Selamat Datang

Selamat datang Saudara-saudaraku semuanya di blog "Puja-Puji" ini. Selamat menikmati, mencermati, dan mengoreksi sajian yang saya tampilkan dalam blog ini. Sekiranya Saudara berkenan memberi kritik, saran, komentar, dan masukan apa pun terhadap tampilan blog ini tentu saya merasa senang, bangga, dan terhormat, agar terjadi komunikasi dua arah. Silakan menuliskannya di tempat yang telah disediakan. Salam kami.

Selasa, 27 Juli 2010

Hang Tuah

          Hang Tuah merupakan cerita rakyat Melayu yang sudah ditulis menjadi hikayat dan puisi Indonesia modern oleh Amir Hamzah. Kisah Hang Tuah terjadi seputar abad XV hingga Abad XVII. Beberapa pakar sastra berbeda-beda mengkategorikan kisah Hang Tuah. Menurut Werndly (1736) Hikayat Hang Tuah adalah satu cerita tentang raja-raja Melayu. Roolvink menganggap kisah Hang Tuah sebagai karya sastra sejarah yang terdiri atas dongeng dan historis. Sementara itu, Valentijn (1726), E. Netscher (1854), Overbeck (1922), Hooykaas 91947), dan A. Teeuw (1960) menyetujui bahwa kisah Hang Tuah adalah sebuah roman yang melukiskan perbuatan pelakonnya menurut watak dan isi jiwa masing-masing. Liaw Yock fang (1991) menyetujui pendapat John Crawfurd (1811) bahwa kisah Hang Tuah sebagai roman sejarah (historical romance), sebab Hang Tuah sebenarnya seorang tokoh sejarah yang dapat dilihat dari buku Sejarah Melayu.

          Dalam buku Sejarah Melayu itu dikisahkan bahwa Hang Tuah berasal dari keluarga yang biasa saja. Akan tetapi, atas keberanian dan kegagahannya berperang melawan musuh, akhirnya Hang Tuah menjadi seorang pahlawan yang terkenal di Tanah Melayu. Ditambah pula bahwa Hang Tuah begitu taat dan setianya kepada raja yang tidak ada bandingnya. Pengabdian Hang Tuah kepada Raja Melayu yang begitu tulus itu membuat nama Hang Tuah semakin termasyhur di seluruh Nusantara. Hang Tuah menjadi teladan bagi orang-orang kebanyakan yang ingin mencapai derajat dan pangkat tinggi dalam negeri, yakni dari rakyat biasa hingga sebagai laksamana (panglima perang angkatan laut). Lama-kelamaan, kisah Hang Tuah itu hidup di masyarakat Melayu menjadi sebuah dongeng dengan menghilangkan sifat-sifat tercelanya, seperti sombong, takabur, dan tamak. Hal inilah yang mendorong Sulastin Sutrisno (1979) dari Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, membuat disertasi doktor tentang Hikayat Hang Tuah: Analisis Struktur dan Fungsi (terbit tahun 1983 oleh Gadjah Mada University Press).
          Hikayat Hang Tuah dimulai dari turunnya raja-raja keinderaan di bukit Siguntang. Sang Maniaka menjadi raja di Bintan. Hang Tuah pindah dari Sungai Duyung ke Bintan. Sewaktu masih muda Hang Tuah dan kawan-kawannya mampu mengalahkan para perompak (bajak laut), bahkan dia dapat membunuh ular Cinta Mani. Kemudian Hang Tuah dan kawan-kawannya mengabdi kepada raja Bintan. Pada suatu hari raja Bintan kedatangan Patih Krama Wijaya dari Jawa dan Wira Nantaya dari Daha yang disambutnya dengan meriah. Bahkan, Wira Nantaya pada saat itu diberi gelar “Ratu Melayu”.
          Selanjutnya, Raja Bintan berpindah ke Melaka dan mendirikan istana di sana. Pada suatu saat, Raja Melaka meminang Tun Teja, anak gadis dari Bendahara Indrapura. Namun, pinangan raja ini ditolak. Raja tidak putus asa, kemudian mengirim utusan ke Jawa untuk meminang putri Raja Majapahit. Pinangan diterima, tetapi Raja Melaka sendiri yang harus datang ke Majapahit menjemput putri pinangan. Hang Tuah ikut serta rombongan Raja Melaka datang ke Majapahit. Sesampainya di Majpahit, berkali-kali Hang Tuah diuji nyali keberanian dan kegagahannya melawan orang-orang Jawa. Batara Majapahir akhirnya berkenan memberi anugerah gelar Laksamana kepada Hang Tuah atas keperkasaannya. Di Jawa ini pun Hang Tuah sempat berguru kepada seorang pertapa untuk belajar ilmu kebatinan. Setelah beberapa lama tinggal di Majapahit, Raja Malaka pun kembali ke negerinya dengan dikawal oleh Hang Tuah dan kawan-kawannya.
          Pada suatu ketika Hang Tuah difitnah telah melakukan perbuatan serong dengan seorang dayang istana. Raja Melaka murka kepada Hang Tuah dan menjatuhkan hukuman mati. Namun, Hang Tuah diselematkan oleh bendahara istana dan dilarikan ke Indrapura. Di Indrapura Hang Tuah menculik Tun Teja putri Bendahara Indrapura yang pernah disunting Raja Melaka tetapi ditolak. Hang Tuah berhasil membawa Tun Teja ke Melaka dan mempersembahkannya kepada Raja Melaka. Atas persembahan putri itu Raja Melaka berkenan di hati dan mengampuni Hang Tuah. Megat Panji Alam dari Trengganu, tunangan Tun Teja, mau melabrak ke Melaka atas diculiknya tunangannya oleh Hang Tuah. Akan tetapi, baru sampai di Indrapura sudah dapat dikalahkan oleh Hang Tuah dan kawan-kawannya.
          Dalam hikayat Hang Tuah ini banyak diceritakan akan kehebatan dan ketangguhan Hang Tuah menghadapi berbagai halangan dan tantangan. Satu-satu persatu semua persoalan yang dihadapi Hang Tuah dapat diatasnya dengan baik, termasuk melawan orang-orang Portugis yang hendak menguasai Melaka. Dalam hikayat Hang Tuah ini tokoh Hang Tuah tidak mati, bahkan dapat menjadi raja orang Batak. Namun, dalam puisi “Hang Tuah” karya Ami Hamzah yang terkumpul dalam buku Buah Rindu (1941) tokoh Hang Tuah gugur melawan bala tentara Portugis dan jasadnya dilarung di lautan Selat Melaka.
          Sajak “Hang Tuah“ karya Amir Hamzah tersebut sebagai berikut.
HANG TUAH
Bayu berpuput alun digulung
Bayu direbut buih dibubung

