaban, dari yang tradaisional ke dunia modernisasi menjadi ajang kreativitas yang menarik bagi Darmanto.
“Medali-Medali Peradaban” menjadi tanda banjaran keempat dalam buku Sori Gusti itu. Darmanto kembali momotret sikap seseorang dalam menghadapi perubahan zaman, seperti tokoh Marto Klungsu dari Leiden, Ki Lurah Karangkedempel sewaktu menerima mahsiswa KKN di desanya, Karto Tukul dan Saudaranya Atmo Boten ketika menerima produk “Dagadu Djokja”, menjadi hal yang menarik untuk mendapat pengahargaan dari siapa pun. Sikap mereka ketika menerima perubahan zaman itu ada yang melawan, meronta-ronta ingin tetap mempertahankan tradisinya, dan ada pula yang hanya pasrah total mengikuti arus zaman. Mereka ada yang tidak kuasa membendung laju modernitas menerjang habis peradaban adiluhungnya. Ampun Darmanto.
Tema sosial kemasyarakatan, juga masalah ekonomi dan politik, menjadi tanda banjaran kelima “Laporan Kepada Rakyat” buku kumpulan sajak Sori Gusti. Bebagai masalah sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat kita, seperti masalah transmigrasi, patriotisme kromo, pelacuran, AIDS, pemilu, demonstrasi, suksesi, kekuasaan, dan reformasi pun menjadi objek menarik dalam banjaran kelima. Ketidak-beresan dan berbagai penyelewengan yang terjadi dalam masyarakat kita itu perlu dilaporkan kepada rakyat. Rakyat perlu mengetahui dan memahami dengan benar karakter bangsanya dan semua peristiwa yang terjadi di negerinya. Atas dasar laporan itu maka perlu ditindak-lanjuti untuk segera “memayu hayuning bangsa lan negara”. Segeralah “diruwat” (dibebaskan) bangsa kita ini dari semua penderitaan dan juga azab Tuhan. Dari mana harus “diruwat” bangsa yang telah carut marut ini? Darmanto memberi solusi dari “Generasi Demi Generasi”, terutama me-“Reformasi Diri” untuk menuju “Harmoni (meskipun) Itu (baru sampai pada tataran) Sepasang Sandal Jepit”.
Banjaran keenam dan ketujuh dalam buku Sori Gusti ini lebih dimaksudkan sebagai keberagaman renungan dan penemuan jatidiri Darmanto ketika memasuki usia senja dan menjadi manusia modern di tengah masyarakat madani. Semakin tua usia hendaknya ia semakin tumbuh kesadaran dirinya untuk menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat dan bangsanya. Ibarat ilmu padi, semakin tua semakin berisi, ia dapat menunduk, andhap asor, dan penuh dedikasi diri pengabdian kepada bangsa, negara, masyarakat, dan tentu juga kepada Tuhan. Pada usia senjanya ini Darmanto Jatman tidak perlu lagi yak-yakan, nyleneh, menggebu-gebu ataupun meledak-ledak seperti ketika berusia muda dahulu. Emosinya pun tentu dapat diredam dan amarahnya juga dapat dikendalikan. Kini tinggallah kewaspadaan, kehati-hatian, dan santun dalam berperilaku serta bertutur kata hanya semata ia sudah “sumarah kepada Gusti”, “sumendhe ing Gusti”, “sumeleh ing Gusti”, mohon ampun Tuhan, dan sendhika menerima dhawuh Gusti (sajak “Ampun Gusti”) untuk segera menerima tugas menulis puisi dan berkarya. Hidup di dunia ini ternyata hanya sekadar mewakili tugas atau pakaryan Tuhan yang terbabar di dunia, sekadar menjadi kafilah.