Anak Bajang Menggiring Angin adalah sebuah novel yang ditulis oleh Sindhunata pada awal tahun 1980-an. Mula-mula kisah ini merupakan serial Ramayana yang dimuat setiap hari Minggu sepanjang tahun 1981 pada harian Kompas. Dengan beberapa perbaikan dan tambahan subbab, serial Ramayana ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Oktober 1983, dengan perubahan judul menjadi Anak Bajang Menggiring Angin. Penerbitkan menjadi buku ini didukung oleh Rahardjo S. sebagai lay-out, Hajar Satoto sebagai ilustrasi isi, dan Ipong Purnama Sidhi sebagai perancang gambar sampul. Sampai bulan Februari 2007 novel Anak Bajang Menggiring Angin telah memasuki cetakan kedelapan, rata-rata setiap cetakan 3.000 eksemplar.
Buku novel wayang yang ditulis Sindhunata ini terdiri atas delapan bab atau delapan episode. Setiap episode cukup ditandai dengan penulisan nama angka, dari “satu” hingga “delapan”. Tidak ada judul lain dalam setiap episode novel wayang Ramayana ini. Sebelum memasuki episode-episode itu, di dalam pendahuluan novel ini disertakan puisi sepanjang 2 halaman (9 bait), tanpa judul, dan diakhir penulisan terdapat tanda tanggal “15 Juni 1982, Sindhu, Kampung Hendrik-Batu”. Puisi panjang yang dimulai dengan kalimat “Anak bajang/menggiring angin/naik kuda sapi liar” ini dimaksudkan pengarang sebagai pengantar cerita atau prolognya.
Delapan episode yang terdapat dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin ini berkisah tentang Rama dan Dewi Sinta yang bersumber pada kisah Ramayana versi pewayangan Jawa. Kisah Anak Bajang ini dimulai dari negeri Lokapala yang semula Prabu Danareja hendak mengikuti sayembara alap-alapan Dewi Sukesi dari negeri Alengka. Numun, Begawan Wisrawa, ayahanda Prabu Danareja, mencegahnya dan dia sendirilah yang mewakili anaknya melamar Dewi Sukesi dengan mengikuti sayembara itu di Alengka. Begawan Wisrawa dapat memenangkan sayembara itu dengan membuka rahasia sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu sesuai permintaan Dewi Sukesi. Atas terbabarnya rahasia sastra jendra itu Dewi Sukesi jatuh cinta pada Begawan Wisrawa dan terjadilah hubungan suami istri. Arya Jambumangli, Paman Dewi Sukesi, marah dan melabrak Begawan Wisrawa. Namun, Arya Jambumangli dapat dikalahkan dengan mudah oleh Begawan Wisrawa hinggar terkapar di tanah dan tidak bangun lagi. Prabu Danareja di Lokapala kecewa atas perbuatan ayahnya yang merebut calon istrinya itu hingga keluar kutukannya suatu hari nanti akan bertempur dengan salah satu adik tirinya untuk melampiaskan kekecewaannya. Tidak lama kemudian lahirlah Rahwana dan adik-adiknya (Kumbakarna, Gunawan Wibisana, dan Sarpakenaka) dari rahim Dewi Sukesi yang berupa raksasa. Begawan Wisrawa menyarankan anak-anaknya, terutama Rahwana dan Kumbakarna, untuk bertapa meruwat diri memohon kasih para dewata.
Memasuki episode “Dua” dapat kita temukan kisah Resi Gotama dengan anak-anaknya Retna Anjani, Guwarsa, Guwarsi, dan istrinya, Dewi Windradi. Ketiga anak Resi Gotama rebutan cupumanik astagina yang menjadi asal-usul terjadinya para kera. Setelah Resi Gotama mengutuk istrinya, Dewi Windradi, menjadi tugu batu dan melemparkannya hingga jatuh di negeri Alengka, saat itu pula dilemparkannya cupumanik astagina ke udara yang menjadi rebutan ketiga anaknya. Di udara, cupumanik terpisah dari tutupnya. Tutup cumanik kemudian jatuh ke negeri Ayodya dan berubah menjadi telaga Nirmala. Sementara itu, cupumanik yang berisi air kehidupan jatuh di tengah hutan belantara dan berubah menjadi telaga Sumala. Guwarsa dan Guwarsi mengejar cupumanik itu dan langsung mencebur ke telaga Sumala. Seketika itu pula keduanya berubah menjadi kera dan diberi nama Sabali dan Sugriwa. Tidak lama kemudian Anjani pun datang di telaga itu lalu mengambil air telaga untuk mencuci mukanya. Seketika itu pula wajah Anjani berubah menjadi wajah kera.
Setelah mengalami peristiwa aneh itu, ketiganya segera menghadap Resi Gotama. Oleh Resi Gotama, Subali disarankan agar bertapa ngalong (seperti seekor kelelawar) di puncak gunung Suryapringga; Sugriwa juga disarankan untuk bertapa ngidang (seperti seekor menjangan) di hutan Suryapringga pula; dan Retna Anjani harus menjalani tapa nyantuka (bertapa seperti katak) di telaga Sumala. Akhirnya, Retna Anjani melahirkan Anoman, si kera putih nan sakti, dari Batara Guru. Para dewa yang lainnya pun mempunyai anak-anak kera, seperti Barata Narada mempunyai anak kera bernama Anila. Ketika di kahyangan terjadi huru-hara, Subali dan Sugriwa dapat mengalahkan Mahesasura dan Lembusura dari kerajaan Gua Kiskenda serta mendapatkan hadiah Dewi Tara dari dewa. Karena terjadi kesalah pahaman antara Subali dan Sugriwa, terjadilah perkelahian antara keduanya. Subali tampil sebagai pemenang dan segera merebut Dewi Tara serta bertahta di negeri Gua Kiskenda dengan kera-kera sebagai rakyatnya. Subali dan Dewi Tara melahirkan kera merah bernama Anggada. Sugriwa yang kalah dari Subali harus bertapa di gunung Maliawan sambil berharap datangnya keadilan.
Membuka lembaran episode “Tiga” kita jumpai cerita tentang kutukan kekek tua kepada Raja Dasarata yang telah tega memanah anak si kakek ketika sedang mencari air di sungai hingga mati. Tidak lama kemudian kelahiran putra-putra raja negeri Ayodya, Rama, Laksmana, Bharata, dan Satrugna membuat Raja Dasarata bahagia. Setelah dewasa Rama dapat memenangkan sayembara negeri Mantili dengan memboyong Dewi Sinta ke Ayodya. Di tengah perjalan dari Mantili ke Ayodya, Rama bertemu dengan Ramabargawa. Ksatria pendeta haus darah ini pun dapat ditaklukan oleh Rama dengan mematahkan gendewanya. Dengan tertaklukannya Ramabargawa itu rombongan Rama dan Sinta dapat melanjutkan perjalanan kembali ke Ayodya.
Sesampainya rombongan pengantin di Ayodya, pesta perkawinan Rama dan Dewi Sinta dirayakan dengan secara meriah. Pada suatu hari ketika Rama akan dinobatkan menjadi Raja Ayodya, Dewi Kekayi tidak setuju karena Raja Dasarata pernah berjanji kalau anak yang terlahir dari rahimnyalah yang akan menjadi Raja Ayodya menggantikannya. Akhirnya, untuk memenuhi janji Raja Dasarta itu Rama dan Sinta, diikuti juga oleh Laksmana, dibuang ke hutan Dandaka selama empat belas tahun. Begitu Raja Dasarata wafat, karena sakit-sakitan setelah ditinggal Rama ke hutan Dandaka, Bharata anak Dewi Kekayi dinobatkan menjadi Raja Ayodya sebagai pengganti Rama.
Episode “Empat” mengisahkan Rama yang diikuti Laksmana dan Dewi Sita berada di hutan Dandaka. Berbagai rintangan dan cobaan, terutama datang dari raksasa-raksasa Alengka, silih berganti mengganggu ketenteraman Rama dan Sinta. Suatu hari, Sarpakenaka menggoda Laksmana yang sedang sendirian di hutan. Laksmana yang digoda dan dirayu itu marah dengan memangkas hitung Sarpakenaka. Raksasa perempuan itu menjerit kesakitan dan segera lari terbang mengadu ke suaminya, Karadursana dan Trimurda. Setelah mendapat aduan dari istrinya, dua raksasa pemarah itu segera melabrak Laksmana di hutan Dandaka. Dengan garangnya kedua raksasa itu menyerang Laksmana. Namun, dengan tangkas dan sigapnya Laksmana dapat melawan kedua raksasa itu hingga akhirnya Karadursana dan Trimurda tersungkur ke tanah mati diterjang anak panah yang dilepaskan oleh Laksmana.
Sarpakenaka yang telah dipermalukan oleh Laksmana itu pun segera terbang ke Alengka mengadu kepada kakaknya, Rahwana. Setelah mendengar aduan dan cerita Sarpakenaka, Rahwana tertarik untuk menculik istri Rama, Dewi Sinta, dari hutan Dandaka. Kalamarica, sahabat baik Rahwana, disuruhnya menjauhkan Sinta dari Rama dengan cara berubah menjadi Kijang Kencana. Benar, Sinta tertarik akan kijang kencana yang dilihatnya itu dan dimintanya Rama menangkap kijang kencana. Ketika kijang kencana itu dipanah Rama, seketika berubah kembali menjadi Kalamarica yang menjerit meminta bantuan Laksmana. Sinta mengira bahwa jeritan itu adalah suara Rama yang mendapat celaka sehingga Sinta memaksa Laksmana menyusul ke tempat Rama. Begitu Laksmana pergi menyusul Rama, Rahwana yang berubah wujud sebagai pertapa tua, mendekati dan merayu Sinta yang sendirian. Sinta menolak rayuan si pertapa. Namun, segera disaut oleh Rahwana yang kembali berubah menjadi raksasa dan diterbangkan ke angkasa. Jatayu, burung raksasa sahabat Raja Darata, mendengar jeritan Sinta dan segera datang merebut dari gendongan Rahwana. Jatayu kalah sakti dari Rahwana hingga jatuh kembali di hutan Dandaka. Dengan segera Rahwana menerbangkan Sinta ke negeri Alengka.
Ketika Rama dan Laksmana kembali ke tempat peristirahatannya, dijumpainya Sinta sudah tidak ada di tempat. Mereka berdua segera mencari ke berbagai tempat di hutan Dandaka itu dan tidak ditemukan Sinta. Di tengah pencariannya itu Rama dan Laksmana bertemu dengan Jatayu yang sekarat dan hampir menghembuskan napasnya yang terakhir. Dari cerita Jatayu dapat diketahui bahwa Sinta diculik oleh Rahwana dan diterbangkan ke Alengka. Setelah Jatayu berpulang ke alam baka, Rama dan Laksmana melanjutkan pencariannya. Di tengah usaha pencariannya itu, mereka bertemu dengan raksasa Kala Dirgabahu dan terjadilah perang di antara mereka. Ketika panah Laksmana menembus dada raksasa Kala Dirgabahu, saat itu juga raksasa berubah menjadi Dewa Kangka. Atas petunjuk Dewa Kangka, Rama dan Laksmana pergi ke bukit Reksamuka menemui raja kera Sugriwa.
Sesampainya di bukit Reksamuka, Rama dan Laksmana beristirahat di bawah pohon nangka. Mereka berdua terbangun dari tidurnya ketika mendengar rintihan seekor kera yang terjepit di antara dua dahan yang kuat. Ternyata kera yang terjepit pohon nangka itu adalah Sugriwa yang sedang bermasalah dengan kakaknya, Subali. Rama segera menolong dengan memanah pohon yang menjepit tubuh Sugriwa hingga pohon patah tumbang dan Sugriwa lepas dari jepitan. Sugriwa segera bercerita kepada Rama dan meminta bantuannya untuk mengalahkan kakaknya, Subali, dan kemudian dapat merebut tahta Kiskenda serta permaisuri Dewi Tara. Rama bersedia membantu Sugriwa apabila kelak setelah menang, Sugriwa dan bala tentara wanara berkenan membantu mencari Sinta. Setelah mereka sepakat, Sugriwa pergi melabrak ke Kiskenda menantang perang tanding dengan Subali. Sewaktu keduanya bertarung, Rama kesulitan membedakan keduanya karena Sugriwa dan Subali sebagai kera kembar. Untuk membedakan keduanya, Sugriwa yang terlempar jauh dihadapan Rama segera dikenakan ikat janur kuning di kepalanya. Kembali Sugriwa bertarung melawan Subali. Sewaktu Sugriwa mulai terdesak kalah karena Subali memilki Aji Pancasona, tiba-tiba panah Guwawijaya dilepaskan Rama hingga menembus dada Subali. Seketika itu pula Subali terjungkal hingga menghembuskan napas yang terakhir. Seluruh bala wanara bersorak sorai menandai kemenangan Sugriwa. Pesta kemenagan pun diadakan oleh seluruh bala wanara dan Sugriwa naik tahta di istana Kiskenda. Setelah Sugriwa mengucapkan terima kasih, Rama dan Laksmana pergi meninggalkan Kiskenda untuk pergi ke Gunung Maliawan. Kedua ksatria itu menunggu Sugriwa dan bala tentara wanara di Gunung Maliawan untuk bersama-sama pergi ke Alengka melabrak perang dan memboyong Sinta kembali ke Ayodya.
Dalam episode “Lima” dikisahkan bahwa Sugriwa yang dimabuk kemenangan hampir lupa memenuhi janjinya kepada Rama. Kapi Jembawan tidak bosan-bosanya mengingatkan rajanya untuk segera menemui Rama di Gunung Maliawan. Atas desakan itu akhirnya Sugriwa dan bala tentara wanara bersedia datang ke Gunung Maliawan. Benar, Rama dan Laksmana hampir jenuh menunggu kedatangan Sugriwa dan bala tentara wanara di Gunung Maliawan. Setelah mereka bertemu, kemudian diadakan musyawarah dan diputuskanlah Anoman, si kera putih, sebagai duta Rama mencari Sinta ke Alengka dengan membawa sebuah cincin Rama. Dalam perjalanannya ke Alengka, noman bertemu dengan Sayempraba yang membuat matanya menjadi buta. Atas pertolongan burung Sempati, adik raja burung Jatayu, Anoman pulih kembali dapat melihat dan meneruskan perjalananan ke Alengka.
Ketika Anoman sudah sampai di tepi pantai, mau tidak mau harus melesat terbang menyebarangi lautan untuk menuju ke Alengka. Di tengah angkasa Anoman ditarik turun ke lautan oleh saudara tunggal bayunya, Gunung Maenaka. Atas petunjuk saudara tunggal bayunya, Gunung Maenaka, Anoman dapat masuk negeri Alengka dengan mudah. Setelah berputar-putar di kota Alengka, Anoman dapat menemukan Dewi Sinta di Taman Argasoka yang sedang ditemani oleh Trijata, anak perempuan Gunawan Wibisana. Setelah bertemu dengan Dewi Sinta dan menyampaikan maksudnya, Anoman segera kembali ke Maliawan. Namun, sebelum kembali ke Maliawan, Anoman merusak dulu kota Alengka. Para raksasa yang menyaksikan perbuatan Anoman itu segera menangkap dan membawanya ke hadapan Rahwana. Atas perintah Rahwana, Anoman yang telah diikat itu dibakar tengah di alun-alun. Anoman tidak mempan dibakar, api yang berkobar di tubuhnya dapat menyulut kebakaran di mana-mana karena Anoman terbang dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Tinggal rumah Togog Tejamantri yang disisakan tanpa dibakar. Setelah puas bermain-main api di Alengka, dengan kecepatan yang luar biasa, Anoman terbang pulang ke Maliawan.
Rama senang mendengar laporan Anoman. Untuk dapat menyeberangi lautan pergi ke Alengka itu bala tentara wanara harus dapat membangun tambak, semacam jembatan. Gunawan Wibisana, adik Rahwana, saat itu juga bergabung dengan Rama untuk memerangi kakaknya yang angkara murka. Setelah mereka bermusyawarah, kemudian dikerahkan semua bala tentara wanara membangun tambak dengan disangga oleh Gajah Situbanda, saudara bayu Anoman. Melalui Anoman, Hyang Baruna, dewa laut, memberi petunjuk agar Gunung Sandyawela dihancurkan untuk membangun tambak. Dengan semangat yang bergelora dan kerja keras semua bala tentara wanara, akhirnya tambak itu jadi dan dapat dilewati untuk menyeberangi sampai ke Alengka.
Sesampainya di daratan Alengka, mereka membangun pesanggrahan dan perkemahan di Gunung Suwela untuk mengatur siasat. Mula-mula Anggada diutus Rama untuk menyampakan perdamaian kepada Rahwana. Raja Raksasa itu menolak ajakan damai Rama dan menghasut Anggada untuk memerangi Rama karena ayahnya, Subali, terbunuh oleh Rama. Amarah Anggada dapat diredam oleh Sugriwa dengan dijelaskannya duduk persoalan yang benar. Akhirnya, perang besar Alengka pun terjadi. Dalam perang besar itu satu per satu saudara, anak, dan bala tentara Rahwana gugur di medan perang. Dengan terpaksa Rahwana maju ke medan perang berhadapan dengan Rama. Aji Pancasona yang dimiliki Rahwana membuat kesaktian yang luar biasa dan membuat Rahwana tidak dapat mati. Ketika panah Guwawijaya yang dilepaskan Rama dapat memisahkan tubuh dan kepala Rahwana, Anoman dan kelima saudara sekandungnya (Kilatmeja, Ramadaya, Dayapati, Garbaludira, dan Ditya Pulasio) segera mencabut Gunung Suwela untuk menimpakannya ke badan Rahwana. Mendapat perlakuan seperti itu, Rahwana yang tidak dapat mati terus menjerit karena siksaan hidupnya yang tertimpa Gunung Suwela.
Perang besar Alengka yang banyak memakan korban pun akhirnya usai. Dunia kini kembali terang benderang, tenang, tentram, damai, dan sejahtera. Gunawan Wibisana dinobatkan Rama sebagai Raja Alengka menggantikan Rahwana. Ketika Rama menjumpai Dewi Sinta yang sudah berdandan dengan indahnya, Rama curiga dan menyangsikan kesucian Sinta. Air mata Sinta berlinang dan terus menangis ketika Rama menuduhnya sudah tidak suci lagi karena sudah dijamah oleh Rahwana. Untuk membuktikan kesuciannya, Rama meminta Sinta terjun ke bara api yang tengah menyala. Amarah Rama tidak dapat dikendalikan oleh siapa pun. Sinta pun menyanggupi permintaan Rama. Setelah tumpukan kayu kering disulut, api menyala berkobar-kobar, Sinta pun terjun ke dalam kobaran api. Berkat kesuciannya, Sinta tidak mempan dibakar.
Anak Bajang Menggiring angin ditutup ungkapan: Para kera dan raksasa yang lain tidak peduli apa yang terjadi. Mereka terus bergembira ria. “Kegembiraan mereka seakan mengejek: kisah dan riwayat yang dialami orang tua mereka ternyata hanyalah mimpi yang berakhir dengan kesia-siaan belaka”.