Selat Melaka ombaknya memecah
Pukul-memukul belah-membelah

Bahtera ditepuk buritan dilanda
Penjajab dihantuk haluan ditunda

Camar terbang riuh suara
Alkamar hilang menyelam segara

Armada Peringgi lari bersusun
Melaka negeri hendak diruntun

Galyas dan pusta tinggi dan kukuh
Pantas dan angkara ranggi dan angkuh

Melaka! Laksana kehilangan bapa
Randa! Sibuk mencari cendera mata!

“Hang Tuah! Hang Tuah! Di mana dia?
Panggilkan aku Kesuma Perwira!”

Tuanku Sultan Melaka, maharaja bintan!
Dengarkan kata Bentara Kanan.

“Tun Tuah, di Majapahit nama termasyhur,
badannya sakit rasakan hancur!”

Wah, alahlah rupanya negara Melaka
Karena Laksamana ditimpa mara.

Tetapi engkau wahai Kesturi
Kujadikan suluh, mampukah diri?

Hujan rintik membasahi bumi
Guruh mendayu menyedihkan hati.

Keluarlah suluh menyusun pantai
Angkatan Portugal hajat diintai

Cucuk diserang ditikam seligi
Sauh terbang dilempari sekali

Lela dipasang gemuruh suara
Rasakan terbang ruh dan nyawa

Suluh Melaka jumlah kecil
Undur segera mana yang tampil

“Tuanku, armada peringgi sudahlah dekat
Kita keluar dengan cepat.

Hang Tuah coba lihati
Apakah ‘afiat rasanya diri?”

Laksamana, Hang Tuah mendengar berita
Armada Peringgi duduk di kuala

Minta didirikan dengan segera
Hendak berjalan ke hadapan raja

Negeri Melaka hidup kembali
Buklanlah itu Laksamana sendiri

Laksamana, cahaya Melaka, bunga Pahlawan
Kemala setia maralah Tuan.

Tuanku, jadikan patik tolak bala
Turunkan angkatan dengan segera.

Genderang perang disurunya palu
Memanggil imbang iramanya tentu.

Keluarlah Laksamana mahkota ratu
Tinggallah Melaka di dalam ragu….

Marya! Marya! Tempik peringgi
Lela pun meletup berganti-berganti

Terang cuaca berganti kelam
Bujang Melaka sukma di selat!

Amuk-beramuk buru-memburu
Tusuk-menusuk laru-meluru

Lela rentaka berputar-putar
Cahaya senjata bersinar-sinar

Laksamana mengamuk di atas pusta
Yu menyambar umpamanya nyata….

Hijau segara bertukar warna
Silau senjata pengantar nyawa.

Hang Tuah empat berkawan
Serangnya hebat tiada tertahan.

Cucuk Peringgi menarik layar
Induk dicari tempat berhindar.

Angkatan besar maju segera
Mendapatkan payar ratu Melaka.

Perang ramai berlipat ganda
Pencalang berai tempat ke segala.

Dan Gurbenur memasang lela
Umpama guntur di terang cuaca

Peluru terbang menuju bahtera
Laksamana dijulang ke dalam segara….

(Amir Hamzah, 2000. Padamu jua. Jakarta: Grasindo, hlm. 7-11)

Tidak ada komentar: