Batu Belah adalah cerita rakyat dari daerah Nangro Aceh Darussalam, ujung utara Pulau Sumatera. Cerita rakyat ini telah diabadikan dalam bentuk sajak balada oleh Amir Hamzah pada tahun 1930-an dan terbit dalam buku kumpulan sajak Nyanyi Sunyi (1937). Cerita tentang “Batu Belah” ini sangat terkenal di daerah seputar pulau Sumatera, terutama Sumatera Utara dan Aceh. Kisah ini ada yang menyebut sebagai “Batu Bertangkup” atau “Batu Bekabaran” menjadi sangat terkenal di daerah tersebut karena dimanfaatkan oleh rakyat sebagai pelipur lara. Bahkan, James Danandjaja (1984) dalam bukunya Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti) kisah “Atu Belah” dimanfaatkan sebagai contoh lembaran arsip folklor Legenda Sumatra-Gayo-Desa Penarun.
Junus Melalatoa, lelaki asal Gayo yang tinggal di Jakarta, pada tanggal 12 Mei 1972, menuturkan kisah “Atu Belah” sebagai berikut.
Pada masa yang lalu, di desa Penarun, Gayo, hidup satu keluarga miskin. Keluarga ini mempunyai dua orang anak, seorang berumur tujuh-delapan tahun dan yang kedua masih menetek.
Bapak kedua anak ini hidup sebagai petani. Pada waktu senggangnya dia selalu berburu rusa ke hutan-hutan. Di samping itu, dia banyak menangkap belalang sawah dan sedikit demi sedikit dikumpulkannya di dalam lumbung.
Pada suatu hari dia, si bapak, pergi berburu rusa. Di rumah tinggal istri dan anak-anaknya. Waktu makan si anak yang besar menangis meminta lauk ikan kepada ibunya. Ikan itu tidak ada sehingga ibunya bingung mencari ke mana-mana untuk memenuhi permintaan anaknya. Akhirnya, si ibu memerintahkan anaknya untuk mengambil sendiri belalang yang ada dalam lumbung. Ketika sang anak membuka tutup lumbung, belalang-belalang itu lepas dan habis berterbangan.
Sementara itu bapaknya pulang berburu, walau telah berhari-hari, bapaknya tidak membawa hasil buruannya. Si Bapak lelah sekali, di samping merasa kesal karena tidak berhasil dalam berburu. Ketika si Bapak mengetahui dari istrinya bahwa belalang yang dikumpulkannya dengan susah payah habis lepas berterbangan dari dalam lumbung, seketika itu pula si Bapak sangat marah. Ketika sampai pada puncak kemarahannya, si Bapak tega mengusir istrinya dari rumahnya.
Si Ibu yang diusir suaminya itu menangis dan segera meninggalkan rumahnya. Si Ibu berjalan menuju ke arah tempat Batu Belah yang selalu menerima dan menelan siapa saja yang bersedia ditelannya, asal saja dia mampu mengucapkan sambil bernyanyi: “Rang … rang … rangkup/ Rang … rang … rangkup/ Batu belah batu bertangkup/ Ngeri berbunyi berganda kali// Batu belah batu bertangkup/ Batu tepian tempat mandi/ Insya Allah tiadaku takut/ Sudah demikian kuperbuat janji”.
Sementara perempuan itu menuju ke Batu Belah, kedua anaknya terus mengikutinya sambil menangis dan mencari-carinya. Anak yang besar dengan tertatih-tatih menggendong adiknya yang masih menetek. Akhirnya, si Ibu yang telah sampai di depan Batu Belah dan mulai mengucapkan sambil bernyanyi dalam bahasa Gayo tentang Batu Belah itu. Mendengar rintihan dan nyanyian Si Ibu, sedikit demi sedikit Batu Belah membuka diri seolah-olah membuka pintunya agar si Ibu cepat masuk ke dalam. Tanpa berpikir panjang lagi, si Ibu segara masuk ke dalam Batu Belah yang disaksikan oleh kedua anaknya dari kejauhan. Tidak lama kemudian segera Batu Belah itu menutup diri menelan Si Ibu yang sedang malang.
Pada saat kedua anaknya sampai di depan Batu Belah, keadaan sedang hujan lebat, angin ribut mengamuk, beberapa pohon dan ranting-ranting bertumbangan, serta bumi bergetar seperti terjadi gempa karena Batu Belah sedang menelan mangsanya. Setelah semuanya reda, si anak yang besar dengan hati yang luluh hanya dapat melihat rambut ibunya yang tidak ikut ditelan oleh Batu Belah. Si Anak yang tua itu segera mencabut tujuh helai rambut ibunya dari permukaan Batu Belah yang dipergunakannya sebagai pusaka. Dengan hati hancur dan remuk redam, si Anak yang tua segera membawa adiknya kembali pulang ke rumahnya.
Sajak “Batu Belah (Kabaran)” karya Amir Hamzah tersebut sebagai berikut.
BATU BELAH
(Kabaran)
Dalam rimba rumah sebuah
Teratak bambu terlampau tua
Angin menyusup di lubang tepas
Bergulung naik di sudut sunyi.
Kayu tua membetul tinggi
Membukak puncak jauh di atas
Bagai perarakan melintas negeri
Payung menaung jemala raja
Ibu bapa beranak seorang
Manja bena terada-ada
Lagu lagak tiada disangkak
Minta benda muskil dicari
Telur kemahang minta carikan
Untuk lauk di nasi sejuk
Tiada sayang;
Dalam rimba telur kemahang
Mana daya ibu mencari
Mana tempat ibu meminta
Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta
Dengar… dengar!
Dari jauh suara sayup
Mengalun sampai memecah sepi
Menyata rupa mengasing kata
Rang … rang … rangkup
Rang … rang … rangkup
Batu belah batu bertangkup
Ngeri berbunyi berganda kali
Diam ibu berpikir panjang
Lupa anak menangis hampir
Kalau begini susahnya hidup
Biar ditelan batu bertangkup
Kembali pula suara bergelora
Bagai ombak datang menampar
Macam sorak semarai rampai
Karena ada hati berbimbang
Menyahut ibu sambil tersedu
Melagu langsing suara susah:
Batu belah batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudah demikian kuperbuat janji
Bangkit bonda berjalan pelan
Tangis anak bertambah kuat
Rasa risau bermaharajalela
Mengangkat kaki melangkah cepat
Jauh ibu lenyap di mata
Timbul takut di hati kecil
Gelombang bimbang mengharu pikir
Berkata jiwa menanya bonda
Lekas pantas memburu ibu
Sambil tersedu rindu berseru
Dari sini suara sampai
Suara raya batu bertangkap.
Lompat ibu ke mulut batu
Besar terbuka menunggu mangsa
Tutup terkatup mulut ternganga
Berderak-derik tulang-belulang
Terbuka pula, merah basah
Mulut maut menunggu mangsa
Lapar lebar tercingah pangah
Meraung riang mengecap sedap….
Tiba dara kecil sendu
Menangis pedih mencari ibu
Terlihat cerah darah merah
Mengerti hati bonda tiada
Melompat dara kecil sendu
Menurut hati menaruh rindu….
Batu belah, batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiada kutakut
Sudah demikian kuperbuat janji.
(Amir Hamzah, 2000. Padamu Jua. Jakarta: Grasindo, hlm. 44-46)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar